Pemuda bersurai cokelat madu itu sudah menunggu lebih dari satu jam. Kereta yang dijadwalkan tiba pukul sembilan lebih lima belas menit agaknya tidak tepat waktu. Kedua manik matanya bergerak was-was mengawasi sekitar. Suasana benar-benar sepi. Ia merasa satu-satunya calon penumpang yang menunggu kereta berikutnya. Ia mendengus kesal dan mendudukkan diri pada bangku tunggu warna merah yang sejak tadi menganggur. Ia menyembunyikan kedua tangannya dari keganasan udara malam yang dingin di dalam saku jaket.

“Apa keretanya macet di tengah jalan” gerutu pemuda beriris cokelat kelam itu diikuti hela kekecewaan. Ia menelengkan kepalanya sedikit untuk melihat jadwal yang sudah jelas tidak dapat dipercaya itu. Udara semakin tidak bersahabat. Kereta tak kunjung datang. Pemuda itu berulang kali mengeratkan jaket baseball yang membungkus tubuhnya.

“Dingin” gumamnya hampir tak terdengar. Kedua kakinya yang terbungkus sepatu berbahan kanvas itu terus bergerak naik turun menghantam tanah yang kecoklatan. Ia sengaja melakukannya agar dapat meredam kesunyian.

TUT! TUT! suara kereta terdengar dari kejauhan. Dengan girang pemuda itu beranjak dan berlari mendekat ke tepi rel. Benda besar itu lambat laun berhenti dan salah satu pintunya terbuka. Pemuda itu melangkahkan kakinya dengan gesit ke dalam kereta yang sejak tadi membuatnya menunggu. Ia melangkah mencari tempat duduk kosong. Kali ini tidak terlalu banyak penumpang sehingga ia bebas memilih ingin duduk di mana.

Sebuah tempat duduk kosong di samping seorang gadis yang tengah tertidur menjadi pilihan pemuda itu. Ia menempatkan diri sehati-hati mungkin. Ia tidak ingin salah satu bawaannya menyenggol teman duduknya dan membangunkan teman duduknya itu dari tidurnya.

Sesuatu bergetar dari dalam saku celananya. Bergegas ia meraih benda yang disebut ponsel itu dan menekan salah satu bagian screen-nya.
“Halo?”
“Sehun-ah, mengapa selarut ini kau belum sampai rumah eoh? Kau tidak apa-apa kan?” tanya suara di seberang sana yang sangat familiar di telinga pemuda bernama lahir Oh Sehun itu

“Keterlambatan” Sehun langsung membungkam mulutnya. Ia menoleh, berharap suara kerasnya yang tak sengaja tidak membuat teman duduknya terbangun, “Keterlambatan kereta” sahutnya pelan. Ia mendengar suara dari seberang yang sepertinya menghela nafas lega.

“Jadi kau masih di stasiun?”
“Aku sudah di dalam kereta. Setengah jam lagi aku akan sampai” jawab Sehun mencegah kekhawatiran.
“O-oh, kau tahu Ibu sangat mengkhawatirkanmu…”
“Wah aku tersanjung” sahut Sehun sarkasme. Ibu berdecak sebal di seberang sana sebelum memutuskan panggilan.

Sehun memasukkan kembali benda bersilikon hijau itu ke dalam saku celana. Ia menghela nafas sambil melonggarkan sedikit jaket baseball yang membungkusnya. Di dalam kereta tidaklah sedingin di stasiun. Ia membawa kedua bohlam mata hazelnya keluar jendela. Tidak ada yang menarik. Yang ia lihat hanya kegelapan malam. Ia menurunkan direksi pandangannya. Saat ini yang ia lihat adalah seraut wajah gadis berambut hitam kelam yang sedang tidur dengan damai. Ia tersenyum.

Cantik – satu kata yang terlintas di benak penyuka bubble tea rasa cokelat ini. Buru-buru ia memalingkan wajahnya dan melihat lurus ke depan. Ia menggeleng pelan.

Ia menyentikkan jari dan mengeluarkan earphone dari dalam tasnya. Selagi ponsel memainkan sederet lagu yang paling sering diputar, ia memejamkan mata dan menyandarkan belakang kepalanya pada bagian atas tempat duduk.

Setelah sekian lama arah kereta hanya lurus dan lurus saja, ketika kereta berbelok ke kanan semua penumpang tanpa terkecuali seperti tertarik ke kanan. Sehun yang belum benar-benar tidur itu pun membuka mata lagi dan melihat kepala teman duduknya itu menempel di lengan kirinya. Pasti karena belokan tadi.

Tidak berniat membangunkan, Sehun membiarkan gadis itu bersandar di lengannya. Berkedip. Berkedip. Berkedip lagi. Pemuda itu merasa ada yang aneh. Baru saja ia seperti melihat darah. Kembali ia memperhatikan keadaan teman duduknya yang sejak tadi tidur ini. Ia mengenakan kaos lengan panjang berwarna kuning tua dan celana jeans cokelat selutut.

“Pi – Pi – Pisau” Sehun tercekat. Kedua bola matanya membulat sempurna. Jantungnya berdegub lebih cepat. Tubuhnya tiba-tiba terlalu cepat memompa darah. Sekujur tubuhnya menegang. Setelah berhasil mengumpulkan keberanian, Sehun pun mencoba membangunkan teman duduknya itu. berharap ini hanya sebagian kecil dari imajinasinya.

Tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu juga tidak bangun-bangun. Sehun panik. Darah yang tadinya ia pikir hanya motif baju itu kini nampak begitu nyata. Bersumber dari salah satu bagian perutnya yang terhunus pisau. Sehun menelan ludahnya dengan susah payah. kerongkongannya terasa begitu kering. Perlahan ia melepaskan earphonenya dan fokus pada teman duduknya yang sepertinya korban pembunuhan. Sungguh ironi.

Sehun berusaha meneguk ludahnya yang tinggal sedikit. Salah satu tangannya mencoba menyibakkan rambut sosok di sebelahnya. Wajahnya benar-benar pucat. Sepertinya kejadiannya sudah cukup lama. Darahnya juga tidak mengalir, namun banyak darah yang tumpah berserakan di tempat duduk, menempel di badan kereta dan juga celana bagian kiri gadis ini. Sebisa mungkin Sehun mengatur nafasnya.

“Nona…” gumam Sehun takut bercampur bingung. Ia ingin memberitahu seisi kereta bahwa telah terjadi pembunuhan. Akan tetapi, kata hatinya pun berkata jangan karena akan berisisko tinggi bila ia malah yang dituduh membunuh. Sekali lagi Sehun menelan ludahnya susah payah.

Sesuatu lagi-lagi bergetar dalam saku celananya. Sehun sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menjawab panggilan tersebut. Seluruh tubuhnya kaku. Benar-benar kaku dengan seorang mayat yang bersandar di lengannya. Setelah dibiarkan agak lama akhirnya ponsel berhenti bergetar. Pikiran Sehun kacau balau. Dua nasihat berkecamuk dalam hati kecilnya. Di lain hal, ia juga tidak kuat harus berlama-lama menyanding seorang mayat. Secantik apapun mayat itu.

Perlahan Sehun memindahkan kepala itu dari lengannya. Ia menarik nafas dalam mencari kekuatan. Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sehun berdiri untuk meminta tolong penumpang yang duduk di deret depannya.

“Pe-permisi. Maaf mengganggu, sejak kapan Anda duduk di sini? Sepertinya baru saja ada pembunuhan di sini…” jelas Sehun terbata-bata. Penumpang bertubuh tambun yang diajak bicara itu sama sekali tidak merespon. Darah berdesir cepat seirama dengan suasana yang berubah mencekam.

“Permi–” Sehun terhempas cukup jauh dan membentur tempat duduk. Pria bertubuh tambun tadi memiliki iris mata merah dan menyala-nyala seperti iblis. Pikiran Sehun mulai tidak karuan.

“Dia salah kereta dan akhirnya terbunuh dengan tragis” begitulah pernyataan gadis bermata sipit dengan nada meyakinkan.

“Kudengar siapa pun yang masuk di dalamnya tidak akan pernah bisa keluar lagi” salah satu pemuda menambahkan dengan sorot mata tajam seolah mengancam para pendengarnya.

“Omong kosong apa itu? Jaman sekarang mana ada yang seperti itu” ia ingat ketika menimpali cerita terkait kereta hantu yang sempat santer dibicarakan akhir bulan lalu. Saat itu ia satu-satunya penghuni kelas yang tidak mempercayai hal tersebut. Apa ini karma?

Pria bertubuh tambun bermata iblis itu berjalan mendekat ke arah Sehun. Sehun mencoba untuk mundur dan terus mundur. Kedua tangan besar pria bertopi itu melingkari leher Sehun dan kedua ibu jari pria bermata iblis itu digunakan untuk menekan bagian jakun milik Sehun. Perlahan tapi pasti ia terus menekan lehernya hingga hanya sesak yang dirasakan Sehun kala itu.

“Tuhan selalu menjagamu, Nak. Berdoalah maka Tuhan akan menunjukkan kebesarannya. Meskipun kau jauh, doa Ibu terus mengiringi langkahmu. Sekolahlah yang benar dan luluslah sebagai lulusan terbaik… Ibu menunggumu tiga tahun lagi” demikian pesan Ibu ketika mengantar Sehun yang hendak melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di kota. Tepatnya itu tiga tahun lalu setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Tak terasa air mata menetes begitu saja. Yang ia rasakan saat ini hanya rasa sakit karena pria bermata iblis itu terus memberi tekanan di lehernya. Ia semakin sesak nafas. Sebisa mungkin ia berdoa sesuai pesan Ibunya. Ia yakin Tuhan akan menyelamatkannya.

“Ya Tu–han, to–long–lah aku – lin–dungilah – I–Ibu – Ayah – d–dan keluargaku di de–sa… bi–la ini mem–mang akhir dari pengab–dianku – di –”

ARGH – Sehun melenguh kesakitan. Wajahnya sudah membiru. Rasanya tidak kuat lagi, tetapi ia tetap mengadu pada Tuhan dan mengharapkan pertolongan Tuhan.

“di du–nia – lin–dungilah – orang – orang yang – men–cin–taiku – dan kucin–tai…” partikel bening dari mata Sehun menetes dan jatuh di permukaan bawah kereta.

DUAR – na’as, kereta pun keluar dari jalur dan terguling serta menimbulkan percikan api.



Sehun membuka matanya perlahan. Ia menemukan belasan pasang mata terbelalak sempurna. Tiba-tiba salah satu dari mereka memeluk tubuh Sehun yang terkulai lemas di atas ranjang unit gawat darurat. Ibu – gumam Sehun dengan suara getir seperti tersekat di kerongkongan.

“Ini keajaiban…” belasan pasang mata yang lain menoleh ke arah pria berjas putih dan berkacamata itu dengan mata berbinar-binar.
“Kau selamat, nak…” Ibu mempererat pelukannya. Sehun mengerjap. Selamat? Berkedip. Berkedip. Berkedip lagi.

Pria bermata iblis? Gadis berkaos kuning dengan pisau di perut? Kereta hantu?

“Ke–keretanya…” gumam Sehun.

“Kereta yang membawamu terguling dan meledak. Dari sekian banyak penumpang, kau satu-satunya yang ketika ditemukan masih memiliki harapan hidup meski sedikit…” ujar pemuda bermata indah bernama Luhan. Luhan adalah kakak sulung Sehun.

“Kereta hantu. Aku menaiki kereta hantu!” ungkap Sehun menggelora.

“Kereta hantu?”

“YA! aku melihat pria bermata iblis dan gadis yang tertusuk pisau. Aku sempat dicekik oleh pria bermata iblis itu. Aku pikir aku akan mati dan–” Sehun tidak meneruskan ceritanya. Tiba-tiba ia lupa apa yang terjadi setelah ia dicekik dan sempat berdoa saat itu.

“Itu hanya cerita omong kosong. Kereta hantu hanya imanjinasi penulis yang gemar cari sensasi” Baekhyun menimpali. Dia adalah saudara sepupu Sehun yang juga merupakan penulis produktif yang telah menelurkan beberapa buah buku fiksi bertemakan perjuangan hidup.

“Tidak. Itu bukan cerita omong kosong. Aku benar-benar terjebak di sana dan… aku benar-benar melihat semuanya” Sehun berbicara apa adanya. Nafasnya memburu.

“Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting sekarang kau selamat dan Ibu benar-benar menyayangimu…” Ibu kembali memeluk Sehun dengan erat. Sehun tersenyum masam. Ia kecewa karena tidak ada satu pun yang percaya omongannya.

“Bu, aku ingin duduk” gumam Sehun. Ibu pun membantu membuat Sehun duduk. Ini saat menyakitkan bagi semuanya. Sehun yang berniat ingin menggerakkan pergelangan kakinya merasakan sesuatu yang mengganjal. Dibukalah selimut yang sejak tadi terbentang di sekujur kaki hingga pinggangnya.

Ketika selimut sudah tidak berada pada posisinya lagi, kedua bola mata dan bibir Sehun membulat. Ibu menelan ludah berat.

“Luka di kakimu terlalu parah sehingga kau harus diamputasi…” ucap Luhan berusaha tegar.

Sehun menutup kembali pemandangan cukup menyayat hati itu dengan selimutnya. Ia memandangi sang Ibu yang malah menangis melihat kakinya yang kini hanya tersisa satu setengah karena kaki yang kiri telah diamputasi.

“Aku tidak apa-apa. Yang hilang hanya satu kakiku. Aku tidak masalah harus kehilangan kedua kakiku sekali pun. Asalkan aku tidak kehilangan kalian semua…” kata Sehun terdengar sangat tegar. Bahkan ia sama sekali tidak terlihat sedih. Malah sebaliknya. Ia tersenyum dengan mata berbinar.

Luhan dan Baekhyun saling lirik.

“Sehun anakku…” Ibu kembali memeluk Sehun diikuti semua yang sedang berada dalam ruangan. Sehun memperoleh pertolongan luar biasa dari Tuhan berkat doanya yang tak putus. Meskipun pahit, hidup tanpa sebelah kaki…

“Akan lebih pahit bila hidup tanpa kasih sayang dari orang yang menyayangiku seperti ini” batin Sehun masih dalam posisi dipeluk oleh keluarga besar yang begitu mencemaskannya.

TAMAT
------------------------------------------------
Cerpen Karangan: Annisa Widi Astuty
Blog: nibasami.wordpress.com
Facebook: Annisa Widi Astuty
Follow me @nisawidik
FAKULTAS PSIKOLOGI UGM


Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment:

0 comments so far,add yours