Negeri Yatim
Oleh Acep Syahril
Di rumahmu yang sumpek itu tanpa basa basi
kita saling mentertawakan diri sendiri
kau tertawa melihat telapak kakiku yang lebar
aku juga tertawa melihat mata dan gigimu
yang maju nanar leak karib yang mempertemukan
kita cuma tertawa lalu kau perkenalkan sipon
istrimu padaku aku serius menyambut
uluran tangannya tanpa tawa karena aku tau
kau terus mengawasi hatiku yang menggoda
setelah itu kita mulai cerita dan tak banyak
bicara soal sastra tapi sedikit menyinggung
tentang negara kau bilang hidup di indonesia
seperti bukan hidup di negara kita lalu
ku bilang kalau saat ini kita hidup
di negeri yatim yang sudah lama di tinggal
mati bapak sedang ibu pergi menjadi angin
kau cuma mengangguk-angguk tapi dari dialekmu
yang gagap dan cadel itu kau seolah memeram
amarah kau bilang ibu kita yang angin itu
telah di kawin paksa lelaki kejam dan tiran
dia sering kali mengirim tentara polisi
dan mata-matanya untuk menghabisimu
serta teman-teman kita
mereka tidak lebih jantan dariku katamu
mereka seperti sudah kehabisan akal bahkan
tak punya waktu berpikir untuk mengatasi
persoalan bangsanya selain menggunakan fisik
kekuasaan dan senjata menculik atau kalau
bisa membantainya mereka sungguh tak punya malu
sayang ibu kita cuma angin katamu
sejenak kita terdiam tapi aku membaca siratan
kecewa di gelisahmu tentang pilih kasih
orang tua kita yang lebih berpihak pada
penghianat maling dan pecundang itu
karena mereka adalah asset hidup yang bisa
dijadikan pemuas nafsu para penegak hukum
dan aku juga bercerita banyak soal
saudara-saudara kita yang dikejar-kejar
polisi karena mencuri ayam atau jemuran
tetangganya lalu kaki atau paha mereka
dibolongi timah panas kalau tidak digebugi
sampai sekarat dengan interogasi gaya kompeni
di luar matahari tegak berdiri di dalam kau
tengkurap di atas amben bambu menghadap
kali aku duduk di sofa bodol kempes yang
kondisinya seperti saudara-saudara kita
yang kurang gizi sembari cerita kalau kemarin
aku baru saja berkelahi dengan polsuska
distasiun balapan solo seusai baca puisi di
gerbong eksekutif karena mereka kira aku sedang
demonstrasi atau sedang menghasut orang
untuk menentang kejahatan penguasa di negeri ini
setelah sempat pukul-pukulan aku lari karena
aku tau ibu kita cuma angin sedangkan mereka
tak punya hati lalu kau tertawa dengan mata
terbenam dan mengingatkan agar aku jangan lagi
ngamen puisi di depan polisi
tak terasa di luar matahari makin miring
ke kiri sementara kita masih ingin menuntaskan rindu
untuk bicara apa saja tentang negara dan
berencana mencari kuburan bapak yang entah dimana
serta menunggu belaian ibu yang hanya
terasa kelembutannya
ah kita benar-benar yatim katamu
dan sebelum matahari benar-benar pergi aku
pamit dengan harapan kita bisa bertemu dan saling
mentertawakan diri lagi membacakan puisi
dengan leluasa di hadapan ibu
tapi kuperhatikan kau tercenung lama seperti ada
sisa kecewa yang belum juga bisa kau terima
atas siksa yang pernah kau rasa dari kepal tinju
para penindas dan hantaman popor senjata
kaki tangan penguasa lalu dengan arif kujagakan
kediamanmu serta meyakinkan kalau suatu saat
ibu kita yang angin itu akan memuntahkan
kembali segala bentuk kecurigaan dan tuduhan
serta pidato pediti politik atau ceramah cerimih
mereka lalu kata-katanya berubah jadi hewan buas
menakutkan yang akan mencabik-cabik
mulut mereka dan senantiasa mengusik setiap
upacara pagi apel bendera
solo, tegal, indramayu
Oleh Acep Syahril
Di rumahmu yang sumpek itu tanpa basa basi
kita saling mentertawakan diri sendiri
kau tertawa melihat telapak kakiku yang lebar
aku juga tertawa melihat mata dan gigimu
yang maju nanar leak karib yang mempertemukan
kita cuma tertawa lalu kau perkenalkan sipon
istrimu padaku aku serius menyambut
uluran tangannya tanpa tawa karena aku tau
kau terus mengawasi hatiku yang menggoda
setelah itu kita mulai cerita dan tak banyak
bicara soal sastra tapi sedikit menyinggung
tentang negara kau bilang hidup di indonesia
seperti bukan hidup di negara kita lalu
ku bilang kalau saat ini kita hidup
di negeri yatim yang sudah lama di tinggal
mati bapak sedang ibu pergi menjadi angin
kau cuma mengangguk-angguk tapi dari dialekmu
yang gagap dan cadel itu kau seolah memeram
amarah kau bilang ibu kita yang angin itu
telah di kawin paksa lelaki kejam dan tiran
dia sering kali mengirim tentara polisi
dan mata-matanya untuk menghabisimu
serta teman-teman kita
mereka tidak lebih jantan dariku katamu
mereka seperti sudah kehabisan akal bahkan
tak punya waktu berpikir untuk mengatasi
persoalan bangsanya selain menggunakan fisik
kekuasaan dan senjata menculik atau kalau
bisa membantainya mereka sungguh tak punya malu
sayang ibu kita cuma angin katamu
sejenak kita terdiam tapi aku membaca siratan
kecewa di gelisahmu tentang pilih kasih
orang tua kita yang lebih berpihak pada
penghianat maling dan pecundang itu
karena mereka adalah asset hidup yang bisa
dijadikan pemuas nafsu para penegak hukum
dan aku juga bercerita banyak soal
saudara-saudara kita yang dikejar-kejar
polisi karena mencuri ayam atau jemuran
tetangganya lalu kaki atau paha mereka
dibolongi timah panas kalau tidak digebugi
sampai sekarat dengan interogasi gaya kompeni
di luar matahari tegak berdiri di dalam kau
tengkurap di atas amben bambu menghadap
kali aku duduk di sofa bodol kempes yang
kondisinya seperti saudara-saudara kita
yang kurang gizi sembari cerita kalau kemarin
aku baru saja berkelahi dengan polsuska
distasiun balapan solo seusai baca puisi di
gerbong eksekutif karena mereka kira aku sedang
demonstrasi atau sedang menghasut orang
untuk menentang kejahatan penguasa di negeri ini
setelah sempat pukul-pukulan aku lari karena
aku tau ibu kita cuma angin sedangkan mereka
tak punya hati lalu kau tertawa dengan mata
terbenam dan mengingatkan agar aku jangan lagi
ngamen puisi di depan polisi
tak terasa di luar matahari makin miring
ke kiri sementara kita masih ingin menuntaskan rindu
untuk bicara apa saja tentang negara dan
berencana mencari kuburan bapak yang entah dimana
serta menunggu belaian ibu yang hanya
terasa kelembutannya
ah kita benar-benar yatim katamu
dan sebelum matahari benar-benar pergi aku
pamit dengan harapan kita bisa bertemu dan saling
mentertawakan diri lagi membacakan puisi
dengan leluasa di hadapan ibu
tapi kuperhatikan kau tercenung lama seperti ada
sisa kecewa yang belum juga bisa kau terima
atas siksa yang pernah kau rasa dari kepal tinju
para penindas dan hantaman popor senjata
kaki tangan penguasa lalu dengan arif kujagakan
kediamanmu serta meyakinkan kalau suatu saat
ibu kita yang angin itu akan memuntahkan
kembali segala bentuk kecurigaan dan tuduhan
serta pidato pediti politik atau ceramah cerimih
mereka lalu kata-katanya berubah jadi hewan buas
menakutkan yang akan mencabik-cabik
mulut mereka dan senantiasa mengusik setiap
upacara pagi apel bendera
solo, tegal, indramayu
Post A Comment:
0 comments so far,add yours
Posting Komentar