Postingan ini lanjutan dari postingan Contoh Membuat Makalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, jika anda belum membacanya, silakan baca terlebih dahulu Contoh Membuat Makalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang.

Contoh Membuat Makalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Part 2
Kabelantena - Postingan ini lanjutan dari postingan Contoh Membuat Makalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, jika anda belum membacanya, silakan baca terlebih dahulu Contoh Membuat Makalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang.

Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang.

Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1). Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a) Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru.

Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:

Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 :

Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

b)  Perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:

Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002:

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi:

Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau.Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c)      Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:

PENUTUP


Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak tegas oleh para penegak hukum yang berwenang.
Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan rasa keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum juga memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan Edisi Pertama, Jakarta, 2003.

http://www.bapepam.go.id/old/ragam/pedoman_pencucian_uang.pdf

http://kpk.go.id/gratifikasi/images/pdf/UU_TPPU.pdf

http://fe.unila.ac.id/~ivan/Backup/Documents/MoneyLaundring.pdf
Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment: