DI JALAN RAYA yang menghubungkan jalan „Cing-an dengan jalan ke-Bu-tong, tampak, ber lari2 seorang-anak lelaki kecil berusia delapan tahun, sambil ber-lari2 begitu, mulutnya tidak hentinya mengoceh seperti bernyanyi.
„Plak, plak, plak,
Kudaku lari keras sekali,
Gagah dengan pedang,
Berani menghadapi maut,
Siapa yang menghadang,
Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak,
Kudaku warna bulunya merah,
Larinya keras jika tengah marah,
Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?”
Terus juga anak lelaki itu berlari-lari dengan mulut mengoceh tidak hentinya seperti itu, dia berlari dengan membawa sikap seperti tengah menunggangi seekor kuda, tubuhnya digentak-gentakkan. Tetapi waktu dia melihat seorang anak lelaki sebaya. dengannya sedang bermain kelereng, dan seorang anak lelaki,lainnya berusia diantara sepuluh tahun tengah berjongkok untuk menyentil kelerengnya, anak lelaki ini telah meng hampirinya. Tahu-tahu tangan kanannya digerakkan, waktu telah berada dekat dengan kedua oraag-anak itu, dia telah menjitak kepala, anak yang berusia diantara sepuluh tahun, cukup keras jitakannya itu, sampai memperdengarkan suara ‘takk….. !.’, sedangkan anak yang seorangnya lagi waktu melihat munculnya anak-lelaki yang nakal itu, telah ketakutan dan memutar tubuh bermaksud melarikan diri, tetapi anak lelaki itu telah mengejarnya dan mengayunkan tangaanya, ‘Tak…..!’ kepala anak itu juga telah dijitaknya lagi.
„Serahkan semua kelereng kalian !” kata anak lelaki yang nakal ini.
Kedua anak itu tampaknya takut terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng mereka.
„Jangan diambil semua, Ang-toa (situa Ang)!” kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka meringis menahan takut.
Ang-toa, anak lelaki yang nakal itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki terus?” bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.
Setelah menerima semua kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg….., crengggg……!” suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah. Siapa berani menentangnya ?……….”
Sikap Ang-toa tampak jenaka, walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya, dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main……!” teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi pucat.
„Oh, aku tadi disuruh ibu pergi kepasar… maaf, aku harus pergi dulu…!” kata anak yang berusia diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
„Hei…., jangan pergi dulu !” bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku…benar-benar sedang disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras”, menjelaskan anak itu dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang jelas aku datang engkau lalu mau pargi…,! Bukankah itu suatu kesalahan yang tidak kecil? Kau telah menghina aku…!” dan Ang-toa telah menghampiri anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya, anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak…..!” kepala anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah tidak mau bermain kelereng denganku…?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! ‘Mari kita main……!” dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang…!”
Kedua anak itu hanya menuruti saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !” kata Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya…, ya…, engkau jalan dulu…!” kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah menjadi milikku !”.
Muka kedua anak itn tidak memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya…… kau ambillah, Ang-toa !” kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo pasang lagi…!”.
„Ang-toa…!” kata salah seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak mau bermain kelereng denganku ?” tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku harus pulang untuk buang air dult …!” dan anak lelaki itu yang berusia diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau…?” tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk membeli ikan” menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu…!”.
„Ah, engkau benar-benar jahat tidak mau menemani aku main kelereng !” kata Ang-toa dan tangannya bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah kalah…!”.
Ang-toa sambil tersenyum mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu. Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan suaranya.
„Heran….! Mereka semuanya tidak mau bermain kelereng denganku…! Mengapa begitu? Memang mereka manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku…….!” menggumam Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang, sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
-----------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------
Sumber : http://pustakaceritasilat.wordpress.com
Post A Comment: