TOAN HONGYA KAISAR TAYLIE

DIKOTA Tung-hang yang terdapat dalam bilangan daerah In-lam, tampak seorang pemuda tengah berjalan tenang sekali dipintu barat kota tersebut. Pemuda itu memiliki tubuh yang tegap, rambutnya diikat keatas rapih sekali, bajunya berwarna hijau dengan celananya yang berwarna kuning dan angkin pengikat pinggang yang berwarna merah. Resik sekali tampaknya, disamping wajahnya yang kelimis halus. la merupakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, usianya mungkin belum sampai dua puluh tahun.
Waktu memasuki kota Tung-hang, pemuda itu telah memandang sekelilingnya, tampaknya tengah mencari sesuatu, sampai akhirnya ia telah menghampiri sebuah kedai teh. la menghampiri pelayan yang berdiri didepan kedai itu.
Sipelayan telah melihat pemuda itu, dan menduga adalah tamunya, maka ia membawa sikap yang hormat sambil mempersilahkan pemuda itu untuk singgah.
Tetapi pemuda itu telah mengulapkan tangan kanannya sambil katanya : „Aku hanya ingin menanyakan sesuatu”, kata-katanya itu disusul dengan matanya yang memandang kedalam ruangan kedai teh itu, sambil tanyanya lagi : „Apakah hari ini ada seorang pendeta To yang berkunjung kemari, pendeta itu berusia 60 tahun, memakai baju berwarna abu-abu dan membawa hudtim yang gagangnya kuning keemas-emasan, dan pada alis mata sebelah kanan terdapat garis bekas luka…?”.
Pelayan itu seperti berpikir sejenak, tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya.
„Sayang sekali aku tidak melihat orang yang ditanyakan oleh Siauwya, mungkin pendeta itu belum singgah dikedai teh kami”.
„Baiklah, terima kasih atas penjelasanmu”, kata pemuda itu. la telah memutar tubuhnya melanjutkan perjalanannya lagi untuk menyusuri jalan-jalan dikota tersebut. Sedangkan sipelayan telah mengawasi pemuda itu, diam-diam hatinya berpikir : „Pemuda yang luar biasa, sinar matanya begitu tajam, tampaknya ia bukari pemuda biasa, setidak-tidaknya ia adalah seorang pemuda keturunan bangsawan…!”
Memang pemuda itu gagah dan tampan, ia pun memiliki sikap yang agung. Walaupun pemuda itu berpakaian sebagai pemuda lazimnya dengan pakaian yang tidak terlalu mewah, tokh sikap dan keadaannya begitu berwibawa dan agung, disamping matanya yang memancarkan sinar yang tajam berpengaruh.
Pemuda gagah yang tengah berjalan berkeliling kota itu tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ia menyaksikan sesuatu. Serombongan tentara kerajaan tengah beriringan dijalan raya.
Pemuda itu jadi tertarik, ia telah mengikuti iringan tentara kerajaan itu dari jarak yang agak jauh. Diam-diam hatinya jadi heran karena ia menduga-duga entah apa yang hendak dilakukan oleh rombongan tentara kerajaan yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu ditengah-tengah keramaian kota tersebut.
Sedangkan rombongan tentara kerajaan telah sampai dimuka sebuah rumah yang tidak begitu besar, tetapi cukup bersih. Salah seorang diantara tentara kerajaan itu, yang rupanya menjadi komandannya, telah maju mengetuk daun pintu.
Dari dalam rumah keluar seorang wanita setengah baya, yang mukanya seketika menjadi pucat waktu melihat rombongan tentara kerajaan tersebut.
„Ada keperluan apakah Tai jin (panggilan menghormat untuk seorang pembesar kerajaan) mengunjungi kami ?” tanya wanita setengah baya itu, tampaknya ia ketakutan sekali, mukanya memperlihatkan kekuatiran dan pucat.
Tentara kerajaan yang berusia empat puluh tahun dan memiliki wajah yang keras, telah berkata dengan suara yang tawar : „Kami diutus oleh Congtok (Gubernur) untuk memanggil anak nyonya…I”
„Anak kami dipanggil Congtok ?” tanya wanita setengah baya itu dengan suara yang gugup. „Putera kami yang bernama Liang le Khu ?”
Komandan pasukan tentara kerajaan itu mengangguk membenarkan.
„Ya!, putera nyonya yang bernama Liang Ie Khu…!” , katanya.
„Ohh….., apakah puteraku itu telah melakukan…melakukan perbuatan berdosa…?” tanya wanita setengah baya itu kian gugup saja.
Komandan pasukan tentara kerajaan tersebut mengangkat bahunya sambil menggeleng.
„Kami tidak mengetahui persoalannya, tetapi, kami hanya menjalnkan perintah Congtok, maka jika putera nyonya tidak mempersulit kami dan mau turut secara baik-baik menemui Congtok, kamipun tidak akan mempersulit dia… nanti setelah sampai digedung Congtok baru diketahui apa sebenarnya urusan putera nyonya…!”.
Wanita.setengah baya itu benar-benar gugup, tubuhnya juga menggigil. Akhirnya ia berkata dengan suara yang parau : „Baiklah, tunggulah sebentar Tai jin, aku akan memanggil-nya…!”.
Komandan pasukan tentara kerajaan itu hanya mengangguk saja. Wanita setengah baya yang tampaknya gugup sekali itu telah masuk kerribali kedalam rumah, dan tidak lama kemudian ia keluar pula bersama seorang pemuda berusia dua puluh dua-an tahun, sikapnya juga gugup. Ketika berhadapan dengan komandan pasukan tentara kerajaan, pemuda yang bertubuh kurus tetapi memiliki paras yang cukup tampan itu merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat.
„Ada keperluan apakah Tai jin hendak membawa Siauwjin ?” tanya pemuda itu, suaranya tergetar, rupanya ia gugup sekali dan ketakutan.
Komandan pasukan tentara kerajaan itu telah tersenyum sambil katanya : „Tung Congtok memanggil kau menghadap, harap kau tidak membantah…!”.
Muka pemuda. itu tambah pucat.
„Apakah…apakah aku telah melakukan suatu kedosaan pada Tung Congtok ?” tanyanya, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
„Nanti-disana engkau akan memperoleh keterangan”, menyahuti komandan pasukan tentara kerajaan itu.
Sipemuda melirik kearah barisan kerajaan itu, ia melihat jumlah yang cukup banyak.
Waktu itu komandan pasukan tentara kerajaan telah tersenyum kembali.
„Kami tahu engkau memiliki kepandaian silat, tetapi jangan sekali-sekali engkau membantah panggilan ini dengan memberikan perlawanan pada kami. Lihatlah, kami datang dalam jumlah, yang cukup banyak ! Jika engkau membandel dan memberikan perlawanan, engkau sendiri yang akan rugi, sebab Tung Congtok telah perintahkan kami, jika engkau berusaha memberikan perlawanan dan melarikan diri, ibumu yang sudah lanjut usianya itu harus dibawa menghadap Tung Congtok sebagai gantinya…”.
Mendengar perkataan komandan pasukan tentara kerajaan itu, pemuda tersebut jadi menghela napas. Akhirnya ia bilang : „Baiklah, bisakah Tai jin menunggu sebentar, aku ingin mengganti pakaian dulu…!”.
Tetapi Komandan pasukan tentara kerajaan itu telah menggeleng.
„Dengan pakaian seperti ini engkau telah cukup rapih, ayo kita berangkat…!” suara komandan pasukan tentara kerajaan itu bernada biasa saja, namun tangannya telah menarik lengan sipemuda, itulah merupakan suatu paksaan secara halus.
Sipemuda rupanya tidak berani membantah, dia hanya menoleh kepada ibunya, wanita setengah baya yang mengawasi dengan wajah berkuatir sekali, katanya : „Ma, engkau baik-baiklah menjaga diri, anak pergi-tidak lama, segera akan kembaii.,.!”.
„Anakku…!” kata wanita setengah baya itu: „Kedosaan apakah yang telah engkau perbuat pada Tung Congtok ?”
Sianak tersenyum getir.
„Entahlah, Tai jin ini tidak, mau menjelaskan, mungkin setelah anak pergi menghadap pada Tung Congtok baru mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
„Nah Ma, anak pergi dulu…”
Sedangkan komandan pasukan tentara kerajaan itu telah menarik lengan sipemuda dan mengajaknya berlalu. Wanita setengah baya itu berdiri mematung mengawasi puteranya diseret oleh pasukan tentara kerajaan. Tanpa disadarinya dari pelupuk matanya yang memang telah keriput oleh ketuaan itu menitik turun butir-butir air mata.
Pemuda yang tampan dan memiliki tubuh yang tegap itu, telah keluar dari tempat persembunyiannya waktu melihat pasukan tentara kerajaan itu telah berlalu. la menghampiri wanita setengah baya yang tengah bersedih, sambil memberi hormat, pemuda ini bertanya : „Ada persoalan penasaran apakah yang menimpah keluarga Hu jin (nyonya) ?”
Wanita setengah baya itu tertegun sejenak, tampaknya ia gugup dan ketakutan, bahkan telah menghapus air matanya.
„Sebetulnya……sebetulnya tidak ada urusan apa-apa”, sahutnya kemudian sambil mengawasi sipemuda yang memandanginya dengan tanda tanya. „Ini……ini……tentunya urusan biasa saja”.
Pemuda itu tersenyum, ramah sekali sikapnya dan sopan santun.
„Kukira Hu jin tidak perlu menutupi persoalaa tersebut, karena aku tahu tentunya putera Hu jin tengah menghadapi suatu kesulitan yang sukar diatasi…!”
Wanita setengah baya itu telah mengawasi pemuda ini agak lama, tetapi akhirnya setelah melihat orang demikian sopan dan wajahnya memancarkan kewibawaan, ia menindih keraguannya, katanya : „Baiklah Kongcu……sebetulnya anakku itu Liang le Khu, telah melakukan suatu kesalahan pada Tung Congtok…….secara diam-diam ia telah berpacaran dengan puteri Congtok..!”.
„Berpacaran dengan puteri Congtok ?” tanya pemuda itu.
Wanita setengah baya itu mengangguk. „Benar, tetapi secara diam-diam tidak diketahui oleh Tung Congtok, karena mereka menjalin hubungan dengan rahasia……!.”
„Tetapi hubungan asmara mereka itu bukan suatu dosa, bukan ? Apakah puteri Congtok itu juga menyukai puteramu ?” tanya sipemuda.
Wanita setengah baya itu mengangguk.
„Ya, jika memang puteri Tung Congtok tidak mencintai anakku, mana mungkin mereka bisa berhubungan mesra ? Bukankah bertepuk sebelah tangan tidak akan berbunyi…!”
,,Lalu mengapa Tung Congtok memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap puteramu itu ?” tanya sipemuda lagi.
Wanita setengah baya tersebut menghela napas dengan wajah yang murung.
„Inilah nasib kami yang buruk”, katanya kemudian. „Kami rakyat kecil, apa yang kami bisa perbuat ? Tung Congtok merupakan seorang pembesar yang besar sekali kekuasaannya, ia tidak menyetujui hubungan puterinya dengan seorang pemuda yang miskin, maka ia beranggapan bahwa puteraku itu telah berdosa dan ditangkapnya. Dan yang kukuatirkan justru aku kuatir kalau-kalau puteraku itu akan memperoIeh siksaan dari Tung Congtok…..!”.
Mendengar sampai disitu, pemuda berparas tampan dan gagah itu mengangguk mengerti.
„Lalu apa yang hendak dilakukan Hu jin ?” tanyanya lagi.
„Entahlah, apa yang bisa kami lakukan ?” balik tanya wanita itu.
„Jika memang puteramu itu ditangkap dan dipenjarakan oleh Congtok, apa yang hendak dilakukan oleh Hu jin ?” tanya pemuda itu mempertegas pertanyaannya.
Karena melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, wanita setengah baya tersebut, Liang Hu jin, jadi bimbang lagi. la ragu-ragu.
„Coba Hu jin kemukakan, apa yang akan dilakukan Hu jin untuk membela putera Hu jin?” tanya sipemuda mendesak.
„Aku….. aku akan datang menghadap Tung Congtok, untuk minta belas kasihannya…!” menyahuti Liang Hu jin.
„Dan jika Congtok itu menolak permohonan Hu jin ?” tanya sipemuda.
Wanita setengah baya itu menghela napas.
„Tentu saja kami tidak berdaya apa-apa, hanya menerima nasib saja…!” sahut wanita setengah baya .im. .
„Baiklah Hu jin, aku bersedia membantu kalian ibu dan anak, apakah Hu jin bersedia menerima bantuanku ini ?” tanya sipernuda.
Wanita setengah baya itu tambah ragu-ragu. Tetapi kemudian ia mengawasi tamunya dengan sorot mata tajam, dan kedua kakinya lalu ditekuknya, ia berlutut dihadapan sipemuda.
„Jika memang Kongcu mau menolongi kami sehingga bisa keluar dari kesulitan kami, betapa menggembirakan sekali tentu budi Kongcu tidak mungkin kami lupakan……!”
Pemuda itu telah perintahkan nyonya setengah baya itu untuk berdiri, kemudian ia meminta selembar kertas dan alat tulisnya.
Wanita itu menanyakan siapakah sipemuda tampan tersebut, yang tampaknya agung sekali, tetapi pemuda itu tidak bersedia memberitahukan siapa dirinya.
Dengan cepat pemuda itu telah menulis sepucuk surat untuk Tung Congtok, lalu ia menggulung surat itu, diberikan kepada wanita setengah baya tersebut.
„Kau pergi menghadap Tung Congtok dan berikan surat ini kepadanya. Aku jamin dan memastikan, puteramu akan dibebaskan. Tetapi jika memang terdapat kesulitan untuk hubungan asmaranya dengan puteri Tung Congtok, lebih baik puteramu itu mengundurkan diri saja, tidak meneruskan hubungan itu. Tetapi yang pasti puteramu itu akan dibebaskan oleh Tung Congtok setelah kau berikan surat ini…!”
Wanita setengah baya itu memandang pemuda tersebut dengan tatapan mata percaya dan setengah tidak percaya, tetapi walaupun hatinya ragu-ragu, ia menyatakan terima kasihnya juga.
Sipemuda telah pamitan untuk berlalu, sedangkan wanita setengah tua itu cepat-cepat menuju kekantor Tung Congtok.
Dipintu gerbang Tung Congtok, wanita setengah baya ini telah ditahan oleh beberapa orang bawahan Tung Congtok. Walaupun ia memohon untuk dapat bertemu langsung dengan Tung Congtok, permintaannya itu tidak bisa dipenuhi tapi ditolak, dia diusir untuk pergi.
Tetapi wanita setengah baya itu, ibu dari Liang Ie Khu menyatakan bahwa ia hanya ingin menyampaikan surat yang dialamatkan kepada Tung Congtok.
Bawahan Tung Congtok mengatakan mereka akan menyampaikan surat itu kepada Tung Congtok, tetapi wanita tersebut tetap tidak bisa menghadap langsung kepada Congtok.
Liang I-iujin telah menyerahkan surat itu kepada orang bawahan Congtok, dan kemudian Liang Hu jin duduk diluar pintu gerbang kantor Congtok, karena ia tetap tidak berhasil untuk minta bertemu dengan Congtok.
Surat yang diserahkan Liang Hu jin telah dibawa masuk untuk disampaikan kepada Congtok. Tetapi tidak lama kemudian orang tersebut yang tadi membawa surat itu, telah keluar kemba!i dengan tergesa, dan dengan sikap menghormat ia mempersilahkan nyonya tersebut masuk kedalam guna bertemu dengan Tung Congtok.
Melihat perobahan sikap pengawal Congtok tersebut, wanita setengah baya ini yakin bahwa surat yang diberikan pemuda tampan itu memiliki keampuhan yang kuat sekali. la jadi girang dan timbul harapannya bahwa anaknya akan dibebaskan Congtok. Tergesa-gesa ia telah ikut pengawal Congtok memasuki gedung yang besar dan agung itu.
Diruang tengah, ditempat persidangan, telah duduk menanti Tung Cangtok.
Sikapnya gelisah sekali, waktu nyonya setengah baya itu datang menghadap, Congtok itu menegurnya sambil memperlihatkan sikap tidak gembira : „Apa yang telah kau lakukan wanita tua ?”
Wanita setengah baya itu jadi ketakutan, ia menekuk kedua kakinya untuk berlutut.
„Apa…… apa maksud Tai jin ?” tanyanya dengan ketakutan.
„Hemm….”, muka Tung Congtok masih memperlihatkan sikap tidak menyukainya.
Tangan kanannya telah diangkat dan ditangannya itu tergenggam surat yang tadi disampaikan oleh Liang Hu jin. „Siapa yang memberikan surat ini kepadamu.
Liang Hu jin tambah ketakutan, justru ia kuatir kalau-kalau surat itu malah akan memberati anak dan dirinya. Maka sejujurnya ia menceritakan apa yang telah terjadi, dimana seorang pemuda yang tampan telah menawarkan jasanya untuk menolongi dirinya bersama anaknya.
„Jadi…..!” sepasang alis Congtok itu mengkerut dalam-dalam. „Pemuda itu telah menyaksikan semua peristiwa itu……?”.
„Mungkini” Liang Hu jin mengangguk, karena ia telah mendesak kepada Siauwjin, apakah keluarga Siauwjin tengah menghadapi kesulitan.
Congtok itu tampaknya jadi gelisah sekali, ia berjalan hilir mudik dengan wajah yang tidak tenang.
„Tahukah engkau bahwa puteramu itu sesungguhnya telah berdosa ?” tanya Tung Congtok kemudian dengan suara yang dingin, tangan kanannya telah mengusap-usap jenggotnya yang cukup panjang.
Liang Hu jin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dalam keadaan berlutut seperti itu, sama sekali ia tidak berani menyahuti.
„Anakmu itu, Liang le Khu seorang pemuda yang kurang ajar, tanpa bercermin siapa dirinya sesungguhnya, ia berani berpacaran dengan puteriku…….dia berani untuk membujuk puteriku, dan juga telah mengadakan pertemuan rahasia, maka jika ia di jatuhi hukuman mati, itupun masih pantas.
Tetapi wanita setengah baya itu telah menangis sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali sambil sesambatan: „Maafkan dan ampunilah kami…. tentu Siauwjin akan berusaha menasehati anakku itu… tetapi kami memohon kemurahan hati Tai jin…?”
„Hemm….., sekarang kau jawab yang jujur, apa yang diucapkan oleh pemuda yang telah memberikan kau surat ini ?” tanyanya lagi.
„Tidak ada perkataan apa-apa, hanya dikatakannya jika surat ini telah diberikan kepada Congtok, tentu puteraku itu akan dibebaskan, hanya untuk selanjutnya agar anakku itu tahu diri dan tidak mendekati puteri Congtok pula…….”
Tung Congtok menghela napas.
„Tahukah engkau siapa pemuda itu ……?”
Wanita setengah baya itu menggeleng, ia memang tidak mengetahui siapa pemuda itu.
„Ia adalah Toan Hongya, junjungan kita…….” kata Tung Congtok lagi.
Muka wanita itu jadi pucat.. „Pemuda itu…….Toan Hongya adanya…?” tanyanya gugup.
„Ya, beliaulah Hongte (kaisar) kita…….!’ menyahuti Tung Congtok.
„Dan surat ini adalah surat yang ditulis oleh Toan Hongya, maka tentu aku tidak bisa membantah perintah junjungan kita, yang menyerupai firman ini !
Tetapi disamping itu, akupun meminta pengertianmu, agar menasehati anakmu tidak mengganggu puteriku Iagi…….Puteramu itu akan segera kubebaskan …….!”
Wanita tua itu jadi terharu dan berterima kasih, ia berjanji akan menasehati puteranya agar tidak berusaha mendekati puteri Tung Congtok lagi.
Setelah mendengar janji wanita setengah baya itu, Tung Congtok mengeluarkan perintahnya! pada pengawal yang ada diruangan tersebut, untuk membawa Liang Ie Khu.
Pemuda itu dinasehatinya agar tidak mengganggu puteri Congtok lagi dan kemudian dibebaskan.
Setelah membebaskan Liang Ie Khu, lalu kemudian ibu beranak itu telah pergi meninggalkan ruangan tersebut, Tung Congtok menghela napas berulang kali.
Memang semula ia ingin mempergunakan kekuasaannya untuk memasukkan Liang le Khu kedalam penjara selama satu atau dua tahun, tetapi siapa tahu justru per buatannya telah diketahui langsurg oleh Toan Hongya, kaisarnya. Hal ini tentu saja membuat Tung Congtok jadi bingung dan mencari-cari alasan apa yang bisa diberikan untuk membela diri dihadapan kaisarnya nanti. Memang Toan Hongya merupakan seorang kaisar yang berkuasa di In-lam. Dan kekuasaannya itu telah dikembangkan dalam pemerintahan yang baik dan selalu memperhatikan kehidupan rakyatnya, penghidupan yang baik dan teratur, sehingga Toan Hongya yang masih muda usia ini disamping disenangi rakyatnya, pun dihormati pula.
Memang Kaisar yang masih berusla muda ini terkenal sekali sering keluar dari istana untuk menyaksikan langsung penghidupan dan kehidupan rakyat-nya. Jika terjadi urusan penasaran, tentu Toan Hongya tidak akan segan-segan turun tangan guna mengatasi persoalan tersebut.
Hari itu, setelah menulis surat untuk diberikan wanita setengah baya itu kepada Tung Congtok, Toan Hongya tetah melanjutkan perjalanannya lagi mengelilingi kota itu.
la tengah mencari-cari seorang tosu vang diketahuinya hari ini berada dikota tersebut. Tetapi sejauh itu, tosu yang dicarinya belum juga berhasil dijumpainya, sehingga akhirnya Toan Hongya kaisar muda usia dan sering menyamar sebagai rakyat biasa tersebut kembali ke Istananya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
<<< Kembali Ke Bagian 19                |                 Bersambung Ke Bagian 21 >>>
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikuti dari : pustakaceritasilat
Share To:

Unknown

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment: