Articles by "Cerpen Islami"
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Islami. Tampilkan semua postingan
Wanita dengan sosok bercadar berlari ketakutan dalam rintikan hujan sampai ia tak sadarkan diri dan terjatuh tepat di depan gerbang pesantren. Udara sangat dingin ditambah hari yang mendung menambah kegigilan semua orang. Begitu yang dirasakan olehku, seorang putra kiyai H. Jauhari, di kehidupan pesantren dan di lingkungan santriwan-santriwati. Di rumahku yang disebut ndalem tampak ayahku H. Jauhari sedang menghangatkan tubuhnya di perapian, ia memanggilku ketika aku lewat.
Saat malam benar-benar dingin karena tertiupnya angin malam yang mengenai pepohonan dan rumah-rumah semuanya bergerak senada dengan angin yang berhembus itu, orang-orang berlindung di balik selimut mereka yang hangat, kecuali pemuda berenampilan urakan dan kartu remi di tangan kanannya tak lupa mir*s di tangan kirinya,
“ya ane menang”
“huuu curang” jawab teman-teman pemuda itu
Malam itu sungguh mencekam saat ribuan prajurit memboikot desa kami. Mereka memaksa kami untuk diam di rumah-rumah kami, hingga sudut jalanan desa terlihat sepi dan sunyi, tak ada kegiatan di sana, orang lalu lalang pun tak nampak. yang ku lihat hanya debu-debu yang masih bebas berterbangan.
Ku lihat di sudut bukit belakang rumah ku begitu banyak tank-tank tempur yang bersiap disana, yang sewaktu-waktu dapat saja menghancurkan rumah-rumah di desa ku.
Dari lubang kecil di rumahku ini, aku mengamati setiap aktivitas di luar sana.
Kulangkahkan kaki keluar kelas yang sangat membosankan dan suntuk. Siang hari yang cukup terik di kampus, hanya segelintir orang yang rela berpanas-panas di jalan, sementara yang lain sepertinya nyaman duduk di bawah pohon yang rindang. Menyebalkan sekali ketika mata kuliah selanjutnya ada diakhir waktu pada sore hari pukul lima, masih ada jeda waktu yang panjang untuk menunggu.
Ada hal menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia, Suci namanya. Dia teman sekelasku saat aku duduk di bangku kelas V di SD Negeri 1 Tanjung. Dia begitu sederhana dan tak jarang aku melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca buku daripada jajan di kantin bersama temam-temannya.
Sesosok sakit berdiri dan datang padaku dengan menampakkan mata merah membara, berwajah cemberut laksana mendung hitam di langit yang hendak jatuh menimpa bumi, cakar-cakarnya tajam mencengkram jasadku yang rapuh, dengan kengkuhannya hedak membanting diriku yang telah lemah, membujur di ranjang kekalahan, kubisikkan kepada jiwaku…
“Wahai sakit aku tak lagi takut padamu..!!”
“Bu, tahun ini kita berqurban tidak?”
“Sepertinya tidak Nak, kau tahu kan, Bapak mu sekarang sudah sakit-sakitan, terlebih lagi kita sangat membutuhkan uang untuk biaya kuliah kakakmu yang hampir selesai”

Tahun ini Pak Dermawan tidak berqurban seperti tahun-tahun sebelumnya, Ia hanya terbaring lemas dan tak mampu lagi menafkahi keluarganya. Namun hal itu tidak membuat benci Istri dan anaknya kepadanya. Mereka menganggap semua ini takdir dari Allah. Pak Dermawan dikenal sebagai pria yang baik dan bertanggung jawab atas anak dan istrinya. Tapi entah kenapa tiba tiba Pak Dermawan terserang penyakit aneh dan lebih anehnya lagi penyakit itu tidak bisa di Diagnosa oleh Dokter. Tetapi hal itu tidak membuat Pak Dermawan sedih dan putus asa. Karena Ia memiliki istri soleha dan senantiasa mendampinginya. Serta kedua anaknya, Rian, yang telah duduk di bangku perkuliahan dan Riko yang masih duduk di bangku SMA. Mereka saling menyayangi dan tidak pernah serta tidak ingin membuat kecewa sang Ayah dan Bunda.
Seumpama segerombolan semut, motor-motor itu berderet sangat rapi menjulur ke belakang hingga hampir menyentuh gapura lima undak di selatan sana. Seperti dengusan lebah, manusia-manusia itu berdialog kesana-kemari tak tentu arah, dari dekat terdengar mendengus, dari jauh pun terdengar sama. Serupa TPU Keramat Jati malam Juma’t Kliwon, itulah isi kantong celanaku saat ini: sepi, kosong dan angker.

Dari matahari belum menjamah tanah tadi hingga saat ini ketika panasnya menguapkan keringat, ketika sinarnya membiaskan bayangan tubuhku berada tepat di injakan kaki, ketika Adzan Dzuhur menggema dengan gagahnya, aku, belum selembar pun menggenggam rupiah.
Aku, Abdur Razzaq, nama ini diberikan oleh Ayah, aku tidak tau persis artinya, tapi kata Kang Rahman namaku itu artinya penyedia.

Lahir dari keluarga yang sederhana, dan juga agamis. Mereka, kakak-kakakku, konon katanya adalah orang-orang yang cerdas, kecuali aku. Mereka lulusan terbaik di bidangnya masing-masing, sedang aku, tidak menyandang predikat apa-apa.
Tangerang, 20 Desember 1999. Ya, itu adalah hari paling bersejarah dalam hidup ku. Di hari itu, aku dapat membuka kedua mata bulat kecil ku. Melihat beribu wajah disitu. Dalam kehidupan baru ku. Di dalam pelukan kedua orangtua ku. Kecupan dari bibir itu mendarat di kening ku. Pada saat itu aku merasakan Surga Dunia. Hidup di tengah keluarga kecil. Hingga kini aku beranjak dewasa, dengan semua kecukupan yang ku dapatkan. Aku merasakan keluarga kecil lainnya di sekolah, dengan teman-teman. Sampai suatu saat aku akan pergi berpencar dari mereka, entah akan dapat dunia seperti apa lagi. Dalam keluarga seperti apa? Apa aku akan diperlakukan baik?. Pasrah! Aku menganggap semua ini bodoh! Perpisahan? Bukankah hal itu menyedihkan? Apa nanti aku sendiri?. Ku terus menjalani hari ku dengan berbagai cara. Melawan rasa sedih ku, melawan rasa takut ku.
Air mata itu tak berhenti. Tenggorokannya kering, hanya suara serak yang keluar dari mulutnya yang menganga. Hampir dua jam tanggannya mengadah menghadap langit-langit Nabawi. Tapi tak satu kata pun yang terdengar menjadi doa. Andaikan kata-kata itu mampu ia ucapkan, niscaya pilar-pilar masjid akan bergetar mendengar segala pengakuan kesalahannya.
Anak Rohiiisss…

Cinta Allah.
Cinta Rasul.
Allahu Akbar.

Pekik semangat seorang MC, kemudian langsung diumpan balik dengan sambitan eits maksudnya sambutan hangat pula. Di kalangan anak sekolah sudah sangat familiar dengan sapaan akrabnya bang Hendra. Pokoke kalau batang mic sudah digenggam bang Hendra, Kalah deh kompor. Alias dijamin pasti ngebul dan hangat tuh suasananya. Kebetulan gue juga ada di acara ini, jadi gue tau banget deh. Waktu bang Hendra bercuap, euh sangat menggelegar banget, saking hebatnya yang tidur jadi bangun. Yang ngantuk jadi melek. Yang lapar jadi kenyang. Wah hebat banget kan?. Untungnya gue gak duduk di bagian depan, emangnya kenapa? soalnye bisa mental gue.