Air mata itu tak berhenti. Tenggorokannya kering, hanya suara serak yang keluar dari mulutnya yang menganga. Hampir dua jam tanggannya mengadah menghadap langit-langit Nabawi. Tapi tak satu kata pun yang terdengar menjadi doa. Andaikan kata-kata itu mampu ia ucapkan, niscaya pilar-pilar masjid akan bergetar mendengar segala pengakuan kesalahannya.
Semenjak ia menginjakkan kaki di tanah suci, suaranya seakan-akan terampas oleh udara. Pita suaranya terkunci, lidahnya kaku. Dia tak bisa lagi berbicara, bahkan untuk minum atau makan pun mulutnya sulit untuk digerakkan. Tapi untunglah, teman-teman di rombongan ibadah umrohnya bersedia untuk membantunya melaksanakan ibadah.
Mariana namanya, usianya 28 tahun. Seorang anak yatim piatu karena ia pun belum berkeluarga, tapi dia sudah berpengalaman menjalani peran sebagai ‘ibu rumah tangga’ cadangan bagi para lelaki yang kesepian. Setelah hampir beberapa tahun menjalani profesi yang tidak halal tersebut, hidayah mampir ke hatinya, walaupun sedikit terlambat.
Mariana dulu tinggal bersama ibunya di sebuah kontrakan yang dekat dengan tempat mangkalnya. Di rumah, sering terdengar kata-kata kasar terlontar dari Mariana, manakala sang ibu menasihatinya untuk berhenti dari pekerjaannya. Hanya untaian tasbih ke tahmid, tahmid ke tahlil, di dalam hati sang ibu, demi melahirkan kesabaran dalam lautan maaf untuk anaknya. Tapi sayang, Mariana belum mampu menyadari kesalah besarnya.
Setiap subuh, manakala sang ibu bermunajat kepada tuhan di atas sajadahnya, Mariana biasanya baru pulang. Tercium bau alkohol yang menyengat dari tubuh Mariana, tapi itu tak menyurutkan kasih sang ibu untuk mengusap wajah anaknya dengan handuk yang hangat. Setiap usapan sang ibu yang penuh cinta, menghapuskan sisa-sisa bedak dan lipstik yang sudah dijamah oleh lelaki berbeda di tiap malam Mariana.
Mulai dari pengusaha, pegawai kantor, pejabat, hingga preman, pernah menjadi tamu Mariana. Tak satu pun lelaki-lelaki itu menyadari betapa sakitnya hati sang ibu, manakala mereka mengantarkan Mariana pulang di waktu subuh. Sang ibu selalu menangis, manakala sang anak diantarkan pulang dalam kondisi mabuk bahkan pernah hampir tak sadarkan diri. Bagi para lelaki binatang tadi, Mariana mungkin hanya sebatas barang sewaan, yang setelah dipakai dikembalikan lagi. Tapi bagi sang ibu, Mariana adalah separuh raga dan jiwanya, dimana ketika di dunia Mariana adalah seluruh kebahagiaannya.
Di kamar sang ibu, terpajang hiasan sulam bergambar Ka’bah. Hiasan itu adalah satu-satunya kenangan yang bisa membawa sang ibu membuka kembali kenangan-kenangan indah bersama suaminya. Orangtua Mariana memiliki cita-cita sejak menikah untuk bersama-sama suatu saat nanti berdoa di pintu Multazam, tapi kini tidak mungkin lagi. Suaminya telah tiada, meninggalkan ibu dan Mariana berdua untuk melanjutkan hidup yang harus terus dipertahankan.
Hampir tujuh tahun Mariana terjun sebagai perempuan malam, selama itu pula hubungannya dengan sang ibu semakin merenggang. Walau begitu, Mariana tau benar akan impian ibu dan mendiang ayahnya. Sering Mariana tak sengaja melihat sang ibu menangis sembari memeluk hiasan Ka’bah yang usianya hampir seusia Mariana. Tapi rasa angkuh Mariana selalu membuatnya enggan untuk membicarakan impian itu pada sang ibu.
Tetapi ketulusan sang ibu yang selalu merawat Mariana dalam kondisi apapun rupanya sedikit demi sedikit mengikis rasa angkuh di dalam hati. Walaupun tetap pada pekerjaannya, di hati kecil Mariana ada niat untuk mewujudkan cita-cita sang ibu. Uang yang didapatkan Mariana memang tidak terlalu besar, dan butuh waktu yang sangat lama untuk membiayai ibadah tersebut. Akhirnya mimpi itu pun disimpannya dalam-dalam.
Tuhan punya rencana lain. Mariana membaca sebuah kolom berita di surat kabar tentang sayembara penulisan resensi novel yang berhadiah paket perjalanan umroh untuk dua orang. Keinginan yang tulus itu menggerakkan Mariana untuk mengikuti sayembara. Mariana meluangkan waktu di siang hari, yang biasanya ia gunakan untuk tidur, kini ia gunakan untuk menuliskan resensi novel. Sang ibu belum mengetahui niat Mariana, apalagi Mariana kini banyak menghabiskan waktu siang di kontrakan temannya.
Tiga bulan terlampaui sejak Mariana mengirimkan hasil tulisannya ke panitia sayembara tersebut, dan pengumuman yang ditunggu pun tiba. Mariana bergegas mencari informasi di surat kabar, seluruh surat kabar lokal dan nasional ia beli. Lama ia mencari, satu surat kabar bisa ia baca ulang sampai tiga kali. Tetapi informasi itu tidak ia dapatkan, tak ada dalam seluruh surat kabar yang ia beli. Ia pasrah, mungkin sayembara itu sudah menemukan juaranya.
Di suatu malam ketika ia bekerja, ada pesan yang masuk ke handphonenya. Mariana terkejut, pesan yang masuk itu berasal dari sang penulis novel yang bukunya dijadikan sayembara. Penulis itu memberitahukan bahwa resensi novel yang ditulis Mariana adalah yang terbaik yang pernah ia baca, dan resensi dari Mariana menjadi juara untuk sayembara itu. Mariana menitikkan air mata, bahagia mendekapnya di antara musik-musik keras di diskotik tempatnya bekerja. Dia pun berencana untuk segera memberitahukan ibunya disaat waktu pulang nanti.
Setibanya di rumah, Mariana bergegas masuk ke rumah, tidak mempedulikan tamunya yang saat itu mengantar. Pada subuh itu tidak biasanya kamar sang ibu ditutup, Mariana kemudian menunggu di depan kamar ibunya. Hampir setengah jam Mariana menunggu, sang ibu tak juga keluar. Untuk memastikan bahwa ibunya berada di kamar, Mariana membuka pintu kamar sang ibu perlahan. Terlihat oleh Mariana sang ibu sedang sujud. Lama Mariana menatap ibu yang sedang sujud, tapi sang ibu tak jua selesai bersujud.
Mariana memanggil ibunya pelan. Tidak mendapatkan respon dari sang ibu, Mariana mendekat ke ibunya. Dipanggilnya lagi sang ibu dengan pelan, tetapi ibunya tak juga bergeming. Mariana meletakkan tangannya di pundak ibunya. Sembari memanggil ibunya, Mariana menggetarkan badan sang ibu, sang ibu tak juga bergerak. Perasaan takut mulai menyeruak di benak Mariana.
Diangkatnya wajah sang ibu, rasa dingin terasa di tangan Mariana, wajah ibunya sangat dingin. Mariana terus memanggil ibunya, walau ibunya tetap diam bergeming. Mariana menyadari bahwa ibunya, yang saat itu ada dalam pelukannya, sudah meninggal. Air mata mengalir deras, isak tangis Mariana tak mampu menghadirkan ibunya kembali. Bayangan Mariana akan berangkat umroh bersama ibunya hanya menjadi kenangan yang tersisa.
Kini Mariana hanya sendirian, menjalankan ibadah umroh yang seharusnya bersama sang ibu. Doa-doa untuk ibu selalu mengalir dalam air mata tanpa suara. Tetes-tetes air mata itu jatuh di lantai Masjid Nabawi, membawa gemuruh hatinya yang ingin berontak karena lautan permohonan ampun yang tak mampu ia lontarkan. Suaranya yang tak mampu dikeluarkan sangat menyiksa Mariana, terasa seperti ada penjara yang mengurung rasa salah yang sudah menggunung di hatinya. Mariana pasrah dalam rasa bersalah yang kini menjadi teman dekatnya.
Namun, karunia tuhan untuk Mariana tidaklah putus. Disaat berdoa di Pintu Multazam, tuhan pun menunjukkan kuasanya. Mariana menghadap di pintu itu, meletakkan kedua tanggannya tepat di Pintu Multazam. Air matanya tak berhenti mengalir, sembari mencium dinding pintu, Mariana akhirnya dapat menggerakkan bibirnya. Ia pun berbicara, “maafkan Mariana ibu.”.
Cerpen Karangan: Taufik Ikhsan Slamet
Post A Comment:
0 comments so far,add yours
Posting Komentar