Cerpen - Rindu Si Anak Pemulung - Karangan: Vivi Afri Oviani ||| Entah apa yang sedang dia fikirkan, aku tidak tahu. Sedari, sejam yang lalu dia hanya duduk dan terus memperhatikan langit. Aku mencoba untuk memperhatikan juga apa kira-kira yang sedang diperhatikan anak itu. Aku mencoba memandang lebih dekat berusaha agar menemukan satu titik yang sekiranya apa yang ku lihat adalah apa yang sedang dilihat anak itu. Tetapi aneh. Yang ku lihat di depan sana hanya bentangan canvas biru ciptaan sang empunya langit. Malahan kini birunya langit sangat bersih, tanpa ada awan yang biasanya bergelantungan di sana.
Aku merubah posisi kepalaku kembali, hingga akhirnya kuputuskan untuk bertanya saja pada anak kecil ini. Apa gerangan yang sedang ia perhatikan. Terlebih yang menjadi pusat perhatianku adalah kegelisahan yang terpancar dari sikap, mata dan gerakan tangannya yang sedikit-sedikit melemparkan batu ke danau seakan sedang membuang sesuatu yang sangat ia benci. Ah, itu baru penilaianku saja.“hei, adik kecil. Sedang apa disini, kok bermenung?”
akhirnya kata-kataku cukup membuat anak kecil yang kini ada di sampingku ini terperanjat. Bahkan spontan ia langsung berdiri dan nyaris terpeleset. Tetapi berhasil aku cegah. Alhamdulillah dia tidak terjatuh ke tepian danau.
“hayolo, hati-hati dik”
Ada rasa bersalah yang menyelimuti hatiku, kala kulihat dengan jelas lukisan kekecewaan di wajah itu. Adik itu ternyata habis menangis. Karena ku lihat jelas dari wajah dekil yang penuh dengan coretan-coretan daki yang sebagian telah terkikis oleh air matanya.
Pandanganku pun makin aku perluas, aku perhatikan seluruh tubuhnya. Hanya ada baju sobek dan celana sekolah dasar pendek yang membalut badan tipis situ. Pakaian itu begitu kotor dan kumal. Akhirnya aku bisa mendefinisikan sendiri siapa anak kecil yang masih saja berdiri di depanku saat ini. Dia adalah seorang pemulung, itu terlihat karena tidak jauh dari tempat ia duduk tadi ada sebuah keranjang terbuat dari rotan yang di dalamnya terdapat beberapa botol bekas minuman. Botol-botol tersebut terlihat lebih manis ada di dalam keranjang itu ketimbang merajalela di sepanjang jalan atau nongkrong dimana-mana, berserakan.
Saat lamunanku perlahan memudar, aku sadar adik tadi telah beranjak ke tepian anggar yang lainnya. Tidak jauh dariku. Aku hanya menyadari sekilas saat ia berpindah tempat.
Saat aku tanyakan lagi, adik itu menangis. Aku menjadi sangat kasihan padanya. Tetapi rasa penasaran akan apa yang terjadi dengannya lebih besar bagiku saat itu ketimbang harus mengerti dan meninggalkan dia sendirian disana.
Tetapi yang tak ku duga. Si anak kecil yang dari tadi kulihat sangat gelisah ini akhirnya membuka suara juga. “Ibu jahat…” Tangisnya akhirnya memecah. Seperti beriringan dengan riak danau yang bergejolak makin hebat. “kenapa dengan ibu adik?” Cukup kaget sebenarnya dengan ucapan itu. Perlahan aku tanya kembali, berharap akan ada jawaban lagi.
“ibuku jahat. Ibu pembohong kak!” kini nadanya malah lebih tinggi dari isakan tangisnya. Dan saat itu entah berapa butir kerikil kecil yang ia lempar ke danau. Hingga danau yang tidak bersalah malah harus rela menjadi objek kekesalan si anak tersebut.
Perlahan ku coba untuk merasuki pikiran si anak kecil yang sedang menangis ini. Aku mencoba menelusuri sendiri, apa kira-kira yang tengah terjadi dengan si anak kecil. “ibu kamu gak jahat kok dik” satu senyumku cukup membuat dia tidak percaya dan dalam menatapku. Dari matanya, telah berbicara bahwa kekecewaan yang ia rasakan sungguh besar dan penuh arti. Mungkin hanya dia saja yang lebih mengerti. Aku paham. Ada batas yang tidak bisa aku selami dalam menilai apa yang sedang orang lain rasa dan fikirkan.
Tidak terasa sudah satu jam saja aku berdua duduk di tepian danau ini. Bercengkrama dengan alam, menyaksikan cerita si anak kecil. Ternyata ia begitu menyesali kepergian ibunya yang telah terlebih dahulu menyerahkan diri ke haribaanNya. Ada janji manis yang masih ditunggu si anak kecil dari sang ibu. Ada rasa rindu yang ia tidak tahu dimana tepian berlabuhnya. Ada rasa sepi dan sakit sendiri yang begitu melanda, menyiksa tubuh lusuh si anak ini. Kini dia hidup sebatang kara. Temannya pun tak banyak, hanya beberapa pemulung dan tentunya keranjang pemberian ibunya. Hanya benda itu yang selalu ia bawa kemana-mana. Benda itu yang memberi makan untuknya. Ya, memang lewat keranjang itu saja, ia bisa mengganti tumpukan sampah dengan beberapa rupiah.
Dahulu semasa hidup, kemanapun melangkah ia selalu bersama-sama dengan ibunya. Menjadi masalah atau faedah bagi orang lain ia tidak peduli. Segala yang ia kerjakan yang penting halal. Itu pesan yang selalu dituturkan ibunya, ketika memang tidak sedikit orang yang memandang sinis pada penampilan dan bau peluh menyengat yang berasal dari pakaian dan isi sandangan keranjang mereka. Ada yang mengejek juga, memandang hina, menutup hidung dan segera pergi menjauh. Hal itu sudah menjadi sangat biasa bagi mereka. Toh, apa yang mereka kerjakan sebenarnya juga bermanfaat bagi mereka yang acuh pada kebersihan dan sesukanya membuang sampah sembarangan. Jarang sekali kan ada orang memberikan jasa seperti ini -memulung.
Penyesalan itu makin membanjir ketika si anak kecil ingat dengan semangat yang selalu ia dapatkan dari ibunya. Sentuhan lembut dan pelukan sang ibu selalu setia menjadi sandaran atas setiap kesedihan maupun juga kebahagian yang ia rasakan. Tetapi itu dulu. Kini tidak lagi. Segala asa, harapan dan cita-citanya harus kandas dimakan masa. Begitu juga dengan janji-janji ibunya untuk selalu bersama dan bahkan berjanji akan menyekolahkan dia lagi. Hal itu selalu menjadi semangat yang membara baginya. Meski kini tampaknya api yang dulu berkobar-kobar itu perlahan mulai meredup dan hanya menunggu angin yang lebih kuat saja lagi untuk memadamkannya.
Kini aku telah mengerti dengan gulana yang dirasakan si anak kecil ini. Aku pun malah ikut menangis. Tetapi tidak serta merta aku ikut menumpahkannya di depan si anak kecil. Tangis itu hanya aku simpan di hatiku. Mencoba untuk menahan dan menekannya kuat-kuat, agar tidak muncrat seketika.
Ada rasa pilu yang ikut merasuki hati ku saat setelah aku mendengarkan cerita si anak kecil yang ternyata bernama Abdi itu. Ia begitu merindukan ibunya. Ia yang sangat mencintai dan menyayangi ibunya, namun ia tidak akan pernah bisa lagi bersama di dunia dalam menetaskan mimpi-mimpinya.
Haru biru itu akhirnya pecah saat aku tersadar bahwa terik mulai terasa menyengat kulit. Akhirnya aku putuskan untuk pergi, bukan meninggalkan si Abdi sendirian, tetapi bermaksud ingin membawanya ke sebuah warung nasi untuk makan bersama. Aku tidak tahan melihat anak semalang itu. Di dalam perjalanan masih banyak yang diceritakan oleh Abdi padaku. Ikhlas dan sabar, hanya itu yang bisa aku kata itu yang bisa aku sematkan di hati Abdi. Aku yakinkan padanya untuk terus mendoakan Almarhum ibunya. Kemudian menjadi anak yang shaleh adalah salah satu cara yang akan membuat ibunya tetap tersenyum disana. Subhanallah, Abdi menerima kata-kataku. Setidaknya, kini ia sedikit lebih baik dari awal aku bertemu dengannya. Yaitu beberapa jam yang lalu.
------------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Vivi Afri Oviani
Facebook: Vivi Afri Oviani
Post A Comment: