Cerpen - Hafsah dan Replika Purnama - Karangan: Amir Hifzillah ||| Seperti biasa, langit yang cerah tak memberikan isyarat apapun tentang sesuatu yang akan terjadi hari ini. Kepulan asap dari permukaan secangkir teh seakan menari mengiringi waktu santai di akhir pekan. Rupanya hawa sejuk di desa ini membawa khayalanku melayang, kumantapkan niat untuk tetap mengisi hari libur ini dengan bersantai di rumah. Dem melepas penat kurebahkan tubuh pada kursi yang terletak di teras rumah. Sesekali aku menyeruput teh dalam cangkir mungil buatan ibu. Aroma yang sangat cocok untuk menemaniku dalam suasana seperti ini. Tak berselang lama aku dikagetkan oleh seseorang.
“Selamat pagi, han!

Suara cempreng terdengar dari balik pagar bambu, sehingga membuat lamunanku buyar.
“Ah, Kamu san, ada apa pagi-pagi sudah datang kemari? Apakah ada hal yang penting?” tanyaku heran. Hasan adalah tetangga sekaligus temanku, memang tak biasanya dia datang ke rumah di waktu pagi, pernah sesekali itu pun jika ada keperluan untuk mengerjakan tugas yang dirasanya sulit.

“Selagi masih pagi kita jalan-jalan yuk! Bukannya hari ini hari libur, pasti banyak sesuatu yang menghibur di luar sana” Ajaknya dengan senyum yang seadanya. Ternyata dia mengajakku untuk pergi berkeliling kampung. Hal yang tak biasa aku lakukan di hari-hari libur sebelumnya. Sebenarnya ingin sekali rasanya menikmati keasrian desaku ini, namun demi mneghargai persahabatan tanpa berfikir panjang aku menyetujui ajakannya dengan memberi senyuman sebagai isyarat.
Hasan adalah teman bermainku sejak kecil, meskipun orangnya nakal, tapi dia selalu enak untuk diajak ngobrol, bahasanya pun santun dan halus jika berbicara padaku. Dia tak pernah absen untuk memberikan kabar apapun tentang keadaan yang terjadi yang ia ketahui, dan yang paling sering aku dengar adalah cerita tentang seseorang yang menurutnya memiliki daya pikat tersendiri. Tapi aku hanya sesekali merespon hal itu. Entah mengapa belum ada ketertarikan untuk memperbincangkannya. Lagipula bagiku itu merupakan hal yang tabu.

Tanpa disadari perjalanan kami sudah cukup jauh, atap rumahku yang kutinggalkan sudah semakin tak terlihat. Hingga sampai di suatu tempat, tingkah Hasan sedikit berubah, seperti salah tingkah, gerak-geriknya aneh.

“Han, Kamu tahu tentang seorang wanita yang pernah aku ceritakan padamu lalu?” tanyanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Iya, memangnya kenapa?” sengaja aku rendahkan nada pertanyaanku untuk meresponnya, aku sudah mengerti apa yang ia maksud. Karena tak lama sebelum itu hasan baru saja curhat perihal isi fikirannya itu.
“Itu lihat disana, gadis yang sedang menuntun sepeda itu, dialah yang aku maksud”. Sambil menunjukkan jarinya ke arah yang dimaksud. Setelah jarak kami mendekat, dan berpapasan derngannya. Keluarlah kalimat sapa dari hasan.
“Selamat pagi neng, baru pulang?”. Hasan menyapanya dengan penuh senyum, dari berbagai ceritanya Hasan memang sudah sering bertemu dengannya pada waktu pagi seperti ini di hari libur.
“Iya, kang!”. hanya jawaban singkat yang keluar dari bibirnya. Air mukanya tampak kemerahan, sepertinya gadis itu malu ketika berpapasan dengan kami. Aku dan Hasan pun segera beranjak dari tempat itu.

Setelah pertemuanku dengannya lalu, Aku melihat ada secercah cayahaya merasuk ke dalam hati. Entah perasaan apa itu, yang jelas aku tak dapat membohongi hatiku sendiri. Ternyata benar apa yang dinilai oleh orang kebanyakan. Gadis itu memang anggun. tak ada hentinya aku memikirkan perasaan ini. Senandung di hati ini mulai melantunkan alunan dawai asmara. Bukankah aku baru mengenalnya, itu pun hanya sekedar mengenal wajah?, tapi mengapa perasaan ini terlampau jauh untuk mengejar waktu.

Di saat yang selanjutnya aku mencoba untuk bertemunya kembali di tempat yang sama, langkah ku tergesa-gesa untuk segera tiba di sana. Saat ini berbeda, aku hanya pergi sendiri tanpa didampingi oleh Hasan. Setelah tiba persis di bawah pohon rindang aku menempatkan diri. Memfokuskan mata ke arah jalan yang sering dilewati orang kebanyakan.

Tak berselang lama, aku melihat dua orang gadis di kejauhan, langkahnya lembut, aku pun mulai tak sabar untuk mengetahui siapa mereka. Semakin mendekat aku mulai bisa mengira kedua gadis itu, dialah yang aku nanti, tapi gadis yang berjalan bersamanya itu tidak asing lagi bagiku. Dialah Dian, saudara sepupuku. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku.

“Mas Hanafi!, Sedang apa di sini?” Dian menghampiriku setelah melihatku di pinggiran jalan. Rasa malu datang menghampiri pada saat itu, terlihat sosok yang kunantikan itu sedang melihat ke arah kami. Setelah aku tanyakan perihal seseorang yang bersamanya, ternyata Dian sudah berteman dengannya sejak duduk di bangku SD. Akan tetapi Dian tidak memberikan identitas yang jelas padaku.

“Mas Hanafi tertarik kah sama dia?”, dengan senyuman dan ledekannya membuat aku salah tingkah, seakan Dian telah mengetahui apa isi hatiku.
“Eh, jangan ngomong sembarangan kamu!”
“Ya sudah, kebetulan nanti malam ada acara tasyakkuran di rumah, kalau sempat Mas Han datang ya?, Lagipula sudah lama mas tidak berkunjung ke rumah, ibuku selalu menanyakanmu”. Ujar Dian dengan suara yang merendah, tampaknya dia sudah mengerti tentang maksudku. Dian pun pamit kepadaku untuk melanjutkan perjalanan pulangnya. Meski sedang berbincang dengan Sepupuku itu, akan tetapi sesekali tatapanku tidak pernah luput pada gadis yang sedari tadi berdiri di seberang sana.

Dengan beberapa kalimat paksaan yang ku lontarkan padanya, dia menceritakan cukup banyak tentangnya. Ternyata nama gadis itu adalah Hafsah, nama yang cukup menggetarkan hati meskipun hanya biasa saja, mungkinkah itu karena didorong oleh rasa cinta yang mulai menjamur di ranah hatiku yang gersang ini.

Aku merasakan keberadaan Dian sangat membantu untuk lebih dekat dengannya, hingga keluarlah usulan yang konyol darinya. Dian mengajakku untuk berkunjung ke rumah Hafsah.
“Aku tidak sebodoh itu untuk mengorbankan harga diri dik!”. Ujarku membalas tawarannya untuk berkunjung. Semoga saja ucapanku tidak membuatnya kecewa, untuk menghindari hal itu aku mengusulkan untuk menitipkan sepucuk surat saja kepadanya, sebatas surat perkenalanku untuk Hafsah, teman dekatnya itu.

Entah apa yang aku rasakan saat ini, aku merasa aneh tentang gejolak yang aku rasakan saat ini, perihal surat itu, aku menyikapinya dengat sangat serius. Sudah sekian lama aku tidak bertemu dengan Dian setelah kutitipkaan surat itu, aku sangat berharap balasan surat yang aku titipkan padanya. Tanpa berfikir panjang aku mengunjungi kembali rumahnya untuk menanyakan hal tersebut. Setelah aku bertemu dengannya. Sedikit rasa kecewa kurasakan, tiada balasan darinya sedikitpun. Atas dorongan hasrat, aku pun menitipkan surat yang kedua kalinya dengan harapan Hafsah hendak membalasnya. Akan tetapi jauh seperti yang aku bayangkan, tiada lagi balasan, untuk menghindari rasa kecewa, aku kirimkan lagi surat untuk yang ketiga kalinya. Dengan harapan sepucuk surat balasan datang sebagai pengobat kekecewaan.

Sosok Hafsah mulai menjalar pada sebuah rasa yang teramat mendalam, mungkin inilah perasaan yang pasti akan dirasakan oleh orang lain pula. bayangan wajah indahnya seakan memberi isyarat kepadaku, seraya mengatakan bahwa Cinta membutuhkan pengorbanan, isyarat matanya melarang aku untuk tidak kecewa atas apapun hal yang terjadi. Aku tak boleh rapuh hanya karena cinta. Bukankah hakikat cinta itu tidak harus untuk dimiliki. Sudah kesekian kali surat yang aku layangkan pada jelmaan merpati putih yaitu sepupuku sendiri, tapi kesekian kali pula kekecewaaan yang kuterima saat tiada balasan darinya.

Hingga timbullah kegilaan dalam keadaan ku saat ini, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Mungkinkah hanya karena pertemuan dengannya lalu, aku mnejadi berubah total sepeerti ini, entahlah, seperti inilah yang aku rasakan. Hasrat cinta yang menimpaku begitu berat, sehingga aku tak kuasa untuk membendungnya. Rasanya sangat redup hati ini tanpa hadirnya seseorang yang aku kiaskan sebagai purnama. yang mengganti cahaya redup. Mulailah hati ini bersenandung di kedalaman.

Hafsah manakala senja di hatiku meredup, sudikah kau mengganti cahaya?, namun mengapa hingga kini cahaya yang selalu kudambakan itu begitu sulit untuk menyala. Aku rela mabuk dan tenggelam sekalipun demi mendapat cahayamu.

Semakin lama hasrat cintaku semakin tak terbendung. Aku mulai merasakan pahitnya cinta di kedalaman. Hingga mengundang sungai yang mengalir dari pelupuk mata. Kuanggap airmata ini adalah air yang bersumber dari telaga cinta dari Hafsah.

Rasanya cinta telah merubah segala yang ada dalam hidupku, begitupun kebiasaanku. Hampir sebulan sudah aku menghabiskan waktu luang di kamar. Sampai suatu saat suara ibu mengagetkanku.

“Nak, ada Dik Dian nih, ada perlunya sama kamu!” Ujar ibuku. Akupun segera menghampiri, dengan dibalut oleh rasa penasaran. Kudapati Dian dengan sepucuk amplop di tangan kirinya.

“Mas Han, ini ada titipan dari Hafsah, salam kenal darinya.”. Dian pun tersenyum. Sambil pamit pulang, dia melangkahkan kaki keluar rumah. Perasaan tidak sabar timbul dalam hatiku, aku penasaran tentang apa isi dalam surat itu. Surat yang sekian lama kunantikan kini datang tak disangka sebelumnya. Aku mengira Hafsah tak akan membalas surat itu. Tanpa fikir panjang aku mulai membacanya.

Teruntuk Mas Hanafi
Maafkan aku mas, bukan maksud hati untuk mengabaikan surat darimu. Sebenarnya aku sudah mengenalmu jauh sebelum aku bertemu dengan kalian saat itu. Aku sangat mengerti apa yang sedang kamu rasakan saat ini.. mungkin kamu tak akan percaya bahwa aku juga menyimpan perasaan yang sama terhadapmu.
Tapi sayang mas, takdir tidak mengizinkan kita untuk bersatu. Aku sudah dipinang oleh seorang lelaki sanak familiku sendiri. Aku tak mau jika kau terus menderita karena aku. Karena itulah aku tak pernah membalas sepucuk surat pun. Aku tak ingin mas terlanjur kecewa. Mengertilah mas. Ini demi kebaikan kita. Sekali lagi maafkan aku mas. Wasalam.
Tertanda
Hafsah

Setelah mmbaca surat itu aku merasakan aliran sungai yang mengalir dari sudut kelopak mata. Sungai yang mengalirkan hasrat cinta menuju samudera cinta yang hakiki menurutku. Tanpa ada lumpur kekecewaan sedikitpun.
Hafsah, Meski kita tak dapat bersatu, namamu akan selalu ku ukir di pelataran langit, dan di setiap purnama yang cahayanya selalu kurindu.
----------------------------------------------
Cerpen Karangan: Amir Hifzillah
Facebook: Amir anatha FA

Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment: