Aku memandang muka bapak lekat lekat. Disana terlihat wajah kusam pertanda ia lelah. Seharian ini bapak sibuk mengguguri waktunya untuk mencari pekerjaan di ibu kota super kejam, aku menamainya begitu.
“Bapak, apakah hari ini ada yang menerima bapak untuk bekerja kuli panggul?”
“Belum ada nak, sabar saja ya. Bapak akan mendapatkan pekerjaan agar kamu dapat bersekolah” Muka bapak memunculkan kesedihannya. Kali ini aku tak mampu membendung air mata.

Aku Asih. Umurku 14 tahun. Cita–citaku ingin sekali bersekolah seperti sebagian anak-anak di luar sana. Yang mampu menikmati hidupnya dengan lega. Apa saja maunya dapat mereka wujudkan hanya dengan menangis meminta minta pada orangtuanya.
Syukur, Aku dilahirkan bukan menjadi anak seperti itu. Aku seorang gadis kurang mampu yang dibesarkan tanpa ibu. Ibuku meninggal saat melahirkan. Mukanya pun belum pernah aku sentuh. Mencium pipinya hanya ku lakukan lewat foto yang dibingkai dengan frame jadul waktu dulu.

Aku kembali belajar dari Takdir yang mengajarkan untuk berbesar hati lagi. Rumahku terkena penggusuran sejak sebulan yang lalu. Sekarang aku hanya tinggal di pemukiman kumuh di tengah-tengah gedung menjulang tinggi.
Bapakku dulunya hanya tukang sol sepatu keliling yang upahnya tidak lebih dari kepingan recehan yang bila dijumlahkan hanya mampu membeli satu bungkus nasi dalam sehari.

“Bapak, aku lapar” Pekikku dengan nafas terpenggal-penggal. Aku dikejar banyak warga, sebab siang ini aku berusaha mengorek tong sampah di depan restoran mewah untuk mendapatkan makanan yang dibuang dengan sengaja. Sudah tiga hari bapak dan aku perutnya tidak disapa oleh nasi, bahkan air pun tak setetes pun didapati tenggorokan kami.

Aku hanya mampu menelan ludah dan mengamati dengan seksama dari jauh orang-orang yang sedang makan. Di restoran mewah atau sepanjang jalan yang aku lewati.
Aku terdiam duduk di trotoar, memperhatikan makanan yang dipegang seorang laki-laki yang keluar dari sebuah restoran. Sekitar 200 meter jaraknya dari posisi aku duduk. Seketika muncul niat mengambil makanan itu dan lari membawanya untuk bapak.

Aku yakin bapak sekarang masih berkeliling mencari kerja atau sama denganku berusaha mencari uang untuk dibelikan makanan. Tekad bapak sangat kuat, ia bercita-cita ingin menyekolahkan aku seperti yang lainnya. Lirih aku mendengar ketika bapak bilang, Ia akan berkorban selagi ia mampu dan pengorbanannya tidak lagi bisa ia berikan kepadaku. Bagiku bapak adalah sosok pahlawan di hidupku.

Saat ini, Aku berdiri sekedar merapihkan baju. Tak ada aba-aba, aku belari kencang, dengan cepat mengambil kantong plastik berisi makanan dari laki-laki yang sedang membuka pintu mobil.

“Hei! makanan ku” teriaknya kuat.
aku tidak menengok sama sekali. Pikiranku, Aku hanya harus membawa pulang makanan ini untuk bapak. Setidaknya aku dapat mencicipinya sedikit. Dan mejanggal perut untuk 3 hari kedepan. Ibukota memang super kejam, batinku.

Matahari siang ini begitu sengat. Mukaku hitam pekat, dengan baju seadanya, celana pendek dan rambut kusut serta sendal jepit warna biru. Itu semua barang bekas yang kuambil dulu dari tumpukan sampah. Aku berjalan pelan, memeluk sebungkus nasi di dalam kantong plastik hitam.
“Bapak, akhirnya kita bisa makan,” ucapku dalam hati. Langkah demi langkah, cepat dan semakin cepat. Aku menyadari ada banyak orang di belakangku berlari dan sepertinya…

Aku berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada apa-apa. Tetapi tidak bisa.

Dengan batu digenggam sebesar kepalan tangan. Dari kejauhan aku melihat mereka meneriakanku “maling! maling!” Ya! Mereka Orang-orang yang tadi hampir menghabisiku di restoran sebelumnya. Jantungku tak karuan lagi bunyinya, badanku seperti bergetar kencang tak mau diam, kakiku sudah lemas. Tetapi, aku harus lari sekarang juga. Tanganku masih memegang erat bungkusan nasi itu.

Prang!!!! Nasi itu terlempar jauh, bertebaran di aspal. Dengan semua lauk pauknya. Aku dihabisi oleh warga yang kalap. Mereka menghakimiku. Mereka tak mengerti betapa kelaparannya aku saat ini. Tak memandang aku perempuan. Pukulan demi pukulan aku dapatkan.
“Kau Pencuri!” Lantangnya.
“Aku hanya ingin makan pak, bu. Aku lapar”
“Ah, alasan!” Matanya melotot, jiwanya sudah dikendalikan amarah.
Aku pasrah.
“Bapak, tolong asih pak” aku mengais-ngais sambil menangis. Dan merintih kesakitan.

Tiba tiba, Seorang laki-laki bertubuh tegap berdiri di sekitar kerumunan orang. Aku melihatnya samar-samar. Memberhentikan dan menyuruh warga bubar serentak. Wajahnya terlihat amat marah. Tak salah, ia laki-laki yang tadi makanannya ku ambil. Aku pikir dia akan memarahiku dan memintaku ganti rugi. Kalau perlu aku dituntut masuk penjara dan denda. Ah, pikiranku tak terkontrol lagi. Pandangannku sinis padanya.

“Hey, ayo bangun” Tangannya dijulurkan sekedar membantuku berdiri.
“Aku tak apa” Aku menghiraukan bantuan darinya. Saat ini aku benar-benar ingin segera kabur dari sini. Takut.
“Aku tidak marah dengan kejadian tadi, kau lapar?”
“Iya. Apa aku salah?”
“Tidak! Lapar sungguh manusiawi. Hanya caramu yang salah.” Ucapnya dengan nada pelan. Tak muncul muka marah di wajahnya.
“Aku kelaparan, 3 hari aku belum makan” Butiran air tampak jelas di pipiku. Sambil memegang perut yang memang sudah berbunyi sedari tadi.
“Maaf, jika tadi aku tak sopan”
“Tidak perlu dijelaskan, lain kali kau temui aku saja jika lapar, namamu siapa?”
“Asih” Jawabku singkat.
“Kenalkan aku Reyka. Ini untukmu” Ia memberikanku sebuah kantong plastik yang berisi makanan. Ternyata ia memesan ulang dan mengganti nasi yang sudah berhamburan di jalanan.
“Ini makanan. Untukku?” Aku berusaha meyakinkannya lagi.
“Iya untukmu, makananmu yang tadi sudah jatuh. Tuh coba lihat, katanya kau lapar” Jawab Reyka sambil menunjuk nasi yang sudah jatuh terbalik, dengan senyum menawan dan bibir kecil yang terlihat begitu manis.
“Terimakasih, aku akan segera pergi. Bapakku menungguku, aku pamit”
Aku menundukan kepala dan meminta izin pergi dari hadapannya. Aku putar balik arah dan jalan dengan sangat cepat. Aku tengok sekali lagi untuk melihat wajahnya. Kini ia jauh dan tak dapat dilihat jelas lagi. Buram. Atau pandanganku yang mulai buram. Entahlah.

“Bapak, aku bawa makanan! Ini nasi untuk bapak” Aku menggoyangkan badan bapak dengan kuat. Membalikkan badannya yang sedang tertidur pulas di atas triplek beralaskan kardus bekas. Bapak masih diam.
Bapak pasti sangat letih. Seharian ini telah berkeliling dan capek. Mukanya pucat pasi. Tak ku lihat serupiah pun didapatnya. Atau muka gembira pertanda bapak mendapat kerja.
“Bapak, bangun pak” Lirih terdengar suaraku di tengah hujan yang telah membasahi bumi. Beserta suara menggelegar dari langit. Seakan marah juga seperti aku. Bapak sudah tidak bernyawa. Nafasnya tak kutemukan lagi disana.
“Bapak bangun! Jangan tinggalkan Asih pak, bangun!”

Ini seperti pukulan keras untukku. Bapak ternyata belum makan dari seminggu yang lalu. Ia hanya memikirkan supaya aku bisa makan. Aku berteriak meminta tolong sekencang-kencangnya dengan sisa tenaga yang kupunya.
Tak ada yang mendengar.
Aku berlari dan kaget, badanku tengah menempel pada seseorang yang kukenal. Ya, ia Reyka. Ia langsung membantuku membawa bapak ke rumah sakit.

“Bapakmu tak dapat diselamatkan lagi, maaf” Ucap dokter yang telah mengucurkan keringatnya dengan perasaan bersalah karena tidak dapat menolong bapak.
Kakiku lemas, aku tergeletak di lantai, suaraku tak mampu ku keluarkan lagi. Tertahan di tenggorokan. Semua terasa tak adil. Jika aku harus hidup tanpa bapak. Kalau begitu aku minta tak usah dilahirkan sejak dulu. “Ya Tuhan, cabut juga nyawaku sekarang!”

Di bawah pohon rindang berikut seulas senyuman yang terlukis di langit membentuk awan. Aku melihatnya jelas disana ada wajah bapak. Ia tersenyum! Aku dapat merasakan ketenangan bapak. Aku yakin betul, di dunia bapak sudah menderita, pasti sekarang bapak ditempatkan di surga oleh-Nya.
Seperti tak mau beranjak dari rumah keduanya. Aku memutuskan untuk tetap tinggal lebih lama disini. Tak lama pikiranku beralih ke laki-laki yang tadi menolongku.
Ia telah menghilang. Tadi dia disini, batinku terus-terusan meyakinkan. Sudahlah. Mungkin Reyka mendadak ada urusan.

Aku terus berusaha berjalan menyusuri rumah tempat yang sudah ku perjelas adalah rumah Reyka.
Sekarang aku berdiri di depan rumah megah bak istana. Ini pasti rumahnya.

“Permisi, apakah aku dapat bertemu reyka?” Tanyaku pelan.
Pak satpam disitu tak menjawab. Lantas seperti ingin berlari, keringat tercucur di dahinya.
Aku membuyarkan lamunannya.
“Pak, aku mencari Reyka. Sekedar ingin berterimakasih karena ia menolongku kemarin” Ucapku lirih.
“Neng ini siapa?” Ada nada khawatir disana
“Aku asih pak, sungguh aku kenal reyka. Benarkan ini rumahnya?”
“Iya neng ini memang rumahnya, tapi…” pembicaraannya ia putus dengan membawaku masuk ke dalam rumah.
Aku dipersilahkan duduk. Ia seperti memanggil seseorang untuk diajak berbicara bersamaku. Kupikir itu Reyka, orang yang kucari dari seminggu ya lalu.
“Maaf neng Asih. Ada apa mencari den Reyka?”
“Aku ingin sekedar mengucapkan terima kasih padanya bi” Kali ini aku berbicara dengan bibi Sumi. Seorang tua renta yang menjaga rumah sebesar ini. Pikirku, ini keterlaluan. Aku tak punya tempat tinggal. Sedangkan Reyka mempunyai tempat tinggal 20 kali lipat dari bayanganku.
“Neng, Kalau ingin mencari den Reyka. Ia sudah tidak ada disini”
“Maksudnya? Maaf bi, aku hanya ingin berterima kasih saja, karena ia telah menolongku beberapa kali”
Apa susah bertemu dengan orang kaya? Batinku sebal.
“Neng, den Reyka sudah meninggal sejak sebulan yang lalu” Jawab bibi dengan raut muka sedih.
Seperti ada besi menancap di dadaku. Ini tidak mungkin. Ia orang yang menolongku waktu aku ingin dihabisi warga, dan menolong ayah ke rumah sakit sampai nyawa ayah tak dapat tertolong lagi. Ia juga ikut menguburi ayah waktu itu. Ini hanya petir di siang bolong. Tidak! Tidak mungkin!

Tumpukan tanah dengan batu nisan bertulisakan “Reyka Algazani Amri”. Aku tengah duduk di dekatnya. Kuburan Reyka. Benar, ia sudah meninggal dunia. Belaian lembut tangannya masih kurasakan. Bau khasnya masih ada disini. Tetapi ada yang keliru? ia sudah meninggal? Lalu, siapa yang kulihat akhir-akhir ini. Ia tampak jelas, mukanya cerah benderang. Badannya telihat tegap seperti laki-laki gagah dan kuat.

“Ia, meninggal karena penyakit kanker stadium akhir neng” Bi Sumi memecahkan pikiranku yang telah bercabang-cabang sedari tadi. Seraya menyirami air di pusara reyka.
“Aku…”
Aku tak dapat berkata apapun. Tak dapat menjelaskan apa yang telah ku alami bersama Reyka pada bibi. Kini aku tak dapat berpikir jernih. Aku merasa telah dibohongi atau semua pikiranku ini… Hanya mimpi?

Aku duduk di emperan toko yang sudah tutup. Hari mulai gelap. Bulan tak terlihat. Apa lagi bintang. Pikiranku telah terkontaminasi dengan Reyka. Bagaimana bisa aku mengenalnya bahkan menyentuhnya. Dan ia sudah tiada sejak lama.
Badanku terasa dingin karena tak ada selimut yang menggaluti tubuhku. Di luar sana hujan deras.

Aku berterima kasih pada Tuhan, telah dipertemukan oleh Reyka. Ia Membantu aku dan bapak. Sekarang aku dapat bersekolah berkat dirinya. Ia menanggung semua biaya sekolahku. Mimpiku tewujud, Tuhan.
Rumah berukuran mini, Reyka hadiahkan untukku. Ia bilang terakhir kali. “Ini untukmu, sekedar kau berteduh dari dunia yang kejam di luar sana” Senyumannya masih kuingat sampai sekarang.

Kini ibu, bapak dan Reyka. Tiga orang itu ada disana. Tunjukku pada langit gelap diluar.
Mereka semua sudah bahagia. Walaupun aku tak tahu, bagaimana bisa orang yang telah meninggal mampu menolongku dengan seksama. Sekarang giliran aku yang harus terus berjuang menghidupi kehidupanku sendiri. Tetapi tak dapat ku ingkari, kenangan bersama Reyka akan kuingat terus di hati dan pikiranku. Sampai saat ini, aku tetap menamainya, “Malaikat Tanpa Sayap”.
---------------------------------------------
Cerpen Karangan: Gabriela Aini Yahya
Facebook: bellaainiyahya[-at-]yahoo.co.id


Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment:

0 comments so far,add yours