Namaku Naya umurku 16 tahun dan saat ini aku duduk di kelas 3 SMA. Aku mempunyai sahabat yang selalu setia mendampingi ku dikala suka maupun duka, dan mereka adalah Chika, Lisa, Kenan dan Citra. Kami berlima sekelas di sekolah SMA Negeri 01 Jakarta. Di kelas kami ada salah satu murid yang bernama Marco, kami semua beranggapan Marco itu anak yang nakal, suka bolos sekolah, dan terutama suka memainkan perasaan wanita.
Keesokan harinya, seperti biasa aku harus menjalankan tugas dan kewajibanku untuk sekolah. Setibanya di Gerbang Sekolah, sialnya aku bertemu dengan orang itu siapa lagi kalau bukan Marco orang yang paling ku benci di kelas bahkan di sekolah ini. Dan lebih sialnya, dia menginjak sepatuku dengan sepatunya yang murahan itu.
“Sekolah lagi membosankan!!” kata Marco
“Huuu, dia lagi-dia lagi” bisikku dalam hati
“Permisi” kata Marco dengan nada yang menurutku kurang sopan
“Awww, kalau jalan pakai mata yah! Belum apa-apa sepatuku jadi kotor kan! Dan ini semua itu karena kamu tahu tidak!” balasku sambil memarahinya
“Sudah?” tanya Marco
“Sudah apa?” balas tanyaku
“Sudah ceramahnya?” jelasnya sambil berjalan dan meninggalkanku
“Eeeehhh, dasar cowok gila! Dia yang salah bukannya minta maaf ehh malah pergi! Awaass saja!” ujarku
Sesampainya di kelas, seperti biasa lagi kehadiranku disambut oleh lemparan kertas yang sudah tidak terpakai lagi dan ternyata dalang dari semua ini yaitu Marco. Amarah ku saat itu tak bisa tertahan lagi, dan aku pun bergegas ke tempat duduk Marco dan menamparnya. Sekelas pun tiba-tiba menjadi heboh dengan tindakan ku.
“Dasar cowok Gila, kamu punya tata krama atau tidak hah?” kataku sambil menamparnya
“Apa-apaan ini? Kamu yang gila!” balasnya
“Aku? Aku Gila? Tidak salah? Aku atau kamu? Bukannya kejadian tadi kamu yang salah tapi kenapa kamu yang balas semua ini sama aku padahal ini semua kesalahan kamu?” tanyaku
“Oh begitu? Terus sekarang kamu mau apa? Jadi pacar aku?” balas tanya Marco
“Najis aku punya pacar seperti kamu. Mendingan jadi begini sampai tua daripada punya pacar yang sikapnya kekanak-kanakkan.” Jelasku
“Oh” balasnya
Kebencianku mulai menumpuk saat itu. Tadinya aku berniat untuk memukulnya tapi, Pak Haikal datang dan terpaksa niat ku terbatalkan. Chika pun mulai menghiburku untuk mencoba menurunkan amarah ku yang membara-bara ini dan usahanya pun berhasil.
Bel jam pulang pun berbunyi. Kami berlima pun berkumpul di taman sekolah.
“Ya ampun itu Marco kan?” tanya Citra
“Hah? Iya itu Marco. Ganteng banget yah! Mau deh jadi pacar Marco, tapi gak mungkin lah dia mau sama cewek kepolosan seperti aku” ujar Chika
“Akhirnya kamu sadar juga” balas Citra
“Ssshh, kalian itu salah besar punya niat buat jadi pacarnya cowok gila itu!” jelasku
“Setuju, Nay.” Kata Kenan
“Segila apapun Marco, Cuma dia yang ada di peringkat paling atas di hati aku Naya.” Balas Citra
“Iya aku juga” ujar Chika
“Terserah, tapi jangan bilang kalau kalian menyesal pernah suka sama Marco, Ok! Aku pulang dulu” jelas ku sambil meninggalkan mereka
“Nay tunggu aku ikut” ujar Kenan
“Huuu, dasar sih Naya. Awas saja kalau dia sampai jatuh cinta sama Marco” balas Citra
“Sudah, ayo pulang!”
Sesampainya di rumah, aku melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi di dalam rumahku, yaitu kedatangan tamu. Orangtua ku pun mengenalkan ku dengan anak dari sahabatnya waktu duduk di bangku SMP. Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui anak dari sahabat mama ku ternyata adalah Marco. Setelah melihatnya raut wajahku perlahan-lahan berubah menjadi seperti menunjukkan ekspresi kesal. Orangtuaku pun bertanya mengapa ekspresi ku seperti itu bertemu dengan Marco? Aku pun langsung menjelaskan semuanya pada mama dan sialnya mama ku malah berniat menjodohkanku dengan Marco cowok yang ku tampar tadi di sekolah. Amarah yang ku rasakan di sekolah tadi pagi kembali lagi, tapi karena adanya orangtua kita berdua maka dengan sangat amat terpaksa aku berusaha untuk menurunkan amarah ku ini.
Semalaman aku tak bisa tertidur mengingat perjodohan itu. Tepat jam 03.00 WIB handphone-ku tiba-tiba berbunyi. Semula aku sempat ragu untuk mengangkat telepon itu karena nomor itu tidak terdaftar di kontak handphone-ku, namun akhirnya aku pun mengangkatnya.
“Halo” kata ku membuka pembicaraan di telepon
“Ehm, Halo ini dengan Naya bukan?” tanya seseorang itu
“Ya dengan saya sendiri, ini dengan siapa yah?” tanyaku
“Marco” katanya
“Hah? Maksudnya kamu Marco Wijaya?” balas tanyaku
“Yah iya, ternyata kamu sopan juga yah?” ujarnya
“Memangnya kamu” balasku
“Ehm, Nay aku mau minta maaf soal kejadian tadi!” kata Marco
“Apa? Minta maaf? Serius kamu minta maaf?” tanyaku
“Iya-iya banyak tanya deh. Mau kan?” balas tanya Marco
“Sebenarnya sih aku masih dendam sama kamu, tapi dengan niat kamu yang mau-maunya nelpon aku sesubuh ini yah bisa dimaafkan.” Kataku
“Okay, Terima Kasih.” Ujar Marco
“Sama-sama” balasku
“Ngomong-ngomong sekarang ini kamu lagi apa?” tanya Marco
“Teleponan sama kamu.” Jelasku
“Kok belum tidur?” tanya Marco
“Mau aku tidak tidur semalaman ada pengaruh buat kamu?” kembali tanyaku
“Yah ada.” Katanya
“Apa?” tanyaku
“Penting buat kamu tahu?” kembali tanya Marco
“Semua yang berhubungan dengan aku, sewajarnya penting lah. Tapi, kalau tahu kamu lebih baik aku tidak perlu tahu. Sudah dulu yah!!” Jelasku
“Oh, ya sudah. Ehm Nay tunggu dulu!” pintah nya
“Apa lagi sih?” tanyaku
“Kita makan malam yuk!” ajaknya
“Kapan?” tanyaku
“Kalau kamu tidak ada acara besok, yah besok saja.” Katanya
“Ok!!” ujarku
“Di Restoran Harmoni jam 7.” Jelasnya
“Baik” balasku
“Ingat, Cuma kita berdua!!” pintah nya
“Iya bawel” jelasku
“Ok.” Sambil menutup pembicaraan
Malam itu pun tiba. Selama di perjalanan menuju ke Restoran itu aku merasa keanehan akan sikap Marco yang selama ini aku pikir dia nakal, suka bolos sekolah, dan terutama suka memainkan perasaan wanita itu salah ternyata Marco itu baik dan sopan. Sesampainya di Restoran itu, ternyata Marco telah berada di situ.
“Hei, lama kamu di sini?” sapaku sambil bertanya
“Lumayan, setengah jam lebih.” Jelasnya
“Lama dong, maaf yah kalau aku terlambat datang.” Kataku
“Tidak apa-apa, kamu mau makan apa?” tanya Marco
“Ehm, Spagetti. Kalau minumnya terserah mau kamu yang penting bersih dan bisa di minum.” Ujarku
“Mbak spagettinya dua dan soda dua.” Katanya
“Kamu suka spagetti?” tanyaku
“Banget, kamu?” balas tanya Marco
“Yah sama, banget sukanya.” Ujarku
“Nay, sebenarnya aku mengajak kamu makan malam itu ada alasan.” Kata Marco
“Apa?” tanya ku
“Tapi sebelumnya aku minta maaf yah kalau selama ini aku sering bersikap konyol sama kamu dan jujur aku menyesal.” Ujar Marco
“Hmm, kamu tenang saja aku sudah memaafkan kekonyolan kamu kok. Terus alasan kamu apa?” Jelasku lalu bertanya pada Marco
“Ehm, Nay sebenarnya begini. Semenjak aku melihat kamu itu aku tuh sudah sangat mencintai kamu. Mungkin sikap aku saat ini termasuk konyol juga di mata kamu.” Jelasnya
“Serius?” tanyaku
“Aku serius, Nay.”
“Ini bukan salah satu dari sikap play boy kan?” tanyaku
“Hmm, gak lah Nay. Kamu kayaknya gak gampang percaya omongan lelaki yah.”
“Memang aku begitu orangnya, Cuma kamu saja yang belum kenal aku lebih jauh lagi.”
“Terus?”
“Terus apa?”
“Kamu mau jadi pacar aku?”
“Ehm, jadi bingung.”
“Kalau gak mau gak apa-apa juga kok, Nay.”
“Eh bukan, aku bukannya gak mau.”
“Jadi kamu mau?”
Malam itu adalah malam terindah buatku, karena malam itu aku resmi jadi pacar Marco. Tapi aku juga bingung kenapa sampai aku bisa menerima cinta Marco? Apa iya aku cinta sama Marco? Tapi kok kenapa yah, dulu waktu Marco buat onar sama aku, sepertinya kebencian aku itu gak akan ada yang bisa untuk menghilangkannya tapi kenapa sekarang aku malah memberi Marco kesempatan buat dia untuk menjadi orang terpenting di hidup aku? Semua ini menjadi tanda tanya besar dalam hati dan pikiran aku.
Keesokan harinya di sekolah, teman-temanku tak ada satupun yang menyapaku. Aku mulai bosan dengan sikap mereka yang mendiami ku seperti ini. Aku pun mengajak Citra untuk bicara.
“Ra, kalian sebenarnya kenapa sih? Memangnya aku salah apa?”
“Masih gak sadar, Nay?”
“Soal apa?”
“Kamu jadian kan sama Marco?”
“Kamu tahu dari mana?”
“Masih tanya lagi, satu sekolahan tuh sudah tahu Nay.”
“Terus, apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Tanya tuh sama pacar kamu bukan sama kita. Kamu lebih memilih Marco kan dibanding kita yang jelas-jelas sahabat kamu. Kita tuh heran sama kamu Nay, bukannya dulu kamu melarang aku dan Chika buat suka sama Marco? Tapi sekarang apa Nay? Malah kamu yang jadian sama Marco. Oh aku tahu sekarang, kamu melarang aku dan Chika buat suka sama Marco itu supaya kamu bisa dengan leluasa cari perhatiannya Marco kan? Kalau memang tahunya begitu, kamu benar-benar Munafik Naya.”
“Bukan begitu, Ra.”
“Terus bagaimana? Sekarang kamu mau bilang kalau kita tuh salah paham hah? Dengan ini sudah membuat kita yakin kalau kita gak salah paham, Nay tapi kamu saja yang terlalu Munafik.”
3 bulan berlalu dan selama itu aku lalui dengan adanya cinta dan tidak adanya sahabat dalam hidup aku. Semua ini membuat aku gelisah, mengapa harus ada yang namanya Cinta di dunia ini? tapi aku heran kenapa Chika gak pernah marah sama aku? apa mungkin Chika sudah mengikhlaskan hubungan aku dan Marco?
“Chika… Chik, buka dong”
“Nay…”
“Chik, kamu gak marah kan sama aku?”
“Kenapa harus marah sih sama kamu?”
“Jadi kamu gak marah sama aku?”
“Mungkin”
“Terima Kasih, Chik. Ehm, Kenan di sini gak ?”
“Gak”
“Oh, aku pergi dulu yah”
Sesampainya di rumah, kakak ku bernama Sinta itu memanggilku dan menceritakan yang sebenarnya kepadaku. Ternyata yang menyebarkan hubungan aku dan Marco di sekolah itu Chika dan Chika juga yang membuat Marco dikeluarkan dari sekolahku. Aku sempat heran dari mana Kak Sinta mengetahui semua ini, ternyata juga Chika yang menceriterakan semua ini kepadanya karena Chika berniat merebut perhatian OrangTua dan Kak Sinta terhadapku. Sejak lama Kak Sinta sudah mencurigai sikap kepolosan Chika di depan mama dan papa maka dari itu Kak Sinta pun mencari waktu untuk menanyakan semua ini ke Chika dan dengan bodohnya Chika memberitahukan semuanya. Air mata aku perlahan mulai jatuh membasahi pipiku. Aku pun berlari meninggalkan Kak Sinta dan bergegas pergi ke taman yang di mana taman itu sering didatangi Marco dan Chika. Tapi, setelah sampai di sana aku belum melihat batang hidung mereka. Hampir 10 menit aku menunggu, Chika pun datang.
“Chika”
“Nay, kamu kenapa?”
“Sudah lah Chik, aku sudah tahu semua niat busuk kamu”
“Maksudnya apa yah?”
“Apa perlu aku jelaskan panjang lebar?”
“Tapi aku gak ngerti maksud kamu apa!”
“Hai Sayang” kata seseorang
“Marco, kamu kemana saja? Di saat aku butuh kehadiran kamu, kamu gak ada!” ucapku sambil memeluk Marco
“Naya” sambil melepaskan pelukanku
“Kenapa? Kamu gak kangen sama aku?” tanyaku
“Ehm…”
“Kenapa Marco? Tapi, kamu tahu dari mana aku ada di sini?”
“Ehm, Nay. Sebenarnya aku datang ke sini bukan mau bertemu kamu.”
“Terus sama siapa?” tanyaku lalu dengan perlahan menengok ke arah Chika
“Maaf Nay”
“Puas kamu, Chik? Puas kamu sudah mengambil semua hartaku di dunia ini? Chika apa sih salah aku sama kamu? Sampai-sampai kamu tega berbuat seperti ini.”
“Ini maksudnya apa sih?” tanya Marco
“Diam kamu. Aku kecewa sama kamu tahu gak, aku tuh sudah sampai rela melepaskan Citra dan Kenan Cuma demi kamu Marco. Tapi kenapa kamu menduakan aku? Aku kurang apa sih dibanding Chika?”
“Nay, kita minta maaf” kata Chika
“Basi Chik. Kamu munafik tahu gak.”
“Aku? Aku munafik, Nay? Bukannya kamu yang munafik? Kamu Nay yang membuat aku berpikir sejauh ini. Kamu sendiri yang melarang aku dan Citra untuk suka sama Marco tapi kamu sendiri juga kan yang jadian sama dia? Jadi siapa yang munafik Nay? Aku atau kamu?”
“Okey aku tahu, aku munafik. Tapi apa salah aku mau merasakan bagaimana rasannya jatuh cinta? Apa itu salah, Chik? Kamu tuh bukan Tuhan Chika! Sekarang aku tanya, kenapa kamu mau ambil orangtua dan kakak aku? Chika kenapa? Kamu sirik sama aku?”
“Iya Nay, aku sirik sama kamu”.
“Alasannya apa Chik?”
Hari itu adalah hari yang menyedihkan dalam kehidupan aku, hari yang tak pernah aku harapkan untuk datang dalam kehidupanku dimana akhirnya aku mengetahui bahwa ternyata orang yang selama ini aku anggap sahabat bahkan saudara sendiri berbuat sedemikian jauh seperti ini hanya untuk merasakan punya sahabat yang sayang sama dia, pacar yang sayang sama dia, orangtua dan kakak yang sayang sama dia. Di situ aku hanya bilang sama Chika “Terus, kamu anggap apa aku selama ini Chik? Apa dengan sikap kebaikkan aku ke kamu belum bisa membuat kamu menganggap aku sahabat sejati kamu?”.
Semuanya kini kosong gak ada artinya sama sekali. Impianku selama ini sia-sia untuk mendapatkan Marco. Gak ada lagi orang yang mau dengan setia mendengar semua keluh kesah ku saat ini. Di tengah jalan, air mata ini tak pernah berhenti mengalir. Dan di saat aku hendak menyeberang, tiba-tiba ada mobil melaju dengan kecepatan tinggi di sebelah utara, tapi aku belum sempat menyadarinya. Kejadian itu begitu cepat, aku hanya merasakan tubuhku tergeletak di jalan dan begitu banyak darah yang keluar di bawah kepalaku. Di situ kepasrahan datang menghampiriku, saat itu aku rela jika aku meninggalkan dunia ini lagi. Nafasku pun perlahan-lahan mulai menghilang. Kini aku benar-benar telah meninggalkan dunia ini, selamat tinggal kepedihan maaf jika aku terlihat begitu Congkak menghadapi semua ini, selamat tinggal Chika, Marco dan semua orang yang terlibat langsung dalam hidupku.
The End
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Militia Pandelaki
Facebook: https://www.facebook.com/MhichyiMhiLiePandelaki
Nama: Militia Christi Pandelaki
TTL: Tondano, 24 Januari 2000
Alamat: Tondano, Sulawesi Utara
Sekolah: SMP Negeri 1 Tondano
Twitter: @MThiaaa
Facebook: Militia Mhilie Pandelaki
Post A Comment:
0 comments so far,add yours
Posting Komentar