Foto: http://setkab.go.id |
Ada yang mengatakan bahwa dulu, di era otoritarian, pers sering menjadi korban. Korban kekuasaan. Kini, menurut mereka justru banyak orang yang menjadi korban karena pemberitaan pers.
Terlepas apakah pernyataan itu benar atau tidak benar, tepat atau tidak tepat, kenyataannya sekarang ini pers memang kuat. Tidak berlebihan kiranya jika pers dikatakan sebagai “the new power holder” dalam dunia politik di negeri kita. Berkaitan dengan hal ini ada dua cerita menarik, yang hendak saya angkat di sini.
Terlepas apakah pernyataan itu benar atau tidak benar, tepat atau tidak tepat, kenyataannya sekarang ini pers memang kuat. Tidak berlebihan kiranya jika pers dikatakan sebagai “the new power holder” dalam dunia politik di negeri kita. Berkaitan dengan hal ini ada dua cerita menarik, yang hendak saya angkat di sini.
Sekitar tahun 2002, ketika saya masih menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan, Duta Besar Rusia untuk Indonesia datang ke kantor saya. Setelah kami berdua membahas isu-isu yang berkaitan dengan hubungan bilateral kedua negara, kami berbincang-bincang tentang perkembangan demokrasi baik di Rusia maupun di Indonesia. Tamu saya tersebut menyampaikan observasinya tentang perkembangan kehidupan pers di Indonesia.
“Saya mengamati pers di negeri ini amat bebas.”
“Benar. Negeri kami telah memberikan dan memberlakukan kemerdekaan bagi pers. Freedom of the press,” jawab saya.
“Ya. Saya tahu. Tetapi yang ingin saya ceritakan adalah apa yang saya jumpai sendiri menyangkut kebebasan pers yang ada di Indonesia sekarang ini.”
“Apa yang Pak Duta Besar maksud?” saya balik bertanya.
“Saya baru kembali dari Kalimantan. Di sana saya membaca koran lokal yang terbit di daerah itu. Apa kesan saya? Setelah semua artikel dan berita saya baca, semuanya serba negatif. Sepertinya tidak ada satu pun yang baik di negeri Anda.”
Terhadap apa yang disampaikan Duta Besar tersebut jawaban yang saya berikan adalah karena Indonesia masih berada dalam euforia demokrasi. Barangkali kata-kata saya itu terkesan normatif. Tetapi, terus terang, waktu berkata seperti itu dalam hati saya juga tidak yakin apakah ketika yang disebut euforia demokrasi itu sudah selesai, semua pers di Indonesia benar-benar menjadi pers yang “fair and balanced”. Adil dan berimbang.
Cerita lain tetantang bertapa merdekanya pers Indonesia untuk meliput dan menyiarkan berita, termasuk dampak yang ditimbulkan, saya saya dapatkan dari seorang teman.
Ada seorang CEO perusahaan multinasional yang cukup serius untuk melakukan investasi di Indonesia. Singkat kata, pemimpin bisnis tersebut berangkat untuk datang langsung ke Indonesia. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, ia singgah di Singapuran dan bermalam di kota itu. Nah, di kota itulah ia sempat mengikuti pemberitaan tentang Indonesia melalui televisi-televisi kita. Ia benar-benar terperanjat ketika menyaksikan tayangan TV-TV berita Indonesia. Hatinya kecut ketika menyaksikan sejumlah aksi-aksi kekerasan dan berita-berita negatif lain yang disiarkan. Ia sempat terpengaruh, dan mengaku hampir memutuskan untuk kembali ke negaranya. Ia menganggap Indonesia adalah “the wrong country” untuk ia melakukan investasi dan menjalankan bisnisnya. Tidak aman. Masyarakatnya gaduh dan tidak tertib. Hukum tidak tegak. Semua pejabat korup. Dan, ditambah dengan banyaknya persoalan lain yang serius, yang jauh dari situasi yang dibayangkan sebagai kondusif untuk kegiatan bisnis dan investasi.
Ketika CEO itu berada dalam kebimbangan dan keraguan tinggi, ia sempat berkomunikasi melalui telepon genggam dengan rekannya, yang dianggap memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang Indonesia. Terjadilah, setelah itu, sebuah percakapan singkat di antara mereka berdua.
“Ternyata Indonesia tidak seperti yang saya harapkan,” adu CEO tersebut.
“Mengapa?”
“Ah, Anda pasti sudah tahu. Bagaimana saya bisa berinvestasi di negara yang tidak aman, dan tiap hari ada kekerasan dan kerusuhan seperti itu.”
“Anda lihat tayangan televisi ya?”
“Benar”
“Tetaplah datang ke Indonesia. Memang benar, masih ada aksi-aksi kekerasan dan konflik sosial di sana. Tetapi, tidak seburuk yang Anda bayangkan. Indonesia itu luas dan besar.”
Atas dasar saran rekannya itu, CEO tersebut akhirnya tetap datang ke Indonesia. Ia bukan hanya datang ke Jakarta, tetapi juga sempat berkunjung ke daerah. Akhir dari cerita ini memang indah. Perusahaan itu tetap berinvestasi di Indonesia. Bisnisnya juga berkembang baik. Tetapi, yang menarik untuk disimak adalah komentar dia beberapa saat setelah itu.
“Apa yang ditayangkan oleh media televisi Indonesia itu justru sangat merugikan negaranya. Persepsi dan bayangan orang, seperti saya, bisa sangat keliru. Padahal Jakarta tidak seperti yang digambarkan. Ketika saya berkunjung ke daerah keadaannya lebih tenang lagi. Memang kemerdekaan pers itu penting, sangat penting, tetapi perlu digunakan secara benar dan untuk tujuan yang konstruktif.”
Waktu mendengar cerita itu, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.
“Itulah keprihatinan saya. Saya ini sejak dulu pendukung kemerdekaan pers. Saya pelaku reformasi. Kemudian setelah menjadi presiden pun saya selalu menggunakan hak jawab, dan tidak begitu saja mengadukan pers ke pengadilan meskipun cukup sering nama saya sungguh dirugikan dan dicemarkan, sebagaimana pula yang kerap terjadi di sebuah negara demokrasi. Di sisi lain tentu tidak ada pula niat dan pikiran saya untuk kembali ke era dulu, dimana penguasa bisa saja memberedel pers dan media massa. Tetapi, saya harus pula mengatakan dengan jujur, hendaknya kemerdekaan pers itu perlu digunakan secara cerdas, bijak, dan bertanggung jawab. Sehingga, cerita seperti itu tidak perlu sering terjadi.”
Kemudian saya lanjutkan komentar saya,
“Saya sering mengikuti dan menyimak televisi negara-negara lain. Mulai dari CNN, BBC, CNBC, Fox News, CCTV (China), RT (Rusia), Aljazeera, Bloomberg, sampai Channel News Asia. Saya melihat, bagaimanapun, tetap ada keberpihakan mereka pada negaranya masing-masing. Tentu tanpa meninggalkan kemerdekaan pers yang juga terus dijunjung tinggi. Bahkan, ada sejumlah televisi internasional yang beberapa kali mengangkat cerita jelek tentang Indonesia, tetapi tetap menyiarkan cerita yang serba baik dan indah untuk negaranya, atau sebutlah cukup aktif berpropaganda untuk negaranya."
Fenomena sosial dan politik lain yang mesti kita lihat dewasa ini adalah tumbuh-kembangnya penggunaan hak warga untuk berbicara, berkumpul dan berserikat. Juga kegiatan protes dan unjuk rasa. Juga pula ekspresi kebebasan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Situasinya sungguh sangat berbeda jika dibandingkan dengan situasi sosial-politik di era otoritarian dulu. Sehingga, apa yang sering menjadi seloroh banyak kalangan yaitu “Sekali Merdeka, Merdeka Sekali” sepertinya benar adanya.
Dalam kaitan itu pula saya sering mengatakan bahwa ada dua nilai dan pilar penting bagi kehidupan demokrasi yang sehat dan matang, yaitu freedom, atau kemerdekaan, dan the rule of law, atau kepatuhan kepada pranata hukum. Jika kemerdekaan tidak ada, dan yang ditekankan adalah kepatuhan warga negara kepada pranata hukum dan semua aturan yang dikeluarkan oleh negara, maka demokrasi akan mati. Tetapi, sebaliknya, jika kemerdekaan berkembang tanpa batas, tanpa adanya kepatuhan warga negara kepada aturan dan pranata hukum, maka yang terjadi adalah anarki. Tentu dua-duanya bukan pilihan kita. Kita ingin keseimbangan di antara keduanya. Sama halnya keseimbangan antara security (keamanan), dengan liberty (kebebasan). Pengamatan saya, sekarang ini, kita memiliki surplus dalam kebebasan, tetapi defisit dalam hal kepatuhan terhadap aturan dan pranata hukum. Berbagai konflik, kerusuhan, dan aksi-aksi kekerasan yang masih terjadi di kalangan masyarakat, utamanya diakibatkan oleh kurang berimbangnya pilar-pilar demokrasi itu.
Ekspresi penggunaan berbagai kebebasan yang meluap-luap itu, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat, dalam pikiran saya sebenarnya merupakan gerakan perlawanan terhadap tatanan politik di masa sebelum reformasi, yang dianggap serba represif dan tidak adil. Namun, kita hidup di era ini, era reformasi, balas dendam seperti itu mestinya bisa diakhiri. Dengan jernih kita harus berani mengatakan apakah penggunaan hak-hak politik dewasa ini ini masih sehat dan masih berada dalam batas-batas toleransi yang diberikan oleh demokrasi, atau telah menyimpang dan kenyataannya memang kebablasan.
Penggunaan kebebasan berbicara saat ini seperti tidak ada batas dan etikanya. Siapa pun ini bisa memaki, menghujat, dan mengancam siapa pun. Termasuk presiden. Bandingkan dengan situasi di era dulu. Meskipun ada lembaga kontrol nonpemerintah, seperti kegiatan self-sensoring di jajaran dunia massa, kenyataannya sepertinya tidak ada rambu-rambu dan pagarnya. Mereka tidak peduli apakah itu fakta atau fitnah, dan tidak peduli apakah dampaknya baik atau buruk bagi masyarakat luas.
Fenomena penggunaan hak untuk berkumpul juga mengalami revolusi yang luar biasa. Kontrol mesin kekuasaan atas kegiatan berkumpul masyarakat, termasuk kegiatan protes dan unjuk rasa, yang berlaku di masa lalu, telah dilawan oleh masyarakat kita. Kini kita melihat masyarakat amat mudah dan sering melakukan protes dan unjuk rasa, yang sering dibarengi pula dengan tindakan kekerasan dan anarki. Mereka mengira bahwa semua orang bebas untuk berkumpul dan atas nama hak politik, juga bebas untuk berbuat apa saja, termasuk tindakan merusak, menyerang dan aksi-aksi kekerasan terhadap negara dan kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
Demikian pula kebebasan berserikat. Di era dulu, hanya ada tiga partai politik. Sekarang jumlahnya puluhan. Dulu hanya ada satu organisasi buruh, kini jumlahnya belasan. Dulu jumlah LSM masih bisa dihitung, sekarang tidak bisa lagi. Dulu hanya ada satu organisasi pers, sekarang tidak lagi. Bahkan, sesuatu yang tidak terjadi di negara lain, kini banyak sekali asosiasi pejabat jajaran pemerintah, seperti asosiasi para gubernur, asosiasi para bupati, para walikota, bahkan para kepala desa. Disamping memang ada manfaat yang positif dari hadirnya asosiasi-asosiasi tersebut, jika digunakan secara keliru tentu memiliki ekses yang tidak baik bagi etika dan garis organisasi yang mesti mengalir dari presiden sampai kepala desa, juga garis hierarki dari kepala desa sampai pula ke presiden sebagai kepala pemerintahan di negeri ini.
Ekspresi kemerdekaan dan tuntutan daerah dalam era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang ini juga patut untuk disimak. Kita sungguh harus memberikan perhatian yang seksama terhadap hal ini, karena persoalan yang serius terjadi di daerah bisa mengganggu persatuan dan keutuhan kita sebagai negara. Negara yang menganut sistem negara kesatuan, dan bukan sistem negara federal. Di awal reformasi memang pernah ada debat yang relatif serius, apakah Indonesia masih perlu mempertahankan sistem negara kesatuan atau sebaliknya kita memilih sistem negara federal. Masyarakat politik juga sempat terbelah waktu itu. Dari daerah pun pandangan yang muncul juga cukup beragam. Kita bersyukur, karena berkat kearifan, pikiran jernih, dan tanggung jawab kita semua sebagai bangsa yang harus memilih di masa yang kritis itu, akhirnya kita bisa membangun konsensus dan menetapkan pilihan fundamental kita, yaitu tetap mempertahankan sistem negara kesatuan, atau NKRI, seraya menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah. Ide dasarnya adalah persatuan dan keutuhan nasional kita harus tetap terjaga, tetapi jalannya pemerintahan dan pembangunan harus dapat dilaksanakan secara lebih adil dan merata. Adil bagi seluruh rakyat kita, dan adil bagi seluruh wilayah Indonesia.
Saya masih ingat, ketika tatanan besar dan fundamental menyangkut kehidupan bernegara dan berpemerintahan ini tengah digodok dan dimatangkan, dalam kapasitas saya sebagai Ketua Fraksi ABRI di MPR, saya juga ikut berjuang dan bekerja keras untuk memastikan bangsa ini memilih pilihan yang tepat, yaitu sistem NKRI, dan kemudian yang penting sungguh menjalankannya.
Kita juga masih ingat dulu di masa awal reformasi ada gerakan politik, atau paling tidak ada tuntutan sejumlah daerah agar mereka mendapatkan hak-hak eksklusif, bahkan diserai dengan ancaman untuk memisahkan diri dari NKRI, apabila tuntutannya tidak dipenuhi. Sejarah mencatat bahwa pemikiran dan tuntutan seperti itu berasal dari daerah atau provinsi yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi merasa daerah dan masyarakatnya tidak mendapatkan pembagian yang adil.
Setelah lebih dari sembilan tahun saya memimpin negeri ini, terutama dalam menjalankan roda pemerintahan, saya merasakan memang masih ada euforia dari desentralisasi dan otonomi daerah ini. Muncul ribuan peraturan daerah (perda) yang disamping nyata-nyata bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang bersifat nasional, kebijakan dan peraturan daerah itu saya nilai juga tidak membawa kebaikan bagi daerah dan masyarakatnya.
Terhadap ini semua, saya sering menjawab pertanyaan sejumlah pihak dari luar negeri, utamanya para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, yang beranggapan bahwa iklim di daerah-daerah tidak kondusif bagi investasi dan kegiatan bisnis.
“Reformasi di negeri ini tidak boleh dikatakan salah. Termasuk apa yang Anda lihat di daerah. Tetapi memang ada ekses dan penyimpangan. Ada pula persoalan yang berkaitan dengan kapasitas dan kesiapan daerah untuk memikir tanggung jawab yang besar, dan akhirnya bisa membangun daerahnya dengan baik. Oleh karena itu, sebagai presiden saya akan terus melakukan berbagai koreksi dan penataan kembali sistem pemerintahan yang berlaku ini, yang memang menjadi domain dan kewenangan saya.”
Kemudian saya lanjutnya penjelasan saya menyangkut isu yang sensitif tapi penting ini.
“Saya harap lembaga-lembaga negara yang lain juga memiliki semangat dan komitmen yang sama. Terus terang ini masalah yang sensitif, dan bisa menimbulkan persepsi yang keliru. Pemerintah pusat bisa dituduh mau melaksanakan sentralisasi lagi. Tetapi, sesensitif apa pun, penataan kembali atas kehidupan bernegara dan berpemerintahan di negeri ini, termasuk untuk mencegah dan menghilangkan ekses dan distorsi dari desentralisasi dan otonomi daerah, perlu terus kita lakukan.”
Menutup topik yang menarik ini – “Sekali Mereka, Merdeka Sekali”, saya akan sampaikan fenomena sosial yang juga kerap terjadi di negeri kita. Tetapi, saya ingin mengawalinya dengan sebuah cerita.
Sekitar tahun 2006, datang kepada saya seorang pemimpin BUMN dari negara sahabat. Intinya, yang bersangkutan punya ide untuk membangun Jalan Tol Trans Jawa. Konsepnya, prasarana itu dibangun sepanjang pantai utara Jawa. Dan yang dibangun bukan janya jalan tol, tetapi juga sarana lain yang bisa diintergrasikan. Apakah saluran listrik, air, gas, tekepon, dan lain-lain. Ditambahkan oleh yang bersangkutan bahwa BUMN itu mesti bekerja sama dengan BUMN-BUMN Indoensia sendiri. Yang dipikirkan adalah semacam konsorsium untuk membangun infrastruktur yang vital.
Mendengar apa yang disampaikan oleh pimpinan BUMN itu saya meresponnya dengan mengatakan itu sebuah ide yang birilan. Kalau bisa terwujud akan menjadi karya yang monumental. Tetapi, setelah mendiskusikan lebih dalam lagi, saya sampaikan bahwa saya perlu membicarakannya dengan para menteri terkait.
Untuk mempersingkat ceriya saya, proyek maha besar itu memang tidak bisa diwujudkan. Kita sadari betapa tidak mudahnya membebaskan tanah untuk pembangunan infrastruktur itu. Pengalaman kita, utamanya jajaran pemerintahan daerah, untuk membebaskan tanah sekalipun untuk kepentingan umum sangat sulit. Bukan rahasia lagi bahwa banyak proyek jalan dan infrastruktur lainnya yang kandas, atau macet, atau sangat lambat pembangunannya. Penyebabnya tunggal yaitu macetnya pembebasan tanah. Faktornya macam-macam. Ada yang dimainkan oleh para makelar tanah. Ada yang meminta ganti rugi yang sangat tidak wajar. Ada yang pokoknya tidak mau menjual tanahnya. Nah, ketika pemerintah atau swasta melakukan langkah-langkah yang lebih tegas tetapi tetap bertumpu kepada undang-undang dan aturan yang ada, perlawanan segera terjadi. Nah, jika kasus seperti ini muncul, pers segera menjadikannya sebagai berita berharga yang perlu diangkat dan dipelihara. LSM-LSM tertentu juga sering nimbrung dengan mengatakan bahwa negara tidak bisa merampas hak warga untuk mempertahankan tanahnya.
Cerita begini tentu tidak terjadi di era sebelum reformasi dulu. Juga tidak terjadi di negara-negara otoritarian manapun. Di negara yang menganut demkrasi pun jika tanah itu benar-benar digunakan untuk kepentingan umum masyarakat juga bersedia untuk menjualnya. Tentu dengan harga yang baik. Baik dan wajar. Yang penting pemilik tanah tidak dirugikan. Hal yang begini ini, saat ini tidak terjadi di negeri kita. Semboyan jika untuk kepentingan umum kepentingan pribadi dinomorduakan, tampaknya belum berlaku.
Cerita begini tentu tidak terjadi di era sebelum reformasi dulu. Juga tidak terjadi di negara-negara otoritarian manapun. Di negara yang menganut demkrasi pun jika tanah itu benar-benar digunakan untuk kepentingan umum masyarakat juga bersedia untuk menjualnya. Tentu dengan harga yang baik. Baik dan wajar. Yang penting pemilik tanah tidak dirugikan. Hal yang begini ini, saat ini tidak terjadi di negeri kita. Semboyan jika untuk kepentingan umum kepentingan pribadi dinomorduakan, tampaknya belum berlaku.
*) Dinukil dari buku “SBY, Selalu Ada PIlihan”, diterbitkan KOMPAS, halaman 54-61
Sumber : http://setkab.go.id
Post A Comment: