Aku, Abdur Razzaq, nama ini diberikan oleh Ayah, aku tidak tau persis artinya, tapi kata Kang Rahman namaku itu artinya penyedia.

Lahir dari keluarga yang sederhana, dan juga agamis. Mereka, kakak-kakakku, konon katanya adalah orang-orang yang cerdas, kecuali aku. Mereka lulusan terbaik di bidangnya masing-masing, sedang aku, tidak menyandang predikat apa-apa.

Kami, empat bersaudara, dan aku adalah anak terakhir. Kedua kakak perempuanku meninggal dunia kurang lebih empat tahun yang lalu, mereka kembar, tabrakan beruntun telah merenggut nyawa mereka, begitu juga dengan Ayahku tercinta.

Abdur Rahman, satu-satunya Kakakku yang tersisa, aku sangat membencinya, tapi kalau dia tidak ada di sekitarku, aku sangat merindukannya. Pada Abdur Rahman, aku biasa memanggilnya Akang.

Bunda Alifah, dia perempuan terindah yang mampir di hati dan mataku, ibuku itu cantik sekali. Seperti namanya, pribadi Bunda sangat ramah tamah pada siapapun. Kecuali aku, dia memperlakukan ku lebih dari siapapun.

Kemarin, beberapa waktu yang lalu aku diajak menemani Akang ke rumah calon istrinya, Kak Afeefa namanya. Belum sampai di depan pintu rumah Afeefa, Akang menahanku, olehnya aku disuruh menunggu di luar saja, Akang takut aku akan menyukai Afeefa, calon istrinya. Dia khawatir dengan kebiasaan burukku yang selalu mengoleksi harta benda miliknya.

Di luar aku menguping percakapan mereka, yang terdengar disana hanya samar suara ibu-ibu tua saja, Akang memang begitu, pemalu orangnya, tidak pernah menuntun ini, menuntut itu, berbanding terbalik denganku. Akang sangat penyabar. Dia tidak pernah protes dan mengeluh. Di depan jendela, kutempelkan mata kiriku, mencuri-curi pandang ke arah dalam rumah, disana tidak ada terlihat seorang perempuan muda, hanya ada Akang dengan Ibu calon istri Akang. Beberapa menit kemudian, terbuka sebuah pintu kamar dari dalam rumah itu, dari dalam kamar muncul sosok seorang perempuan muda yang Subhanallah luar biasa cantiknya. Berlilitkan jilbab yang melindunginya, dan pakaiannya yang menutupi seluruh tubuhnya, tangan, serta kakinya juga ikut tertutupi, tidak ada sedikitpun celah untuk terbuka auratnya. Luar biasa dahsyatnya perempuan itu, hanya wajah sendunya yang dapat kulihat jelas, Subhanallah, di jaman sekarang masih ada perempuan seperti itu, gumamku dalam hati. Sebentar dia terlihat keluar dari kamar, kemudian menghampiri Akang, setelah itu dia kembali ke kamar, Akang hanya tersenyum, kemudian dia pulang. Sederhana sekali caranya mencintai perempuan itu.

Beberapa bulan kemudian
“Razzaq, Akang besok berangkat, titip Bunda, jangan lengah, temani Bunda, jangan sampai Bunda kesepian.”
“Akang mau kemana, ngomongnya udah kayak orang gak bakal pulang aja,” sahutku cemberut.
“Akang mau pergi. Akang titip Bunda ya bungsu bawel,” pinta Akang manja sembari tangannya mencubit pipiku.
“Iya, percayakan saja padaku Kang. Oh iya, Kak Feefa, dia cantik sekali ya Kang, solehah, sempurna. Bunda pasti senang punya mantu kayak gitu,” celoteh polosku padanya.
“kamu boleh gantikan Akang untuk menikahinya,” sahutnya tegas.
“Ih, ngambek, baru digituin ngambek…” manjaku padanya.
“Akang serius!”
“Aamiin,” ucapku menyudahi percakapan aneh itu.

Setelah beberapa saat kami ngobrol, aku meninggalkannya ke kamar, dia terlihat seperti menatap sesuatu dengan tatapan kosong, beberapa kali aku memperhatikan itu.

1/3 malam terakhir, Akang terbangun. Aku melihat dia mengambil wudhu di samping kamar mandi, jalannya melayang-layang, tangannya seperti mengelus-ngelus dada, aku mengikutinya sembunyi-sembunyi.

Bertahajud. Akang masuk di kamar Bunda. Lagi-lagi aku membuntutinya. Selesai bertahajud, Bunda terbangun, kaget melihat Akang disana. Mereka saling tatap, aku heran. kebetulan pintu kamar Bunda tidak Akang tutup, jadi dengan leluasa aku bisa melihat mereka. Airmata Bunda perlahan menetes, sedikitpun aku tidak mendengar pembicaraan mereka.

Tangan Bunda membelai dahi Akang, tak lama Bunda mencium kening Akang. Sontak dalam hitungan detik, hatiku bergetar hebat, aku begitu cemburu melihatnya. Kali pertama dalam hidupku dibuat Akang menangis. Aku meninggalkan mereka kembali ke kamar, sambil mengusap airmataku yang berlinang.

Tak lama, Akang tiba-tiba menghampiriku di kamar. Dia merangkulku erat. Dan dengan airmata, aku menyambut rangkulannya, hangat sekali.

“Adikku… Bungsu, Abdur Razzaq. Sampaikan pada Bunda, betapa sayangnya Akangmu ini padanya, berat rasanya mengucapkan itu pada Bunda langsung, tak sampai hati Akang melihatnya menangis. Razzaq, usap dahinya ketika dia berkeringat, genggam tangannya ketika dia menangis, temani dia jika terlihat murung, berdirilah selalu di sampingnya, di samping Bunda kita. Razzaq, Akang sangat lelah, Akang juga sangat merindukan Ayah, Akang rasa tugas Akang sudah selesai, kini tibalah saatnya kamu yang melakukan semuanya, gantikan Akang,” ucapnya sembari mengusap airmataku.

“Akang mau kemana, aku khawatir, Akang jangan kemana-mana disini saja, temani bunda, Akang gak boleh pergi,” pintaku cemas.

“Akang mau mengejar janji yang tidak bisa Akang ingkari, ini sebuah keharusan. Razzaq, kalau Akang sudah pergi, jangan pernah tinggalkan tahajud,” matanya menatapku tajam, “Dia bisa menerangi gelapnya hatimu, juga bisa menemani sepinya jiwamu. Bertahajudlah, berhajat untuk kedua orangtua kita agar mereka bahagia dunia akhirat. Berhajat untukmu juga, berkeluh kesahlah padaNya. Ya Bungsu…” lanjutnya.

“Sekarang, ayo Akang, aku mau bertahajud, temani aku, duduk dan tunggu aku disana,” sahutku menyambut antusias keinginannya, sembari menunjuk kursi di belakang tempatku shalat.

Setelah aku selesai dengan tahajudku, rupanya Akang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hatiku seperti meledak, tidak bisa berbuat apa-apa, lidahku kelu, airmata pun jatuh di pipiku. Akangku terlihat seperti tidur nyenyak, betapa tampannya dia, kupeluk tubuhnya, tak sanggup aku mengatakan ini pada Bunda.

Kini kebencian atau lebih tepatnya ke iri-an di hatiku, telah terbang bersama ruhnya yang keluar dari jasad. Hanya cinta yang kini menancap di hatiku. Tentangnya, selalu menari indah di benakku, kenangan masa kecil kami yang berbahagia.

Airmataku seperti hujan saja. Teringat, dia selalu inginkan aku, adiknya, menjadi yang terbaik. Sedang aku tidak pernah menghiraukannya.

Akhirnya kukatakan, kekagumanku kini telah berubah menjadi kecintaanku padanya, Akangku, Abdur Rahman.

Cerpen Karangan: Fahrial Jauvan Tajwardhani

Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment:

0 comments so far,add yours