Pada mulanya, dalam suatu perjalanan niaga ke Turki, Syaqiq sempat singgah masuk ke sebuah rumah penyembahan berhala.

Kisah Penuh Hikmah - Syaqiq al-Bakhli, Hartawan yang Memilih Jalan Sufi
Ada tokoh-tokoh sufi klasik yang kisah tentangnya jarang terekspos. Salah satunya ialah Syaqiq Al-Balkhi rahimahullahu ta’ala. Beliau anak seorang hartawan yang memutuskan beralih melakoni perjalanan ruhani menjadi seorang zāhid.

Abu Ali – Syaqiq bin Ibrahim al Balkhy (wafat 139 H./810 salah seorang di antara tokoh tokoh besar Khurasan. Ia adalah guru dari Hatim al Asham.

Dikisahkan, tentang penyebab zuhudnya, bahawa ia adalah salah seorang dari anak kalangan orang-orang berada. Suatu ketika ia melakukan lawatan ke Turki untuk suatu kepentingan perniagaan. Dan kepergiannya itu merupakan yang pertama kali baginya. Suatu saat ia masuk ke pura patung. Penjaga pura itu, rambut dan janggutnya dicukur, pakaiannya dari jenis sutera arjuwaniyah.

Syaqiq berkata kepada si penjaga, “Bukankah anda mempunyai PenciptaYang Maha Hidup, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia. Jangan menyembah patung patung yang tidak membahayakan atau memberi manfaat kepada diri anda!” Penjaga itu pun menjawab, “Bila Dia sebagaimana Anda ucapkan, tentu Dia dapat memberi rezeki kepada diri anda di negara anda sana. Mengapa anda bersusah payah datang kemari untuk berniaga?” Seketika Syaqiq pun menjadi sedar, dan sejak saat itu ia mengambil jalan zuhud.
 
Dikisahkan, di antara penyebab zuhudnya, bahwa la melihat seorang budak yang sedang bermain-main dengan penuh suka ria di musim kemarau dan kering. Orang-orang sangat prihatin kala itu. Syaqiq bertanya, “Apa yang membuatmu bersuka cita seperti itu? Bukankah engkau melihat kesengsaraan manusia di musim kemarau dan kering ini?” Budak itu menjawab, “Bagiku kesengsaraan itu tidak ada. Tuanku berada di suatu desa yang bersih, siapa saja masuk di sana dan apa pun yang kami inginkan dicukupi.” Sejenak Syaqiq sedar, dan berkata pada diri sendiri, “Kalau tuannya berada di suatu desa, dan ia tergolong makhluk yang fakir, sementara dirinya tidak peduli terhadap rezeki, lalu layakkah seorang Muslim mementingkan rezekinya, sedangkan Tuannya Maha Kaya?”

Hatim al Asham berkata, “Syaqiq al Balkhy tergolong kaya raya. Ia menghidupi para pemuda pada masanya. Sedangkan Gabenor Balkh kala itu adalah Ali bin Isa bin Mahan. Sang gabenor ini sangat menyayangi anjing pemburu miliknya. Suatu saat salah satu anjingnya hilang. Lantas anjing itu ditemukan berada di tempat seseorang laki-laki yang menjadi tetangga Syaqiq. Laki-laki itu pun dicari, namun ia lari dan bersembunyi di rumah Syaqiq. Lantas Syaqiq pergi ke rumah gubernur, dan berkata, ‘Tolong beri jalan. Soal anjing itu ada dirumahku, kukembalikan tiga hari lagi.’ Para pengawal gabenor menyilakan Syaqiq, dan setelah itu Syaqiq kembali pulang.

Pada hari ketiga, seorang sahabat Syaqiq yang sudah lama menghilang dari Balkh datang. Sahabat itu menemukan anjing yang lehernya berkalung di jalan, lantas anjing itu pun dibawanya. Lebih baik, anjing ini kuberikan saja kepada Syaqiq, sebab ia sibuk dengan kaum muda,’ kata si sahabat tersebut. Ketika Syaqiq melihatnya, ternyata anjing tersebut adalah anjing gabenor. Syaqiq amat girang, dan anjing itu tepat pada hari ketiga dibawa kepada gabenor, dan ia bebas dari beban. Allah swt. kemudian melimpahkan rezeki kesadaran, dan Syaqiq bertobat dari perilaku sebelumnya, kemudian menempuh jalan zuhud. “

Hatim al Asham menceritakan kisahnya ketika bersama Syaqiq, “Kami pernah bersama dengan Syaqiq dalam satu barisan tempur ketika memerangi orang-orang Turki. Saat itu tidak terlihat kecuali kepala-kepala manusia yang aneh, busur-busur panah yang patah dan pedang-pedang yang putus. Syaqiq berkata kepadaku, ‘Bagaimana dengan dirimu, hari ini, wahai Hatim? Apakah engkau melihatnya seperti kejadian semalam ketika engkau diusir oleh isterimu?’ Aku berkata, ‘Tidak, demi Allah!’ Syaqiq berkata, ‘Namun, bagiku, demi Allah, pada hari ini sama dengan dirimu pada malam itu.’ Kemudian Syaqiq tidur di antara dua rak, berbantalkan perisai, hingga terdengar gerit-geritnya.”

Di antara ucapan Syaqiq, “Bila Anda ingin mengenal seseorang, maka kenalilah; apakah ia memilih janji Allah swt. atau memilih janji manusia. Lebih condong ke mana orang tersebut, maka akan kelihatan peribadinya.”
Katanya pula, “Takwa seseorang diketahui atas tiga hal: Mengambil, mencegah dan berbicaranya.”

Nilai yang tersirat di antaranya bahwa Syaqiq terlalu fokus ke luar dirinya, tapi jarang menengok ke dalam diri sendiri. Kebanyakan “ekstrospeksi”, kurang “retrospeksi” (mengenang kembali, atau wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad) dan minim “introspeksi” (muhasabah). 

Juga kenyataan implisit yang dirancang oleh Allah, tentang Syaqiq yang tidak akan menjadi seorang zāhid dan tidak akan dikenang sebagai sufi terpandang bila ia tidak bertemu dengan pelayan-berhala dan hamba sahaya dalam kisah. Suatu hal yang perlu ditelusuri kenapa sering kali Allah memperjalankan dan mempertemukan tokoh masyhur di masa kini dengan orang-orang yang seolah kurang penting, seakan-akan figuran, picisan, un-popular, dan bukan tokoh masyhur yang kebak make up, political-camuflage dan pencitraan artifisial. Namun Allah menjadikan ia atau mereka (tokoh cerita yang kita anggap “tak penting” itu) sebagai pemicu kejadian besar penting dan menentukan setelahnya. Sebuah titik balik kehidupan yang tidak main-main hikmahnya.

Sama halnya kisah Nabi Ya’qub dan pertemuannya dengan gelandangan gembel yang sempat ditolaknya di pintu rumah—sehingga seketika itu menuai teguran keras dari Allah. Hanya saja, soal demikian ini, kok ya unik ya, kalau hobinya Allah memang sering menyembunyikan sesuatu yang berharga di balik hal yang kita sangka (baca: tuduh) tidak berharga. Tampaknya Allah gemar bermain petak-umpet, jumpritan, dan sembunyi harta. Seperti pada mutiara yang tersembunyi di balik kotornya cangkang kerang. 

Siapa tahu, nanti kita dapat judul skripsi dari seorang penjual cuanki? Siapa tahu, dulu Thomas Alfa Edison menemukan ide cahaya yang dikandangi menjadi bola lampu, itu hanya dari mimpi? Siapa tahu, nanti, penemu mesin waktu itu mendapat cuplikan ide dari seorang gelandangan di pinggir kali? Siapa tahu…

Hal yang perlu kita stabilo, ialah, inspirasi bisa datang dari mana saja, dan dari apa saja. Inspirasi, sinonim kata “ilham”, “cenayang”, “bocoran soal-jawaban”, “aspirasi”, “bisikan Kang Jibril”, dan sefamilinya, dapat muncul dari sesuatu yang seakan-akan tampak sepele, remeh, dan tidak terduga sama sekali oleh mata-pandang kita, oleh kaca-mata intelektual-kapitalis kita, bahwa ia sebenarnya adalah gudang inspirasi. Maka dari sini, mulailah kita memperpeka diri—semati-matinya!  Wallahu a’lam.

Share To:

kabelantena.blog

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment:

0 comments so far,add yours