Cerpen - Misteri Hutan Horrowitch dan Hantu Tanpa Wajah - Karangan: Bimo Setiawan ||| Aaaaaahh…!, sebuah teriakan terdengar amat keras dari sebuah kamar. Bergegas aku lari menghampiri asal suara itu. Setibanya aku disana, telah banyak orang berkerumun di depan pintu kamar asal teriakan tadi. Beberapa mencoba memutar gagang pintu itu, namun pintu itu tak sedikitpun bergeming, terkunci.
“Ada apa ini Pak?” tanyaku mendekati seorang lelaki yang ada disitu.
“Ada seseorang yang berteriak amat keras nak, kami yang terkejut langsung lari kemari, namun pintu ini terkunci dari dalam. Petugas hotel sedang mengambil kunci cadangan untuk membuka pintu ini”. Kata lelaki itu.
Kualihkan pandanganku kembali ke pintu, kamar ini berada di lantai 17, tentu akan makan banyak waktu jika harus menunggu petugas hotel mengambil kunci. Apalagi jika ada hal yang tidak diinginkan di dalam kamar itu, tentu itu akan sangat buruk untuk terjadi.
“Kenapa tidak kita coba dobrak saja, butuh waktu cukup lama menunggu petugas hotel naik dan membawa kunci, selain itu jika ada sesuatu terjadi di dalam, bukankah akan sangat berbahaya jika kita hanya menunggu?” aku mencoba untuk membuat orang-orang yang berkumpul disitu untuk segera bertindak.
“Benar, dia benar”
“Kita harus segera membuka pintu ini”
“Baik, ayo kita coba bersama-sama membuka pintu ini”
Ajakanku berhasil, kini kami berdiri bersama-sama di depan pintu. Akan kami dobrak pintu itu agar segera terbuka.
“Baiklah, pada hitungan ke 3, kita dobrak pintu ini bersama-sama, satu…, dua…, TIGA…”
Dengan segenap tenaga kami mendobak pintu itu,
“BRUAKK…” terdengar suara benturan kayu, pintu itu terbuka. Kamipun bergegas masuk untuk memastikan apa yang terjadi di dalam. Ruangan itu cukup luas, kami berpencar berharap menemukan orang atau apapun itu yang berteriak tadi. Saat tiba-tiba salah seoang pencari berteriak.
“Oh, Ya Tuhan apa yang terjadi dengannya…!”
“Apa, ada apa?, apakah kau menemukannya?” teriak yang lain
“Ya, kemarilah kami ada di dapur”
Bergegas kami menuju dapur, aku berlari mengikuti dengan nafas memburu, aku ingin tahu apa yang terjadi. Sesampainya di di dapur, tak bisa kulihat apa yang sedang terjadi di dalam sana, aku mencoba menyeruak di antara kerumunan orang yang memenuhi ruangan itu. sampai di depan, aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
Sungguh menakutkan, kulihat seorang laki-laki tak bernyawa disana. Dengan tubuh hancur bagaikan di cabik-cabik oleh binatang buas. Bau darah membuatku menjadi mual, aku berjalan memutari mayat laki laki itu. saat aku sampai di dekat jendela, kulihat sesuatu, sesuatu yang besar dan belum pernah kulihat sebelumnya.
Seekor burung raksasa bertengger di atas gedung sebelah hotel tempatku berada. Makhluk itu sangat besar. Tingginya mungkin 9 meter dengan paruh yang sangat panjang. Sejenak aku terpana memandangnya, sampai aku sadar bahwa makhluk itu juga memandangku.
Jantungku berdegup sangat kencang, tubuhku tak bisa bergerak. Aku sangat takut, namun orang-orang yang berada disitu belum menyadari adanya makhluk itu. aku berusaha memutar kepalaku, berharap ada yang melihat dan menghampiriku. Saat aku sudah dapat menoleh, kulirik makhluk besar menakutkan itu. makhluk itu lenyap.
Aku keluar dari ruangan itu dengan rasa takut yang amat sangat. Aku belum bisa percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Beberapa orang polisi sudah mulai berdatangan kekamar itu. sejenak kuperhatikan mereka dan kulanjutkan menuju kekamarku. Hari itu juga kuputuskan aku pindah.
Hangat cahaya matahari membuat tubuhku sedikit segar, setelah semalaman aku tidak tidur karena mengantri karcis kereta dan bus. Hari ini aku berencana untuk pindah ke sebuah pedesaan di daerah Auswitlh. Disana ada beberapa penginapan yang katanya cukup nyaman untuk ditempati. Walaupun mungkin tidak selamanya aku disana, namun untuk saat ini aku lebih baik menjauhi kota untuk menenangkan diri.
Jam 7 lebih seperempat aku telah berada di depan stasiun. Keretaku berangkat pukul 8 pagi. Sambil menunggu, aku membeli Koran dan segelas minuman. Kubalik-balik halaman Koran mencari berita yang kelihatan menarik, sampai akhirnya mataku berhenti dan tertuju ke salah satu berita hukum dan kriminal di Koran yang kupegang.
“sesosok mayat laki-laki yang diketahui bernama Sir Albert Anderson ditemukan di dalam kamar hotelnya dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Sampai saat ini belum diketahui penyebab kematiannya yang misterius ini”, ternyata laki-laki yang tewas kemarin adalah Mr Albert, salah satu ilmuan terkemuka yang menjabat di Department Penelitian dan Pengembangan Ilmiah Norwegia.
Aku berfikir sejenak, kenapa orang seperti Mr Anderson di bunuh. Apakah dia telah melakukan sesuatu yang tidak baik, fikirku. Kulanjutkan membaca Koran itu, baris demi baris. Mr Anderson ternyata pernah melakukan penelitian di daerah Westlavia, di dekat hutan horrowitch yang menjadi tujuanku untuk tinggal sementara.
“hmm… Mr Anderson melakukan penelitian di Westlavia, tentunya untuk pengembangan lingkungan. Siapa tahu nanti aku bisa berkunjung di tempatnya bekerja” fikirku. Kuhabiskan minumanku dan kutenteng koperku, waktu menunjukkan pukul 07.55 menit, kereta sudah datang dan akupun berangkat ke Westlavia, Hutan Horrowitch.
Jam 12.15 menit aku sampai di Westlavia. Segera kurasakan hembusan angin sejuk pedesaan menerpaku, segar sekali. Membuatku lupa akan peristiwa di hotel kemarin.
“Ahh,… segarnya udara disini, sepertinya aku akan betah berada disini” gumanku sendiri. Sesaat kulihat serombongan orang juga turun dari bis yang berbeda. Sekitar 30an orang yang turun. Masing-masing menenteng tas dan koper masing-masing. Kulihat seorang wanita yang sepertinya warga lokal, kuhampiri wanita.
“Selamat siang Nyonya” sapaku.
Wanita yang kusapa itu menoleh dan meletakkan tasnya kemudian membalas sapaanku.
“Selamat siang juga anak muda, adakah yang bisa kubantu?” balas wanita itu, ramah.
“Perkenalkan, nama saya Andrew Swadosky, saya kemari untuk menginap di Westlavia, tepatnya di Toragon, dekat hutan horrowitch, apakah nyonya tahu dimana itu? karena tiket bus saya hanya sampai ke terminal blughrod” tanyaku kepada wanita itu.
Wanita itu memandangku sejenak dengan raut wajah serius, kemudian berkata,
“oh, tentu nak, aku Jersey Wiscon dan kamu bisa memanggilku Jersey, rombongan ini juga akan menuju Toragon, kalau mau kamu bisa menumpang bersama kami, dan bisa kamu simpan tiket busmu itu” katanya sambil tersenyum.
“Oh… terima kasih Nyonya, terima kasih”, kataku gembira.
Lalu kembali ku angkat koperku menuju bis yang ditunjukkan wanita itu. aku masuk dan duduk di sebelah sopir karena bus ini telah penuh. Sekilas aku melihat bahwa penumpang bus ini adalah orang-orang yang agaknya juga dari kota, karena baju dan gaya mereka berbicara tidak seperti orang desa. Lalu kualihkan tatapanku ke depan dan bus pun melaju.
Hampir lima jam aku berada di bus, dan selama itu pula aku tertidur karena lelah. Jam 18.12 aku sampai di Toragon. Akupun bergegas turun dari bus dan mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Nyonya Jersey yang telah membolehkanku menumpang. ia menyalamiku kemudian beranjak pergi dengan tatapan aneh padaku.
Sejenak aku merasa risih karena dia melihatku seperti itu. namun segera kutepis segala prasangkaku dan aku pun bergegas mencari hotel tempatku akan tinggal.
“Horrowitch Resaw, nama yang aneh untuk sebuah hotel, emm.. atau mungkin karena tidak ada yang lebih bagus lagi selain nama itu?” aku tertawa sendiri karena ucapanku. Ya hotel itu yang diberitahukan padaku oleh petugas tiket saat membeli tiket kereta api. Katanya hotel itu adalah yang paling bagus dan besar di Toragon.
Sambil terus berjalan, aku melihat kekanan dan kekiri. Ada perasaan aneh saat aku merasa bahwa tempat itu begitu sepi untuk ukuran sebuah desa besar, hanya tampak beberapa orang membawa peti dan gerobak di jalan. Sesekali mereka berhenti dan melihat kearahku, lalu melanjutkan lagi pekerjaan mereka.
Sedikit acuh dengan keadaan itu, aku tetap saja berjalan. Rombongan yang tadi bersamaku di bus pun telah lenyap. Entah kemana mereka pergi sehingga aku tidak bersama mereka sejak tiba di Toragon. Namun hal itu juga tidak mengusikku dan aku terus saja berjalan, hingga aku sampai di tengah kerumunan orang. Akupun bertanya
“Permisi Pak, maaf saya menganggu, saya akan tinggak di desa ini dan saya sedang mencari tempat untuk menginap” sapaku ke salah seorang yang berkerumun itu.
orang itu menoleh padaku, dan melihat padaku dengan tatapan dingin. Agaknya dia tidak biasa melihat penampilanku yang khas anak muda kota ini berada di pedesaan. Sekilas ia melirik ke belakangku kemudian bertanya
“Siapa kamu” tanyanya.
“Maaf, nama saya Andrew dan saya akan tinggal disini untuk sementara, saya sedang mencari hotel “Horrowitch Resaw” apakah bapak mengetahui dimana hotel itu?” jawabku sambil bertanya.
Laki-laki itu mengeryitkan dahi dan menatapku dalam-dalam, kemudian dia menunjuk ke arah serombongan orang yang baru saja meninggalkan tempat kami berdiri, mereka sudah jauh, namun masih terlihat samar-samar. Lalu laki-laki itu melanjutkan perkataannya.
“Ikutilah rombongan orang-orang itu, maka kamu akan sampai ke Hotel itu, namun aku peringatkan kamu, sebaiknya segeralah tinggalkan desa ini, atau urungkanlah niatmu jika kamu kesini hanya untuk bersenang-senang” katanya dengan suara bergetar. Aku memandang laki-laki itu dengan tatapan bingung, apa maksud laki-laki ini berkata begitu fikirku.
“terima kasih pak, tapi… Apa maksud bapak? Saya tidak mengerti?” tanyaku. Laki-laki itu hanya diam, kemudian menepuk bahuku sambil berkata
“hotel itu tidak aman nak, tidak buat siapaun juga, kembalilah dan jangan kemari lagi”
Kali ini aku hanya menatap bingung tanpa bicara sepatah katapun. Setelah beberapa saat terdiam, akupun meraih tas dan koperku. Tentu saja aku tidak bisa mengikuti saran dari lelaki itu karena semua uang yang kupunya sudah kupakai untuk menyewa kamar di hotel itu lewat rekening, jadi tidak mungkin aku pergi begitu saja dan meninggalkan Toragon,
“terima kasih pak, tapi saya tidak bisa pergi, saya akan baik-baik saja. Sekali lagi terima kasih atas saran bapak” kataku pada lelaki itu. kulangkahkan kakiku meninggalkan kerumunan itu. entah apa yang mereka kerumuni aku jadi tak tertarik untuk melihat. Namun sekilas tadi aku melihat apa yang berada ditengah-tengah mereka, benda hitam yang sangat besar, mungkin berukuran satu meter berwarna hitam, seperti bulu. Tapi apapun itu, tak kufikirkan lagi. Aku hanya ingin segera ke hotel dan beristirahat.
Aku melewati sebuah jalan yang cukup panjang, desa tempatku berhenti tadi kini hanya kelihatan remang remang. Dan jalan yang kulalui ini cukup gelap karena antara lampu penerangan yang satu dengan yang lain berjarak hampir 100 meter. Bulu kudukku berdiri saat aku melihat kiri dan kanan yang masih hutan lebat. Antara takut dan lelah aku semakin mempercepat langkahku.
“grsskk” kudengar suara aneh didepanku. “grssk, grssk..” suara itu makin jelas kudengar, agaknya suara itu berada di sebelah kananku dan agak masuk ke dalam hutan. Meskipun takut, namun karena penasaran, kucoba untuk melihat apa yang tadi menimbulkan bunyi itu. aku mencoba melongok ke hutan di sebelah kananku, pelan-pelan aku berjalan menghampiri suara itu.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun sama sekali tak kulihat apapun, aku diam. Bulu tengkukku mulai berdiri, karena tak ada siapapun disitu selain aku.
“Ahh… mungkin Cuma kelinci atau kucing liar,” batinku menenangkan diri. Aku mulai melangkah menjauhi pinggiran hutan dan kembali ke jalan yang tadi kulalui, aku berbalik dan bergegas menenteng kembali koperku. Namun belum sempat aku melangkah, kulihat sesuatu yang membuatku kembali merasa ketakutan. Seseorang berdiri dihadapanku tepat dipinggiran hutan sebelah kiriku, berlawanan dengan tempatku berada.
“deg…” Jantungku berdegup cepat. Aku tidak bisa melihat dengan jelas orang itu karena letaknya cukup jauh dari tempatku berada. Namun karena saat itu aku berada dekat dengan lampu jalanan, aku bisa melihat sedikit seperti apa orang yang ada didepanku itu. ia memakai sebuah mantel dan memakai topi, sedikit usang jika kulihat dengan baik.
Aku mencoba untuk tetap tenang, kupikir itu hanyalah salah satu penduduk desa yang sedang menuju hotel sepertiku atau sedang kembali dari arah yang kutuju. Perlahan aku berjalan mendekat ke arah orang itu, siapa tahu kami bisa berjalan bersama, fikirku. Samar samar aku kini bisa melihat orang itu dengan cukup jelas.
Belum sempat aku mengeluarkan kata-kata, orang itu mendongak dan betapa terkejutnya aku. Orang itu tidak mempunyai wajah. Mukanya polos bak salju yang putih dan tidak berbentuk. Kuhentikan langkahku, kini benar benar perasaan takut menyelubungi seluruh tubuhku. Mendadak muncul kabut putih tipis disekitarku, angin dingin yang kurasakan semakin bertambah dingin, tanpa pikir panjang lagi aku berlari. Kutinggalkan tempat itu dengan pandangan kosong si tanpa wajah kearahku.
----------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Bimo Setiawan
Post A Comment: