Seumpama segerombolan semut, motor-motor itu berderet sangat rapi menjulur ke belakang hingga hampir menyentuh gapura lima undak di selatan sana. Seperti dengusan lebah, manusia-manusia itu berdialog kesana-kemari tak tentu arah, dari dekat terdengar mendengus, dari jauh pun terdengar sama. Serupa TPU Keramat Jati malam Juma’t Kliwon, itulah isi kantong celanaku saat ini: sepi, kosong dan angker.

Dari matahari belum menjamah tanah tadi hingga saat ini ketika panasnya menguapkan keringat, ketika sinarnya membiaskan bayangan tubuhku berada tepat di injakan kaki, ketika Adzan Dzuhur menggema dengan gagahnya, aku, belum selembar pun menggenggam rupiah.

Zaman ini, rupanya para lelaki telah berada di area mayoritas yang enggan memakai batu akik. Hanya dapat dihitung dengan satu tangan saja. Sisanya, aku haqqul yaqin, pasti anti pakai. Padahal, hukum memakai batu mulia ini hampir sama dengan hukum memelihara janggut. Itu salah satu sunnah Baginda Rosul Muhammad S.A.W.

Hanya Pak Sudarmo —penjual tembakau— saja di sampingku yang rela melihat-lihat —sambil memegang— aneka batu akik yang kubeberkan di depanku. Itu pun hanya bertanya-tanya saja, tak lebih.
“Hafidz, Ini kamu jual berapa?” Tanyanya sambil meniup-niup ujung batu akik yang ada di jari telunjuknya.
“Itu asli dari Mesir, kang. Harganya sepuluh ribu rupiah. Untuk kakang, kujual delapan ribu saja lah.” Mantabku.
Ia mengembalikan batu akik Mirah delima itu tanpa basa-basi. Ia ambil lagi yang lain. Lebih mewah. Batu Akik Kalimaya. Warna biru laut.
“Nah, ini pasti dari India, ya kan? kamu jual berapa ini?”
“Itu dari Bangladesh, kang. Ah, khusus untuk kakang, kujual lima belas ribu. Hitung-hitung penglaris, kang. Sudah setengah hari penuh aku tidak terima uang, kang. Apalah yang bisa aku katakan nanti kepada istriku di rumah dengan tangan hampa? dia pasti kecewa, aku yakin dia pasti kecewa, kang” Jelasku panjang lebar.
“Hahaha…”
“Kenapa ia tertawa? ada yang lucu kah?” Gumamku dalam hati.
“Heh, Fidz. Nasibmu itu sama denganku sekarang. Lah, dengan apa aku beli batu akikmu ini? aku pun belum terima uang juga hari ini. Hahaha…” Ia terkekeh. Aku kesal. Sangat kesal.

Langit di atas awan putih itu menguning bagai emas yang berserakan. Sore pun menjelang. Kantong celanaku tetap tak ubahnya TPU Keramat Jati Malam 1 Suro Jumat Kliwon. Terbersit sebuah kalimat yang mengantarku pulang: Apa yang harus aku katakan pada istriku? dan, akan makan apa besok dia dan anak semata wayangku?

Rusmi —istriku— telah dari ba’da Ashar tadi menunggu kehadiranku di teras depan rumah. Luar biasa perempuan itu, dia harta berharga, paling berharga yang kumiliki. Ia tersenyum ketika aku menyembul di pekarangan rumah. Ya Allah, sebentar lagi senyum itu akan cepat-cepat berubah menjadi mimik muka yang tak pernah kusuka darinya: Sedih. Aku tak tega melihatnya.

Ia mencium tanganku dengan ta’zimnya. Aku masih belum bisa menguasai diri. “Nasinya sudah kusiapkan di meja dapur. Aku dan Nduk sudah makan tadi, itu sisanya. Nanti malam sudah ndak ada lagi, cak.” Suaranya lembut, tapi semakin meretakkan jiwaku. Aku semakin memejamkan mata dalam-dalam. Kuhembuskan nafas perlahan-lahan melalui hidungku. Malam ini, kemiskinan yang kujalani ini menjadi sebuah kebosanan untukku.

Nduk Maisyaroh telah terlelap ketika Rusmi duduk di sampingku. Telah menjadi kebiasaan sehabis maghrib bagi kami berdua. Tapi malam ini berbeda. Tubuhku kurasakan melemah. Tulang-tulangku serasa jatuh dan berserakan di lantai.
“Alhamdulillah, cak.” Ucapannya memecah keheningan.
“Ya, kenapa, dik?” Suaraku bergetar. Rasanya aku seperti berada di kutub utara.
“Tadi siang bu Jannah bayar hutang jahitan minggu lalu. Lumayan untuk belanja besok.”
Masya Allah, apa aku tak salah dengar?
“Dua puluh dua ribu delapan ratus, cak…” sambungnya.
“Alhamdulillah… dik.”
Lalu hening. Aku kehabisan kata-kata.
“Aku minta Maaf, tadi pembeli ndak ada sama sekali. Kantongku kosong. Untuk sementara mungkin aku tak membelanjakanmu besok.” Aku gemetar. Hatiku perih menerima kenyataan ini.
“Sudah, ndak apa-apa. Allah masih nunda ngasih rejekinya paling, cak’”

Dengarlah suara itu. Tiba-tiba segumpal hujan turun membasahi getar-getir gelisahku. Pelangi nan anggun melingkari rongga-rongga hati dan jantungku. Semilir angin menghembuskan iramanya yang mengalun rendah. Suara itu, suara emas itu akan ku panggil kelak di padang mahsyar. Aku akan memanggilnya. Sungguh, aku akan memanggil nama perempuan di sampingku ini.

“Harga beras naik, jadi besok hanya beli 2 kilo saja, cak. Sisanya tempe dan cabe.”
“Apa ndak sebaiknya beli telur ayam saja, dik?! Bolehlah sekali-kali kita makan telur.”
“Kasihan Nduk Syaroh, cak. Sisa beli tempe dan cabe rencanaku ku belikan mainan boneka yang harganya empat ribu lima ratus itu, cak. Nduk ndak punya mainan sama sekali.”
“Apa ndak sebaiknya nduk dibelikan makanan ringan saja, dik?!”
“Bolehlah sekali-kali kita belikan mainan itu, cak. Sekali saja.”
Ia melihatku tengah bermuka cemberut. Dua kali saranku tak ia hiraukan. Lalu ia menatapku dan tersenyum. Apapun sedihku, jika telah melihatnya tersenyum, semua akan reda. Reda tanpa alasan yang aku tak tahu sebabnya.
“Apa ndak sebaiknya kita sholat Isya’ dulu, cak!!.” Aku gemetar lagi. Di dalam kemiskinan yang selalu menyelimutiku ini, ketika aku berfikir tak punya apa-apa, ketika itu aku masih beruntung mendapatkan surga dunia di sampingku ini. Perempuan yang tak pernah bosan menguatkan aku ketika aku berada di bawah, dan perempuan yang selalu memegang tanganku ketika aku berada di atas.

Aku masih teringat, disaat mondok dulu. Ketika aku bertemu dengannya. Ketika pertama kali aku terkesan dengan seorang perempuan berjilbab putih. Malam ini, aku memutar kembali memoriku ketika aku mulai mencintainya dan ia yang mencintaiku. Ketika kami tertangkap basah oleh santri pengurus tengah berduan di belakang dhalem nyai. Ketika kami dihukum berjemur dengan menghadapkan wajah kami ke arah matahari dari waktu Dhuha sampai ba’da adzan Dzuhur. Dan ketika ia menangis sesenggukan di hadapanku ketika kami saling menguatkan satu sama lain setelah hukuman itu. Saat itu ia menguatkanku bahwa kami akan selalu menanggung segala beban bersama-sama, dan kami akan memikul suka cita bersama-sama.

Malam ini aku sadar. Perempuan itu tak pernah mengeluh ketika menjalani hidup denganku, tak pernah menangis karena kerasnya ujian hidup bersamaku, dan tak pernah menekuk wajahnya kala bertatapan denganku. Jika seseorang dari negara antah berantah nun jauh disana bertanya: Siapa lelaki yang paling beruntung di dunia ini? akan ku jawab pertanyaan itu dengan tegap dan pasti: Aku. Aku bahkan tak akan mengandalkan bumi, langit, samudera, rasi-rasi bintang, rembulan dan matahari sebagai saksi cintaku padanya. Aku hanya melibatkan Allah sang Maha Cinta yang akan menyaksikan dalamnya rasa cintaku pada perempuan yang tak akan pernah kutinggalkan itu.

Malam berikutnya berbeda. TPU Keramat Jati itu telah tak kosong lagi. Meski hanya sepuluh ribu rupiah, tapi cukuplah untuk mendamaikan hati istriku.
“Ba’da Isya’ nanti ada undangan ke rumahnya abah Zamin, cak. Muludtan.” Katanya.
Subhanallah!! Aku terperanjat. Ada apa denganku? apa yang telah kuperbuat sehingga dengan teganya hampir melupakan bahwa malam ini 12 Robiul Awal? Subhanallah!! Kejamnya kehidupan dunia telah merebutku dari tak mengingat Lelaki Luar Biasa itu. Aku merasa telah melakukan dosa besar. Bahkan, melebihi dosa berzina dengan iblis.

“Dik, apa tahun ini kau ingin bermulud?”
“Bermulud hukumnya sunnah, cak. Orang tak punya seperti kita tak wajib hukumnya. Nabi tak akan marah meski kita tak bermulud. Yang paling penting rasa cinta kita pada beliau tak berkurang secuil pun, cak.”

Benar juga apa yang telah dikatakan istriku. Tapi, apa hanya sebatas ini saja pembuktian cintaku pada Nabi? sebandingkah dengan cinta beliau yang dalam sakaratul mautnya saja masih mengingat aku dan saudara-saudaraku di dunia ini? aku kalut dalam dilema. Tapi keyakinan itu meletup-letup. Aku memandangi istriku dalam gemuruh keyakinan.

“Tahun ini kita bermulud, dik. Serahkan semuanya pada Allah. Aku yakin, dan kau harus yakin!.” Rusmi tersenyum. Ia menyentuh dada kiriku. Aku mencium keningnya.

Bungkusan bermacam-macam makanan kutenteng pulang. Nduk Maisyaroh senangnya bukan kepalang. Ia tertawa riang. Aku senang melihatnya. Telah lama aku tak menjumpainya tertawa seperti itu. Semoga ia masih betah bersama kedua orangtuanya yang mati-matian berjalan di kerasnya batu-batu tajam kehidupan ini.

Seperti inilah berkah yang orang muslim rasakan ketika bulan Maulud tiba. Yang miskin menjadi kaya, dan yang kaya menjadi semakin sejahtera. Pasti, aku yakin seyakin-yakinnya, di surga sana Nabi Muhammad S.A.W tersenyum ketika melihat umatnya di dunia —seperti saat ini— bersedia berbagi dengan sesama atas kecintaan dan rindunya kepada Beliau.
Allohumma Sholli Ala Muhammad!!

Seminggu sudah muludtan digelar disana sini. Uangku sejauh ini masih belum mencukupi untuk bermulud. Aku kehabisan akal. Tapi, Rusmi istriku tersayang rupanya belum habis akalnya.
“Sudahlah, cak. Cukuplah kita beli minyak goreng dan cabe saja. Sisa ikan ayam kemarin masih banyak di dapur, kita masih bisa menggorengnya. Nasi, ayam goreng dan sambal sudah lebih dari cukup untuk mengundang Baginda Nabi ke rumah kita ini.”
Aku tersenyum. “Tak salah Allah menganugerahkan engkau, duhai istriku yang genius dan cantik.” Ia tersenyum padaku, dengan hatinya yang berbunga-bunga.

Kami pun menggelar Muludtan untuk pertama kalinya setelah 8 tahun kami menikah. Syair-syair Mahallul Qiyam dilantunkan dengan penuh getir rindu bertemu junjungan Baginda Nabi. Hati ini pecah seketika ketika air mata mengalir dalam pelukan-pelukan lembut kasih sayangnya. Tubuh gagah ini bagai kurus tak bertulang kala batin terenyuh mengikuti rima-rima sedu sedan nan damai. Daun-daun gugur satu persatu oleh hembusan badai yang mengantarnya ke ruang bercahaya penuh rahmat dalam jiwa ini. Pohon-pohon bersholawat, tak ada hal yang merintangnya untuk tak mengagung-agungkan kekasih Allah itu. Bulan pun tak enggan bertasbih memuja memuji santun pinutun akhlaq budi pekertinya yang mempesona. Lelaki itu telah membawa segalanya di muka bumi ini. Benar-benar Segalanya. Siapa engkau ini Muhammad? Mengapa sangat rindunya kami padamu?
Aku menangis sesenggukan. Istriku pun jua.

Pagi harinya, kami berdua memilih berpuasa. Ada hal yang begitu indah diuraikan mengapa kami berpuasa. Selepas sholat Dhuha aku memeluk istriku lembut. Ia menangis haru dalam dekapanku. Aku membisiki telinga kirinya dengan lembut dan penuh kasih cinta.
“Tunggu aku pulang, dik. Aku akan cari pengganjal perut kita waktu buka puasa nanti. Kau harus yakin, kau harus tunggu aku, istriku.”
Ia semakin mendekapkan pelukannya. Aku berbisik lagi.
“Bulan Dzulhijjah nanti, kita harus berqurban, dik. Bagaimanapun caranya. Meskipun kita tak punya seekor pun sapi dan kambing, tapi kita harus mengurbankan apa yang telah kita miliki ini, apa yang telah Allah beri pada kita. Apa kau setuju, istriku?”
Ia lalu memandangku sambil mengembangkan senyumnya dengan penuh syahdu. Linangan air mata harunya semakin deras di pelukanku. Pagi ini, pagi yang tak akan pernah kami lupakan hingga nafas terakhir kami nanti.

------------------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Akhmad Gufron Wahid
Blog: akhmadgufronwahid28.blogspot.com

Nama: Akhmad Gufron Wahid
Face Book: Akhmad Gufron Wahid XceQc
Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment:

0 comments so far,add yours