Cerpen - Kenapa Harus Mencuri? - Karangan: Nadia Feranisa ||| “Assalamualaikum Bang Doni! Ini Maul, bang!”
Maulana berteriak memanggil Bang Doni, pemilik counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter pulsa itu buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap hari. Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya.
“Wa’alaikum salam, iya sebentar”, Bang Doni yang masih memakai sarung menghampiri Maulana yang sudah 5 menit menunggu di depan.
Maulana berteriak memanggil Bang Doni, pemilik counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter pulsa itu buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap hari. Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya.
“Wa’alaikum salam, iya sebentar”, Bang Doni yang masih memakai sarung menghampiri Maulana yang sudah 5 menit menunggu di depan.
“Yah bagaimana sih bang, tokonya nggak dijaga begini”, kata Maulana berbasa-basi, sambil meletakkan keranjang berisi kue-kue di atas meja panjang yang terbuat dari kaca itu.
“Abang tadi baru selesai sholat subuh, maaf ya kalau lama”, kata Bang Doni sambil memindahkan keranjang kue tersebut.
“Saya nitip kuenya ya, bang”, kata Maulana sebelum pergi.
“Sip, belajar yang benar ya!”, Bang Doni menepuk kepala Maulana dengan lembut sebelum anak itu melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
Maulana melangkahkan kakinya yang hanya dibalut dengan sepatu yang sudah ditambal berkali-kali. Kaus kakinya pun sudah mulai kendor dan berwarna kekuningan. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun ia tetap bersemangat pergi ke sekolah pagi itu.
Begitu sampai di kelas, ia melihat beberapa teman sekelasnya berkumpul di tempat duduknya dengan Sabam. Ia berjalan mwnuju tempat duduknya itu.
“Wah keren, Sabam sudah punya handphone! Ah nanti aku minta ke mama ah!”, seru salah seorang murid yang meninggalkan tempat itu.
Sabam melihat wajah Maulana di antara wajah teman-temannya yang mengerubunginya itu.
“Mauul!! Eh minggir, sobatku sudah datang!”, Sabam segera berdiri dan menyapa sahabatnya itu.
Seketika anak-anak yang tadi berkumpul di tempat mereka langsung pergi. Maulana menaruh tasnya di atas kursi. Teman sekolahnya memang kebanyakan anak orang kaya. Namun tidak cukup baik untuk mau berteman dengan anak orang miskin. Berbeda dengan Sabam yang menerima Maulana apa adanya sebagai temannya
“Katanya kamu baru dibelikan handphone baru ya, Bam?” tanya Maulana.
“Ah handphone jelek saja kok!”, kata Sabam merendah.
Sabam segera memasukkan ponsel barunya itu ke dalam tas ketika temannya selesai meminjam benda tersebut. Ia memang tidak suka pamer, apa lagi di depan Maulana. Kehebohan tadi pun terjadi hanya karena ada salah seorang murid iseng yang tak sengaja melihat Sabam menelepon dengan handphone barunya itu lalu ia memberi tahu murid-murid yang lain mengenai handphone baru itu. Untuk ukuran murid kelas 4 SD seperti mereka saat itu, mempunyai ponsel merupakan hal yang sangat hebat.
Maulana membayangkan andaikan dirinya bisa seperti Sabam. Andai saja ia terlahir di keluarga kaya. Ia pun tidak perlu menjual kue dan repot-repot menjualnya. Belum lagi sekarang ibunya sedang sakit-sakitan. Sejujurnya ia merasa miris melihat keadaan ibunya di rumah, Sudah beberapa hari pula ia tidak menggunakan uang sakunya untuk makan di sekolah agar bisa menabung untuk membeli obat untuk ibunya.
Waktu itu, sempat sekali ibunya pergi ke dokter. Namun ternyata tagihannya sangatlah mahal. Terpaksa uang mereka untuk makan sebulan habis begitu saja. Sejak itu, ibunya tidak mau lagi pergi ke dokter. Maulana tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, termasuk Sabam sahabat baiknya. Ia tahu bahwa ibu Sabam adalah seorang dokter namun ia cukup tahu diri untuk tidak meminta apapun darinya. Ia selalu mengingat perkataan ayahnya, “Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta pada orang lain”
Sore harinya, Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni. Ia ingin mengambil keranjang kue yang dititipkan tadi pagi.
“Ini Ul, uangnya. Hari ini kue nya habis loh!”, kata Bang Doni sambil menghitung uang yang terkumpul lalu memberikannya pada Maulana.
“Terima kasih”, Maul kembali menghitung uang yang diberikan. Mengalikan harganya dengan jumlah kue yang ada lalu membagi dua puluh persennya untuk Bang Doni.
“Bang ini kelebihan kayaknya”, ujar Maulana.
“Hari ini abang nggak ambil untung. Buat kamu saja”, jawab Bang Doni sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum.
“Terima kasih banyak, bang!”, Maulana tersenyum senang lalu mengamankan uang tersebut di dalam tasnya.
“Bang aku boleh duduk di sini sebentar, kan? Capek banget”, kata Maulana sambil merenggangkan kakinya.
“Iya, silakan”
Maulana duduk menghadap jalan raya. Di hadapannya berdiri sebuah rumah sakit. Mobil-mobil mewah keluar masuk rumah sakit tersebut. Maulana menundukkan wajahnya, ia berpikir mengapa dunia begitu tak adil, mengapa jaminan kesehatan hanya dimiliki orang-orang berkantung tebal saja.
Ia segera sadar dari lamunannya saat seseorang memberhentikan motornya di depan counter pulsa itu. Orang itu memakai jas motor dan bertubuh tinggi besar. Ia melepas helmnya lalu duduk di atas salah satu kursi di sebelah Maulana.
“Ada yang bisa dibantu, pak?”, tanya Bang Doni.
“Saya mau jual handphone”, kata orang itu sambil meletakkan handphone nya di atas meja kaca itu. Bang Doni mengambilnya dan memerhatikan keadaan fisik benda tersebut. Sementara itu Maulana hanya mendengarkan percakapan tersebut walau sebenarnya ia tidak mengerti apa yang dibicarakan. Hingga akhirnya handphone milik bapak-bapak itu Bang Doni masukkan ke dalam meja kaca. Bapak-bapak itu pun mendapatkan sejumlah uang lalu kembali pergi dengan motornya. Uang yang didapat juga cukup banyak.
“Kok abang ngasih uangnya banyak banget?”, tanya Maulana.
“Tadi handphonenya masih bagus, keluaran terbaru pula. Makannya harganya masih mahal juga”, jelas Bang Doni.
“Oh begitu ya, bang”, Maulana mengangguk.
Akhirnya ia pun memutuskan pulang dan meninggalkan counter pulsa itu. Dalam perjalanan, ia memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ia teringat akan handphone baru milik Sabam.
“Kalau handphonenya masih baru dan bagus, harganya mahal pula”, kata Maulana dalam hati.
Tiba-tiba ia menghentikkan langkah kakinya.
“Astagfirullah, Maul.. Aku mikir apa sih? Nggak mungkin kan aku menjual handphone Sabam! Itu sama saja dengan mencuri!”, Maulana menepuk dahinya.
Ia beristigfar berkali-kali untuk membuang pikiran negatifnya tersebut jauh-jauh.
Hari-hari pun berlalu, kini Maulana harus berjuang lebih keras lagi mengingat penyakit ibunya yang semakin parah. Mau tidak mau Maulana belajar cara membuat kue sendiri. Paling tidak pekerjaan ibunya semakin ringan dengan bantuannya. Kalau tidak bekerja sama sekali, akan makan apa ia dan ibunya?
Tetapi tidak pernah sekalipun Maulana menunjukkan wajah lelah dan kesal di depan ibunya. Pagi itu, Maulana sarapan bersama ibunya di kamar.
“Sudahlah, Ul, tidak perlu bantu ibu buat kue lagi. Nanti kamu capek. Lebih baik kamu banyak belajar supaya nanti dewasa bisa jadi orang kaya. Tidak seperti orangtuamu”, kata wanita berwajah pucat itu.
“Ibu kan sakit, Maul nggak bisa bantu banyak buat ibu berobat. Makanya Maul mau membantu ibu apa saja. Lagipula Maul senang kok sekarang bisa masak kue!”, kata Maulana sambil tertawa.
Ibunya hanya bisa tersenyum. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia bisa memiliki anak sebaik Maulana. Memang ia tidak bisa memberikan banyak hal materil pada anaknya itu, tetapi doanya sebagai seorang ibu tidak pernah berhenti dicurahkan. Harapannya satu, ingin melihat Maulana hidup bahagia di masa depannya nanti.
Hari itu, Maulana pulang paling terakhir. Ia dihukum membersihkan kelas karena lupa mengerjakan PR. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai “tukang kue”. Sabam tidak bisa menemaninya karena harus pergi les.
“Loh ini kan..”, Maulana melihat sebuah handphone tertinggal di dalam kolong meja mereka.
“Handphone nya Sabam ketinggalan!”, Maulana berseru sambil memerhatikan handphone tersebut yang memang kepunyaan Sabam.
Yang Maulana pikirkan saat itu adalah segera mengembalikannya. Namun rumah Sabam jauh sekali dari sekolahnya. Tidak mungkin ia pergi ke sana sendirian tanpa ongkos naik bis. Ia pun memutuskan membawa pulang handphone tersebut terlebih dahulu.
Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni untuk mengambil hasil jualan kuenya. Hari itu keuntungan yang didapat tidak begitu besar. Ketika uangnya sudah diberikan, Maulana masih belum meninggalkan tempat tersebut.
“Bang Doni”, panggil Maulana.
“Iya, Ul?”,sahut Bang Doni.
Maulana menengok ke arah kanan dan kirinya. Tiba-tiba ada rasa penasaran di dalam hatinya untuk mengetahui berapa harga handphone milik Sabam yang ia bawa.
“Bang, kalau handphone seperti ini dijual jadi berapa?”, tanya Maulana sambil mengeluarkan handphone tersebut dari kantung celananya.
“Wah, sejak kapan kamu punya handphone, Ul?”, Bang Doni menerima handphone tersebut dan memerhatikan handphone tersebut.
“Bu-bukan handphone aku itu! Punya temanku ketinggalan di sekolah tadi”
“Oh begitu. Kalau ini dijual harganya bisa sekitar lima ratus ribu”, kata Bang Doni lalu mengembalikan handphone tersebut.
“Lima ratus ribu?”, ulang Maul. Tidak pernah Ia memegang uang sebanyak itu seumur hidupnya. Ia teringat akan ibunya di rumah. Lima ratus ribu sudah pasti cukup untuk biaya berobat ibunya.
“Iya, lima ratus ribu”, Bang Doni mengiyakan.
“Ya sudah aku cuma tanya aja kok bang. A-aku duluan ya, permisi”, Maulana segera membawa keranjang kuenya dan pulang ke rumah.
Malam itu Maulana habiskan dengan mengerjakan tugas-tugasnya. Sesekali matanya melirik pada sebuah ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidurnya. Seketika melihat ponsel itu, yang ia ingat adalah uang sebesar lima ratus ribu yang bisa ia dapat dengan mudah.
“Kalau dipikir-pikir, Sabam kan orang kaya. Pasti ia bisa beli lagi handphone seperti itu, bahkan yang lebih bagus dari itu”, gumam Maulana.
Tiba-tiba handphone itu berbunyi dan mengagetkan Maulana. Ia segera melihat siapa peneleponnya.
“Mama? Eh jangan-jangan ini mamanya Sabam yang telepon!”, Maulana mulai panik, ia menutupi ponsel itu dengan bantal agar suaranya tidak berisik.
Lama-lama suara itu tak terdengar lagi dan Maulana kembali mengerjakan tugasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya malam itu sehingga ia memutuskan untuk menjual handphone itu esok hari. Toh Sabam tidak tahu kalau handphone itu ada pada dia.
“Dasar maling! Aku nggak nyangka kamu setega itu, Ul!”, bentak Sabam penuh amarah.
“Tu-tunggu Bam!”, Maulana berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
Teman-teman sekelasnya mencibir dan menjauhi dirinya.
“Makanya aku nggak pernah mau berteman dengan orang miskin. Orang miskin itu pasti maling!”
“Eh Maul, kalau miskin mendingan nggak usah sekolah di sini saja! Sana kerja saja jadi kuli bangunan hahahahaha!”
Maulana menutup telinganya. Ia tidak kuat mendengar cemooh dan hinaan yang memang pantas ditujukan padanya. Ia pun berlari keluar kelas. Semua orang di sekolah yang melihatnya menatapnya dengan tatapan aneh dan penuh kebencian. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia berlari keluar dari gerbang sekolah. Yang ia tahu, ia hanya berlari dan berlari hingga ia sampai di depan rumahnya yang pintunya terbuka. Ibunya masih sakit-sakitan padahal sudah dibelikan obat, namun tidak setetes pun obat itu yang ibunya sudi minum. Maulana merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat. Tanpa ia sadari, air matanya terus berjatuhan.
“Bapak!”, Maulana berlari ingin memeluk bapaknya itu.
“Pak, Maul takut, pak. Semua orang benci Maul”, Maulana menangis di dalam pelukan ayahnya. Ayahnya tidak menjawab apa-apa namun ia mengelus kepala anaknya itu.
“Maul.. kamu lupa ya pesan bapak?”
“Pesan?”
“Biarpun kita miskin, kita tidak boleh berbohong. Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta. Biarpun kita miskin, kita juga tidak boleh mencuri”, kata ayahnya dengan lembut.
Hatinya bergetar hebat ketika mendengar perkataan itu hingga air matanya tak terbendung lagi.
Maulana terbangun dari mimpi anehnya malam itu. Pakaiannya basah dengan keringat. Nafasnya pun terengah-engah. Ia melihat handphone milik Sabam masih ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Tak sadar, air matanya pun menetes. Ia menyesal pernah berniat menjual benda yang bukan miliknya itu. Segala kejadian buruk di dalam mimpinya itu membuat dia amat ketakutan hingga ia terbangun dari mimpinya. Ia pun kembali sadar bahwa ia tidak dapat lagi memeluk ayahnya seperti di mimpinya itu. Maulana melihat jam yang masih berdetak di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 12 tengah malam. Hatinya merasa terpanggil untuk segera meminta ampun kepada Allah. Dengan wajah yang masih basah dengan air mata, Maulana pergi mengambil wudhu dan melakukan sholat malam di kamarnya.
Maulana sengaja datang lebih awal ke sekolah pagi itu. Tepat seperti dugaannya, Sabam sudah datang terlebih dahulu. Wajah temannya itu terlihat kusut dan Maulana tahu penyebabnya.
“Ul, handphone ku hilang waktu pulang sekolah. Kamu lihat gak, Ul?”, tanya Sabam dengan wajah melas.
“Oh itu. Kemarin aku menemukannya di kolong meja kita. Karena takut hilang, aku bawa pulang. Ini kok aku bawa!”, jawab Maulana segera membuka tas sekolahnya.
Wajah Sabam berubah menjadi cerah kembali. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya saat melihat handphone yang ia cari itu masih ada.
“Syukurlah ternyata ada sama kamu ya Ul. Terima kasih banyak! Kalau nggak ada kamu pasti handphone ku sudah hilang!”, Sabam menjabat tangan Maulana berkali-kali dan mengguncang bahu temannya itu.
Hati Maulana serasa penuh ketenangan. Ia tersenyum dan menjawab singkat ucapan terima kasih dari temannya itu. Ia menaruh tasnya di kursi sebelah Sabam.
“Maulana, kamu kenapa? Kayaknya kamu lagi ada masalah ya?”, tanya Sabam tiba-tiba.
Maulana tertegun.
“Akhir-akhir ini kamu jadi sering dimarahin guru dan nggak konsen kalau di kelas. Memangnya ada masalah apa sih, Ul? Ayo cerita aja, kita kan teman!”, Sabam menepuk pundak Maulana seolah semakin memaksanya untuk bercerita.
“Sebenarnya aku sedang bingung. Ibuku sedang sakit dan kami tidak punya uang. Aku tidak tega melihat ibuku seperti itu”, Maulana akhirnya mau bercerita untuk pertama kalinya.
Sabam terdiam dan memilih lanjut mendengarkan cerita Maulana hingga selesai.
“Kalau begitu nanti malam aku dan mamaku akan ke rumah kamu. Ibu ku kan dokter. Siapa tau bisa membantu”, kata Sabam sambil tersenyum.
“Ta-tapi”, Maulana seolah tidak percaya dengan perkataan temannya itu.
“Sudah, nggak usah sungkan! Ini sebagai balas budiku karena kamu sudah mengembalikan handphone-ku!”, kata Sabam.
Tak pernah Maulana sebahagia itu dalam hidupnya. Di malam hari, Sabam beserta orangtuanya benar-benar datang ke rumah Maulana. Akhirnya ibunya pun dapat berkonsultasi langsung dengan dokter dan mendapatkan obat agar bisa lekas sembuh. Maulana amat bersyukur telah membatalkan niat buruknya waktu itu. Ternyata kejujuran tidak akan pernah membawa kehancuran. Justru kebohongan lah yang akan menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan. Sejak itu, Maulana dan Sabam pun menjadi sahabat karib.
-------------------------------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Nadia Feranisa
Blog: nadiathecartoonist.blogspot.com
Post A Comment: