Untuk menangani hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan DPR akhirnya menyepakati substansi Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan, yang akan menjadi pengganti peraturan penyelenggaran perdagangan, Bedfrijfsreglementerings Ordonnantie (BO), yang telah digunakan sejak zaman penjajahan Belanda.
"Seluruh substansi yang dimasukan ke dalam 438 DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) di RUU ini telah dibahas. Proses ini penting untuk menggantikan BO (Bedrijfsreglementerings Ordonnantie) yang telah digunakan sejak 1934," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.
Gita mengatakan, melalui RUU ini, salah satu poin penting yang ingin ditekankan pemerintah adalah tata tertib penyelenggaraan perdagangan yang menyeimbangkan sektor hulu dan hilir. "Semangatnya pemerintah ingin produk yang dikonsumsi dalam negeri tu dilahirkan dan diproduksi dalam negeri sendiri. Penguatan sektor hulu," kata dia.
Kemudian, Gita juga menekankan, melalui RUU ini, kedaulatan rakyat dapat dilindungi dengan dilibatkannya DPR dalam ratifikasi perjanjian kerja sama perdagangan internasional.
Dengan begitu, setelah RUU ini disahkan menjadi UU, setiap perjanjian perdagangan internasional harus melalui konsultasi dengan DPR.
"Pemerintah akan berkonsultasi dengan DPR dalam membuat kerja sama perdagangan internasional," ujarnya.
Selanjutnya, menurut Gita, poin penting lainnya adalah disepakatinya substansi dalam RUU ini yang mengakomodasi terbentuknya Komite Perdagangan Nasional yang akan membantu pemerintah dalam percepatan pelaksanaan kebijakan perdagangan.
"Komite ini akan membantu pemerintah memberikan advokasi, rekomendasi, dan sosialisasi," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VI Arya Bima mengatakan pemerintah telah menindaklanjuti dengan baik usulan revisi akademis yang sebelumnya diajukan oleh DPR.
Revisi yang diajukan DPR sebelumnya, banyak menyoroti ihwal begitu banyaknya pasal yang dianggap memihak kepentingan perdagangan internasional atau pro liberal dalam RUU ini.
"Pada draft awal, kuat sekali nuansa pro pasar. Namun konten liberalisasi itu telah berubah menjadi konten kepentingan nasional. Pemerintah juga menyetujui semua usulan DPR," kata dia.
RUU Perdagangan kembali dibahas dan dilakukan pendalaman sejak 2010. Namun inisiasinya sudah dilakukan oleh pemerintah pada 1972, dan sempat ditolak pada 1979.
Pada Oktober 2013, pembahasan dilakukan secara intensif dengan DPR. Pemerintah mengharapkan RUU Perdagangan dapat disahkan pada rapat paripurna DPR, 7 Februari 2014 mendatang.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengusulkan sejumlah peraturan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan yang akan mengatur tata tertib untuk pelaku usaha perdagangan melalui internet (e-commerce).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Srie Agustina, kepada ANTARA News di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, mengatakan pelaku usaha di internet nantinya harus memiliki unsur legalitas dan teridentifikasi.
Pelaku perdagangan di internet dibagi menjadi dua, yakni pelaku usaha yang menyediakan atau menyelenggarakan aktivitas perdagangan melalui ranah elektronik atau internet.
"Pelaku usaha itu seperti situs-situs yang memilki fitur bagi pengunjungnya untuk menjual barang dan jasa," kata Srie.
Kemudian, pelaku usaha lainnya adalah "merchant" atau penjual barang atau jasa yang menggunakan layanan penyelanggaran perdagangan di internet.
Dia menambahkan, layanan penyelenggaraan aktivitas perdagangan yang digunakan oleh panjual itu nantinya harus memiliki izin.
Sembari menunggu RUU Perdagangan disahkan, Srie mengatakan rancangan peraturan tersebut sudah diformulasikan dalam peraturan pemerintah. Kemudian, ihwal perdagangan melalui internet ini, akan lebih rinci lagi diatur dalam peraturan Menteri Perdagangan.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dalam kesempatan terpisah, mengatakan hingga kini pihaknya mencatat jumlah transaksi di perdagangan melalui internet cukup besar. Ironisnya, belum ada regulasi yang mengatur tata tertib tentang perdagangan melalui ranah internet, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidak-adilan dalam berbisnis.
"Sekarang online tidak diatur, padahal persaingannya dahsyat. Misalnya kalau memasang iklan di website kan harus bayar pajak, tapi jika di facebook tidak. Nanti ini akan diatur," ujar Gita.
Editor: Desy Saputra
COPYRIGHT © 2014
sumber kutipan : antaranews
Post A Comment: