KEDATANGAN ANG CIT KONG SI PENGEMIS MUDA
BAGIAN 51.1


SAAT, pertempuran itu tengah berlangsung dengan seru, justru diluar rumah terdengar ribut2: „Kembalikan barangku…!, kembalikan barangku…..!”
Ong Tiong Yang jadi heran, ia melongok keluar.
Segera dilihatnya seorang pengemis muda, mungkin berusia sembilan belas tahun, tengah berjalan seenaknya, dengan ditangannya memegang sepotong daging ayam dan tangan yang satunya memegang sebuah buntalan.
Ia melangkah seenaknya dan mulutnya mengunyah itu juga ter-senyum2.
Tampaknya ia gembira sekali.
Wajah penge>rnis itu cukup :ampan, tetapi keadaanQya tidak ter,ptut, paltaiannys penuh iainbaiata dan rambutaya tidak terurus.
Sedangkan dibelakang pengemis itu tampak ber-lari2 belasan orang.
Mereka itulah yang ber-teriak2 : ,,Kembalikan barangku……. kembalikan barang kami…….. “
Tetapi walaurun sipengemis berjalan dengan perlahan, dan belasan orang tersebut jika mau bisa mengejarnya, mereka tidak berani terlalu mendekati, hanya ber-teriak2 begitu saja.
Sedangkan sipengemis itupun seperti juga tidak mengacuhkan mereka, ia melangkah tetus dengan tindakan kaki yang per-lahan2 dan seenaknya.
Disaat itu, salah seorang dari belasan orang yang berada dibelakang sip-engemis rupanya sudah tidak bisa menahan diri, ia melompat kedekat sipengemis sambil mengulurkan tangannya akan megambil buntalan yang ada ditangan sipengemis muda.
Namun dengan gerakan seenaknya, sipengemis menggerakkan tangannya yang mencekal paha ayam, dimana tulang ayam diujungnya diketokkan kepada kepala orang itu.
Aneh sekali dan agak luar biasa.
Tubuh orang yang tinggi besar itu seperti didorong oleh suatu kekuatan yang tidak terIihat, dimana tubuhnya telah terpental dan ambruk diatas tanah menimbulkan suara gedebukan yang keras.
Menyaksikan hal itu. 0ng Tiong Yang jadi terkejut, karena segera ia mengetahui bahwa pengemis muda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali, dimana dengan hanya menggerakkan pahanya ia berhasil melontarkan tubuh orang yang tinggi besar tersebut.
Gerakannya itu telah membuktikan bahwa Sinkang yang disalurkan pada paha ayam itu tinggi sekali.
Tetapi justru yang mengherankan Ong Tiong Yang, ia melihat usia pengemis itu yang masih muda sekali, dan sikapnya yang masa bodoh, walaupun dibelakangnya itu tampak mengejar belasan,orang yang takut2 mendekatinya.
Entah barang apa yang diambil pengemis muda itu dari orang2 tersebut, sehingga mereka ber-teriak2 : „Kembalikan barang kami…..! kembalikan barang kami……..!”
Waktu itu sipengeruis telah tiba didepan pintu, ia mengeluarkan suara „Ahkk………!” karena dilihatnya didalam rumah itu tengdh berlangsung pertempuran.
Sedangkan waktu itu Ong Tiong Yang cepat-cepat memapaknya, ia telah merangkapkan sepasang tangannya dan men jura memberi hor mat.
“Siapakah saudara?” tanyanya.
“Mengapa belasan orang itu mengikutimu?”
Pengemis muda tersebut berdiam diri sejenak, tetapi kemudian kembali mengunyah daging ayamnya.
Ia juga menyeringai tertawa.
“Aku sipengemis Ang Cit Kong sebetulnya tidak pernah ganggu orang, tetapi justru mereka itu yang telah mengganggu aku, selalu mengikuti aku…..!”
,,Apakah ada barang mereka yang telah diambil olebmu, saudara ?” tanya Ong Tiong Yang lagi
„Tidak justru mereka main tuduh, menduga bahwa aku ini yang telah mencuri barang mereka. Aku hanya minta sepotong pakaian dan sedikit uang, namun mereka terlalu kikir dan selalu meminta dikembalikan….l”
Mendengar jawaban pengemis muda ini, Ong Tiong Yang jadi tersenyum.
„sauddra Ang, tentu saja mereka selalu mengikutimu, untuk meminta barang yang kau ambil itu…… jika memang engkau tidak mengambil barang mereka, tentu merekapun tidak akan mengganggumu saudara Ang……..!”
Ang Cit Kong menunda makannya, ia mementang matauya lebar2 memandang Ong Tiong Yang.
„Jadi Totiang juga ingin memperkenalkan diriku…….?” tanya, suaranya mengandung teguran.
Ong Tiong Yang cepat-cepat tertawa.
„Tentu saja tidak !” sahut Ong Tiong Yang. „Jika memang engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, tentu engkau tidak bisa disalahkan, ……… tetapi jika memang engkau sesungguhnya telah melakukan suatu perbuatan yang salah, jelas engkau harus disalahkan………!”
Mendengar perkataan Ong Tiong Yang, Ang Cit Kong tertawa.
„Cerdik sekali kau, totiang. Engkau mempersalahkan diriku tanpa langsung ditujukan padaku, agar aku malu sendiri dan berusaha mem perbaiki kesalahan yang telah kulakukan…!” katanya.
„Tetapi didalam hal ini tentu saja Pinto tidak berani sembarangan mempersalahkan dirimu, namun jika memang engkau merasa telah melakukan suatu kesalahan, ada baiknya jika memang engkau segera merobah kesalahan tersebut dengan melakukan kebaikan….. bukankah begitu baiknya ?”
Mendengar perkataan Ong Tiong Yang, Ang Cit Kong berdiam diri sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk.
„Mungkin juga,” katanya kemudian seperti ragu2. „Disebabkan oleh belasan orang yang telah mengikuti aku terus menerus itu, membuat totiang mengambil kesimpulan bahwa diriku melakukan suatu kesalahan. Benar begitu, bukan ?”
Ong Tiong Yang berdiam diri, tetapi akhjrnya ia tersenyum lebar setelah memandang sejenak lamanya kepada Ang Cit Kong.
,,Dalam hal ini,” katanya lagi.
„Memang juga terdapat suatu hal yang disebut sebab dan akibat, seperti kau tentunya mengetahui saudara Ang.Jika memang engkau tidak melakukan suatu kesalahan, tentu belasan orang itu tidak akan mengikutimu, dan juga jika tidak ada barang yang engkau ambil dari tangannya, jelas mereka tidak akan meributi engkau meminta barangnya agar engkau kembalikan. Coba engkau pikirkan dalam2 perkataan Pinto itu, tentu engkau mengerti……..!”
Ang Cit Kong tersenyum, ia menganguk sambil katanya lagi: „Ya…. memang dalam hal ini merupakan suatu urusan yang keterlaluan juga, belasan orang itu membuat aku jadi malu.”
Dan setelah berkata begitu, tahu2 Ang Cit Kong telah menggerakkan tangan kirinya membalas.
Tapi, hebat kesudahannya, karena tanpa ampun lagi belasan orang itu telah terpental dan berguling diatas tanah, seperti juga diterjang oleh suatu kekuatan yang tak tampak.
Ong Tiong Yang yang menyakan hal ini jadi terkejut, ia berpikir dalam hatinya: „Dilihat dari kepandaiannya, tampaknya pengemis muda ini bukan sembarangan pengemis, karena kelihatannya cerdik sekali, selain ia memiliki silat yang tinggi, sinkangnya juga tampaknya tidak berada disebelah bawahku!”
Waktu itu Ang Cit Kong telah mtendelikkan matanya lebar2 kepada belasan orang yang tengah merangkak bangun itu.
,,Jika kalian tidak segera pergi, jangan mempersalahkan diriku jika aku turunkan tangan keras kepada kalian…….! Ayo cepat pergi……!”
Tetapi belasan orang itu tidak segera pergi, malah lima orang diantara mereka, telah berkata ragu2 : „Harap Taihiap mengembalikan dulu barang2 kami….!”
Ang Cit Kong mendelikkan matanya lebih lebar dan telah melangkah maju satu tindak sambil menggerakkan tangan kanannya dan membentak : „Kalian hendak dihajar lagi….?”
Bentakan seperti itu merupakan gertakan, yang membuat belasan orang itu jadi ketakutan, mereka telah mundur dengan serentak.
Dalam keadaan demikian, Ang Cit Kong berkata dengan suara tawar, tapi sikapnya tampak jenaka sekali, karena mulutnya: „Jika memang kalian tidak cepat2 angkat kaki, aku akan membuat kalian seperti daun2 keriug yang terhembus oleh angin…..! Aku akan menghitung ia sampai lima dan jika kalian belum juga pergi, hem…… aku akan membuktikan ancamanku itu…..!”
Ong Tiong Yang tersenyum melihat sikap Ang Cit Kong.
„Satu…..!” waktu itu Ang Cit Kong mulai menghitung dengan suara yang keras.
„Taihiap…… kembalikan dulu barang-barang kami…….”
Tetapi Ang Cit Kong separti tidak mendengarnya, ia telah menghitung terus …… „Dua . .!”
„Taihiap…..!” belasan orang itu memperlihatkan wajah yang pucat, disamping itu juga mereka telah merengket ketakutan, namun mereka juga tidak rela jika barang mereka tidak dikembalikan.
„Tiga….! Empat…. !” Ang Cit Kong telah menghitung terus tanpa memperdulikan sikap belasan orang tersebut.
Belasan orang itu tambah kuatir dan mereka hampir berbareng berkata : „Kembalikan dulu barang kami, kami akan segera berlalu…!”
Tetapi Ang Cit Kong seperti tuli tidak mendengar perkataan orang2 itu, bahkan ia telah menghitung terus dengan suara yang nyaring : ,Lima …. !”
Waktu Ang Cit Kong mengucapkan perkataan „Lima” itu, dan matanya didelikkan, dengan serentak orang2 itu memutar tubuhnya dan mementang langkah kakinya lebar2 tembil ber-teriak2 dengan suara penasaran : „Kembaiikan barang2 kami….!”.Aug Cit Kong tertawa ber-gelak2 melihat belasan orang tersebut telah lari.
Tetapi belasan orang itu berlari hanya kurang lebih delapan tombak, setelah itu mereka berkumpul berkelompok sambil berteriak : „Kembalikan barang kami….kembalikan barang kami…. !”
Ang Cit Kong jadi mendongkol, sengaja ia melangkah dua tindak memperlihatkan sikap seperti hendak mengejar.
Belasan orang itu jadi ketakutan dan mereka telah berlari lagi. Sekali ini mereka tidak berhenti, berlari terus dan sejenak kemudian telah lenyap dari pandangan mata Ang Cit Kong dan Ong Tiong Yang.
—oo0oo—
(Bersambung Ke Bagian 51.2)

BAGIAN 51
KEDATANGAN ANG CIT KONG SI PENGEMIS MUDA

BAGIAN 51.2

SEDANGKAN waktu itu, antara orang bertopeng merah dengan Tok Cun Hoa masih terus juga berlangsung pertempuran yang cukup seru karena mereka berdua telah terlibat oleh tenaga lwekang yang mereka pergunakan, dimana dua macam kekuatan tenaga dalam yang tidak dapat dilihat oleh mata itu, telah mengelilingi mereka, melibat mereka dan membuat keduanya tidak bisa memisahkan diri ataupun juga menyudahi pertempuran itu, karena memang mereka telah terlibat dalam pertempuran yang menentukan, dimana sampai salah seorang diantara mereka kelak kena dirubuhkan, barulah pertempuran itu akan berkesudahan.
Karena itu baik Ang Bian maupun Tok Cun Hoa telah ber laku sangat berhati-hati sekali dan melakuk in pertempuran tersebut dengan gerakannya yang sangat cepat sekali.
Dan mereka pun telah memusatkan seluruh kekuatan tenaga lwekang nya sehingga ditubuh mereka tampak mengalir keluar keringat yang sangat banyak sekali.
Waktu itu Ang Bian telah berkata dengan suara yang tawar sambil melacarkan serangan mempergunakan tangan kanannya yang menyambar seperti juga menggunting: „Hemmm….., jika sekarang aku tidak bisa mengalahkanmu, baiklah aku pun berjanji tidak akan mengembara lagi dalam rimba persilatan……!”
Tetapi Tok Cun Hoa menanggapi tekad dari Ang Bian dengan tertawa mengejek, katanya dengan suara yang sengau: „Tidak perlu engkau sesumbar seperti itu engkau pasti akan dapat membuat kedua lenganmu itu patah sebagai tanda mata buatku!”
Dan setelah berkata begitu Tok Cun Hoa menerjang lebih kuat.
Melihat sikap Ang Cit Kong seperti itu, Ong Tiong Yang jadi tersenyum lebar dengan hati yang merasa geli. Sejak munculnya Ang Cit Kong tetah memperlihatkan bahwa dia memiliki sikap yang jenaka, walaupun kejenakaan-nya itu tidak disengajanya dan memang wajar.
,,Kepandaian luar biasa, aku tidak menyangka ditempat sesepi ini bisa bertemu dengan orang orang gagah seperti itu.”
Kata Ang Cit Kong dengan suara yang perlahan, seperti juga tengah mengguman.
Kemudian Ang Cit Kong menoleh kepada Ong Tiong Yang.
„Totiang, siapakah mereka ?” tanya Ang Cit Kong kemudian. „Apakah salah seorang di antara mereka itu gurumu ?”
Ong Tiong Yang menggelengkan kepalanya.
„Bukan…. !” menyahut Ong Tiong Yang taN bil tersenyum.
„Lalu siapa mereka….?”
„Yang seorang bergelar Ang Bian, itu yang memakai topeng yang terbuat dari kain merah !” menjelaskan Ong Tiong Yang.
„Mengapa, ia menutupi mukanya dengan kain merah itu, apakah mukanya kudisan….?”
Ong Tiong Yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
,,Aku sendiri tidak tahu mengapa ia mengenakan topeng seperti itu…..!” sahut Ong Tiong Yang.
„Dan yang seoraog lagi ?” tanya Ang Cit Kong pula.
„Ia mengaku bernama Tok Cun Hoa !” menjelaskan Ong tiong Yang.
„Ohhh…….!” Ang Cit Kong memperlihatkan sikap yang beran sekali.
„Kenapa ?” tanya Ong Tiorg Yang.
,,Mengapa muka orang yang bernama Tok Cun Hoa itu buruk sekali, seperti tengkorak hidup ?” tanya Ang Cit Kong.
Sesungguhnya Ang Cit Kong bertanya dari hati yang sejujurnya dan polos, tetapi buat teliaga Tok Cun Hoa justru pertanyaan seperti itu telah membuat darahnya jadi meluap, ia sampai berjingkrak.
Kalau saja waktu itu ia tidak tengah terlibat oleh pertempuran mengadu tenaga sinkang yang saling melibat, tentu ia telah melompat menerjang pada Ang Cit Kong untuk menghantam orang yang lancang mulut itu.
Namun kenyataannya memang Tok Cun Hoa hanya bisa mendongkol tanpa berdaya untuk menghajar Ang Cit Kong.
Waktu itu Ang Cit Kong masih berdiri dengan sikap tercengangnya, sampai akhirnya ia tersenyum, sambil katanya: „Nah, sekarang telah terlihat, bahwa banjak orang pandai dimana-mana, seperti apa yang dikatakan oleh guruku, bahwa kepandaian silat yang dipelajari tidak ada habisnya, karena orang yang telah tinggi kepandaiannya tidak boleh sombong dan harus segera melatih diri tarus setiap ada kesempatan. Kepandaian yang tertinggi ialah tidak pernah tercapai, karena yang tinggi itu selalu ada yang lebih tinggi, tegasnya tidak ada yang tertinggi …….!”.
Ong Tiong Yang isang tersenyum mendengar perkataan Ang Cit Kong. Karena ia memang telah melihatnya bahwa Ang Cit Kong seorang yang sangat terkenal dan juga pandai dan tinggi kepandaiannya, disamping itu memiliki sifat yang polos dan jiwa yang jujur. Apa yang dilihatnya tentu akan dikatakannya.
Namun kenyataannya, Ang Cit Kong seperti juga tidak mengenal bahaya, dengan mengejek Tok Cun Hoa, walaupun bukan berasal dari hatinya dan tanpa disengajanya, tokh hal itu telah membuat jiwa Ang Cit Kong terancam bahaya yang tidak kecil.
Dalam hat ini, memang Ong Tiong Yang menyukai sikap polos pengemis muda ini.
„Saudara Ang, siapakah gurumu ?” tanya Ong Tiong Yang kemudian.
Ang Cit Kong tidak segera menyahuti, hanya memandang Ong Tiong Yang dengan sinar mata mengandung kecurigaan.
„Mengapa totiang menanyakan guruku ?” tanyanya.
Ong Tiong Yang tersenyum.
„Pinto hanya merasa kagum bahwa gurumu memiliki pandangan yang luas dan juga tampaknya seorang pandai yang tidak angkuh dan tidak pernah memamerkan kepandaiannya… !”
„Mengapa engkau mengetahui hal it…?” tanya Ang Cit Kong, wajahnya memancarkan perasaan girang bukan main.
Ong Tiong Yang menyahuti: „Karena meli hat sikapmu yang baik, tentunya engkau mem peroleh bimbingan dan didikan dari seorang guru yang baik pula…!
Ang Cit Kong cepat2 membuang sisa potongan paha ayam ditangannya, ia menyeka kebajunya dengan sikap yang amat ceroboh dan juga jenaka, kemudian merangkapkan sepasang tangannya, menjura memberi hormat kepada Ong Tiong Yang, katanya dengan suara yang sabar.
„Dalam hal ini,” katanya.
„Sesungguhnya memang guruku itu seorang yang baik dan mulia ia berpelar Ie Hong Sin Kay dan namanya Kiauw Cie Bauw. . .!”
,,Oh, telah lama aku mendengar nama besar dari tokoh sakti itu… !” kata Ong Tiong Yang cepat.
Memang selama dalam pengembaraannya dalam rimba persilatan, ia telah terlalu sering mendengar nama Ie Hong Sin Kay Kiauw Cie Bauw, yang memiliki sepak terjang terpuji.
Pengemis sakti itu selalu melakukan tindakan demi keadilan. Walaupun belum pernah bertemu secara langsung dengan Kiauw Cie Bauw, tetapi justru Ong Tiong Yang telah menaruh perasaan kagum kepada peugemis sakti itu.
Mendengar pujian Ong Tiong Yang, tampak Ang Cit Kong senang sekali.
Disaat itu ia telah berkaca dengan suara gembira: „Jika memang totiang kenal dengan guruku, itulah lebih baik lagi….!” Ong Tiong Yang tersenyum.
„Sayangnya Pinto belum pernah bertemu dengan orang tua yang sakti itu… Pinto hanya sering mendengar keberanian dan juga ketegasannya dalam menegakkan keadilan.
Memang besar sekali minat Pinto untuk bertemu dengan guru saudara Ang, untuk meminta petunjuk darinya……..!”
Ang Cit Kong tersenyum.
,,Sayangnya guruku setelah usianya meningkat semakin tua, telah memilih sebuah tempat yang sunyi dan tenang untuk hidup mengasingkan diri……. maka dari itu sulit sekali orang menemuinya……!”
„Jika memang demikian, jika kelak saudara Ang bertemu dengan gurumu, sampaikan salam Pinto, Ong Tiong Yang….!” kata Ong Tiong Yang.
Ang Cit Kong mengangguk cepat.
„Tentu…, tentu… akan aku sampaikan…..!” katanya
Begitulah, walaupun mereka baru saling berkenalan disitu, justru sikap mereka tampaknya telah jadi begitu akrab sekali.
Ang Cit Kong juga menanyakan siapa guru Ong Tiong Yang.
Pendeta ini menyebutkan nama Sam Kie bertiga, dan Ang Cit Kong tahu2 telah mengeluarkan ibu jarinya, ia memuji :„Ketiga guru totiang itu semuanya merupakan manusia setengah dewa yang sangat sakti, dimana selalu melakukan perbuatan mulia, justru aku sering mendengar cerita dari guruku, bahwa ketiga. locianpwe sakti itu merupakan tokoh yang sangat mulia dan memiliki kepandaian yang sulit dicari duanya, guruku juga sangat mengagumi mereka ….!”
Ong Tiong Yang segera merendahkan diri sambil mengucapkan terima kasih atas puda Ang Cit Kong.
—oo0oo—


Disaat itu pertempuran yang tengah berlangsung antara Ang Bian dengan Tok Cun Hoa masih berlangsung terus, dimana mereka telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama semakin membahayakan.
Ang Cit Kong setelah menyaksikan lagi sekian lama jalannya pertempuran itu telah menoleh kepada Ong Tiong Yang, tanyanya: „Apakah totiang tidak bisa meminta agar mereka menydahi pertempuran itu ?”
Ong Tiong Yang menghela napas sambil menggelengkan kepala dan wajahnya murung, dengan jujur ia menyahuti : „Sayangnya kepandaianku tidak ada artinya, sehingga tidak berdaya untuk meminta mereka menyudahi pertempuran itu…..! Hemmm……., kalau saja memang aku memiliki kepandaian yang lebih tinggi, tentu aku bisa meminta mereka menyudahi pertempuran itu atau setidak2nya memisahkan mereka………!”
Ang Cit Kong mengerutkan alisnya. „Masih ada hubungan apakah antara: totiang dengan mereka ?” tanyanya kemudian.
Dengan suara yang perlahan 0ng Tiong Yang menyahuti: „Dengan Ang Bian locianpwe, aku pernah melakukan perjalanan, dan kami melihat rumah yang terpencil ini maka kami singgahi.
Kebetulan kami juga sangat haus sekali, sehingga kami bermaksud untuk meminta air pelenyap dahaga. Tetapi justru Tok Cun Hot locianpwe telah salah mengerti, sehingga timbul salah paham, yang menyebabkan Ang Bian dan Tok Cun Hoa jadi bertempur seperti itu….!”
„Apakah Tok Cun Hoa yang bermuka seperti tengkorak itu seorang yang terlalu kikir?” tanya Ang Cit Kong tidak senang.
Ong Tiong Yang mengangkat bahunya sambil tersenyum, lalu katanya: „Entahlah, tetapi yang jelas memang keadaan telah-tejadi demikian, dimana antara Ang Bian lociaapwe dengan Tok Cun Hoa locianpwe telah timbul saling salah paham, dan mereka bertempur tanpa berkesudahan…….!”
,.Jika memang demikian halnya. lebih baik kita berusaha memisahkan mereka……..!” kata Ang Cit Kong.
Ong Tiong Yang terkejut.
„Bagaimana mungkin?” katanya dengan suara yang mengandung kekuatiran.
Ang Cit Kong tersenyum.
,,Jangan kuatir, jika memang mereka tidak mau menyudahi pertempuran itu, yang pasti rugi adalah mereka sendiri…!” kata Ang Cit Kong dengan suara mengandung keyakinan.
Ong Tiong Yang jadi heran.
„Dengan cara bagaimana ?” tanyanya.
„Tanggung beres !” katanya cepat. Dan Ang Cit Kong telah memutar tubuhnya, ia menuju kearah parit di depan rumah tersebut, ia mengambil sebuah kayu yang bertempurung yang ditengahnya melesak kedalam, ia menyendok air parit itu dan kemudian kembali keruang dalam rumah.
Ong Tiong Yang mengawisi apa yang dilakukan Ang Cit Kong dengan perasaan heran.
Waktu itu Ang Cit Kong telah berteriak : „Kalian berhentilah jika memang kalian tidak mau menyudahi juga pertempuran itu, biar aku yang akan menyiram kalian dengari air parit ini. Aku mau lihat, apakah kalian akan teruskan perkelahian kalian……!”
Dan setelah berkata begitu, Ang Cit Kong memperlihatkan sikap seperti ingin menyiram.
Keruan saja hal ini mengejutkan sekali Ang Bian dan Tok Cun Hoa. Mereka sampai mengeluarkan seruan kaget.
,,Aku akan menghitung sampai tiga, jika sampai tiga kali, kalian tidak mau berhenti, berarti kalian memang ingin mandi air parit…!” ancam Ang Cit Kong lagi.
Waktu itu Tok Cun Hoa bukan main mendongkolnya, ia sampai berseru karena murka, Ang Bian juga telah mengeluarkan suara bentakan sambil mengibaskan tangannya menangkis serangan tangan kanan Tok Cun Hoa.
„Satu….!” Ang Cit Korg tanpa memperdulikan keadaan pada saat itu, telah mulai menghitung, benar2 nekad sekali pengemis muda ini.
Ang Bian dan Tok Cun Hoa jadi panik, mereka tengah saling melibatkan diri dengan tenaga sinkang mereka yang tertingggi, tidak bisa dengan semudah dugaannya, begitu saja mereka menarik pulang tenaga sinkang mereka, karena akan melukai mereka sendiri.
Hal ini membuat mereka jadi panik juda, jelas mereka tidak rela jika sampai mereka terkena siraman air parit tersebut.
„Dua….!” suara Ang Cit Kong lantang sekali, dia menghitung terus.
Keruan saja Ang Bian dan Tok Can Hoa tambah panik.
Dalam keadaan demikian, mereka jadi nekad dan telah mendorong dengan tenaga sinkang masing2 lalu melompat mundur untuk memisahkan diri. Waktu memisahkan diri, mereka juga mengebut dengan tangan masing2. Hal ini untuk melenyapkan sisa tenaga yang ada pada saat itu, agar mereka tidak sampai terluka.
Setelah melihat Ang Bian dan Tok Cun Hoa memisahkan diri dan menyudahi partempuran itu, Ang Cit Kong tidak meneruskan hitungannya, dia tertawa keras dan telah melemparkan kayu yang berisi cairan air parit tersebut keluar rumah.
Ong Tiong Yang yang melihat keadaan seperti itu, jadi tertawa tidak bisa menahan gelinya. Dengan cara yang begitu sederhana dan mudah, Ang Cit Kong berhasil memisahkan kedua jago yang tengah bertempur hebat itu.
„Cerdik sekali pemuda pengemis ini….!” pikir Ong Tiong Yang dalam hatinya.
Waktu itu,”tampak Ang Bian telah menoleh kepada Ang Cit Kong, sambil katanya : „Kau….pengemis cilik …… berani sekali kau membawa lagakmu yang kurang ajar ?”
„Tetapi belum lagi selesai kata2 dari Ang Bian, Tok Cun Hoa yang memang sejak tadi telah diliputi oleh kemarahan pada Ang Cit Kong, yang diaaggapnya telatt mangejeknya dun juga telah membuat mereka paaik wak tu bertempur dengan ancamannya itu, sudah tidak bisa menahan diri, tahu2 tubuhnya berkelebat, dan telah berada disamping Ang Cit Kong. Begitu tiba, segera tangan kanannya bergerak.
—oo0oo—
(Bersambung Ke Bagian 52)

BAGIAN 52 : JILID 18.1

ANG CIT KONG kaget, karena ia hanya melibat berkelebatnya sesosok tubuh. Tetapi walau pun demikian. Ang Cit Kong memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tidak mau ia dirubuhkan hanya diserang seperti ttu.
Dengan gesit ia berkelit menyingkirkan diri dari terjangan Tok Cun Hoa.
„Jangan berangasan seperti itu, tidak baik nanti akan menyebabkan gigimu rontok…!” kata Ang Cit Kong sambil tertawa, tidak lenyap sikap gembiranya, walaupun tadi ia telah diancam oleh terjangan yang tidak kecil bahayanya.
Muka Tok Cun Hoa yang memang telah buruk itu jadi semakin tidak sedap dipandang karena ia tengah diliputi kemarahan yang sangat.
Memang mulutnya rusak dan hanya tampak barisan giginya saja, dan Ang Cit Kong berkata begitu yang tanpa sadar memang telah mengejek kelemahan dari Tok Cun Hoa.
Keadaan demikian telah membuat darah Tok Cun Hoa jadi tambah meluap.
„Jika memang aku tidak menghajar pecah mulutmu, aku tidak akan mau sudah…!” teriak Tok Cun Hoa. Dan dia bukan hanya berteriak begitu saja, karena ia telah membarengi menerjang Ang Cit Kong lagi.
Sewaktu tububnya tengah melayang ditengah udara, tampak tangannya digerakkan untuk melancarkan tamparan kepada Ang Cit Kong.
Keruan saja Ang Cit Kong jadi kaget karena gerakan yang dilakukan oleh Tok Cun Hoa jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang sebelumnya.
Dan keadaan seperti ini membuat Ang Cit Kong jadi nekad, karena ia sudah memiliki jalan untuk mengelakkan diri, dimana jalan mundurnya telah ditutup oleh tenaga sinkang yang dilancarkan Tok Cun Hoa lewat tangan kirinya.
Ang Cit Kong memaksakan diri memusatkan tenaga sinkangnya ingin menangkisnya, tetapi waktu itu Ang Bian telah berkata : „Engkau mencari mampus….?” dan segera tubuh Ang Bian telah berkelebat. Gerakan Ang Bian sangat gesit sekali, karena ia telah berhasil menangkis tangan Tok Cun Hoa.
Tok Cun Hoa tambah mendongkol, dan kini bukannya ia melancarkan totokan atau tamparan kepada Ang Cit Kong, malah ia telah meninju kearah dada Ang Bian.
Tetapi Ang Bian memang memiliki kepandaian berimbang dengannya, maka tinjunya tidak berhasil mengenai sesaran.
Dalam keadaan demikian, mereka telah bertempur lagi, dimana mereka saling serang tidak hentinya.
Sedangkan Ang Cit Kong yang tadi nyaris kena ditempiling oleh telapak tangan Tok Cun Hoa, berdiri tertegun ditempatnya, seperti orang kesima. Tetapi akhirnya ia tertawa lebar, sambil menoleh kepada Ong Tiong Yang, yang waktu itu tengah mengawasi padanya.
„Sungguh berbabaya !” menggumam pengemis muda itu.
Ong Tiong Yang tersenyum sambil katanya:
„Maka dari itu, janganlah saudara Ang terlalu ceroboh, karena mereka merupakan orang2 yang memiliki kepandaian luar biasa dan jelas diatas kepandaian kita…….”
Ang Cit Kong mengangguk.
„Untung saja kawanmu itu sitopeng merah telah menolongi diriku, kalau tidak tentu aku akan menerima bahaya yang tidak kecil..!”
Ong Tiong Yang hanya tersenyum.
Pertempuran antara Ang Bian dengan Tok Cun Hoa telah berjalan semakin seru.
Dan Ang Cit Kong juga tidak berusaha pula memisahkan mereka. Dalam keadaan demikian, memang jika kedua jago tengah saling bertarung, maka angin serangan mareka menderu-deru kuat, karena kekuatan tenaga lwekang yang mereka miliki itu merupskan kekuatan yang sudah mencapai puncak yang tinggi sekali.
Ong Tiong Yang dan Ang Cit Kong harus mundur beberapa langkah kebelakang menjauhkan diri, agar tidak tertindih oleh kekuatan serangan itu.
Diam-diam mereka berdua, sebagai orang2 yang mengerti ilmu silat, jelas menenyaksikan pertempuran antara kedua jago yang memiliki kepandaian luar biasa itu, membuat mereka jadi menumpah-kan seluruh perhatian mereka pada jalannya pertandingan.
Setelah saling terjang sekian lama, aksinya suatu kali tampak Tok Cun Hoa dan Ang Bian, saling menjauhkan diri. Mereka tidak melanjutkan terjangan mereka, hanya saling berdiri tegar mengawasi lawan masing2.
Waktu itu Ong Tiong Yang cepat menghampiri sambil katanya: „Jika memang Jiewie Iocianpwe tidak berkeberatan, lebih baik kita sudahi saja pertempuran itu….. tak ada gunanya!”
Namun Tok Con Hoa telah mendengus. dingin tanpa memperdulikan perkataan Ong Tiong Yang.
Sedangkan Ang Bian telah menoleh kapada Ong Tiong Yang, katanya dengan suara yang tawar: „Ong Cinjin, sayangnya manusia buruk ini memiliki adat yang buruk pula…!”
„Namun Ang Bian Iocianpwe, bukankah kita tengah melakukan perjalanan untuk pergi menolongi seseorang… jika memang Ang Bian locianpwe terlalu menghamburkan tenaga sendiri kelak tentu bisa menggagalkan pekerjaan kita!” kata Ong Tiong Yang.
Seperti orang baru tersadar, Ang Bian mengangguk berulang kali.
„Kau benar juga…..!” katanya kemudian.
„Engkau benar, baiklah aku bersedia menyudahi pertempuran diantara kami berdua, asal orang bermuka buruk itupun mau menyudahinya dan tidak mendesak diriku lebih lanjut….!”
Mendengar dirinya selalu disebut sebagai manusia bermuka buruk dan beradat buruk. karuan saja Tok Cun Hoa semakin penasaran dan marah, mana mau ia menyudahi begitu saja pertempuran itu?
„Hemmm….., mendengus dingin Tok Cun Hoa dengan sikap mengejek. Terlanjur engkau telah mengatakan bahwa aku manusia buruk beradat buruk, baiklah, baik…, mari kita bertempur lagi….!”
Diwaktu itu, tampak Tok Cun Hoa setelah berkata bagitu telah melompat, mendekati Ang Bian bersiap untuk saling bertempur pula.
Natmun Ang Bian yang telah diingatkan oleh Ong Tiong Yang, bahwa mereka tengah melakukan sesuatu untuk menolongi seorang, tidak mau melayani lebih lanjut pada Tok Cun Hoa katanya dengan suara yang dingin: „Jika memang engkau masih ingin main2 denganku kelak aku akan menemani, walaupun engkau hendak bertempur sebanyak puluhan ribu jurus bertempur terus sepuluh hari sepuluh malam, akan kulayani…!
Hemm, jika memang engkau hendak memaksaku hari ini. maafkan aku tidak memiliki waktu lagi untuk menemanimu… aku hendak melakukan sesuatu dan perlu diselesaikan secepatnya….!” dan setelah berkata begitu, tanpa menantikan sahutan dari Tok Cun Hoa, tampak Ang Bian telah memutar tubuhnya itu menoleh kepada Ong Tiong Yang, katanya: „Mari kita pergi…!”
Ong Tiong Yang girang meliyat Ang Bian bersedia menyudahi pertempuran itu.
Tetapi Tok Cun Hoa waktu melihat orang hendak berlalu, ia telah berkata dengan suara yang dingin : „Sudah kukatakan walaupun sekarang kalian hendak pergi, semua itu telah terlambat, dan tidak bisa kalian meninggalkan tempat ini……!”
Sambil berkata begitu, TOK CUN HOA melompat kepintu menghadang disitu karena ia tidak ingin membiarkan Ang Bian bertiga dengan Ong Tiong Yang dan Ang Cit Kong keluar dari rumahnya.
Rupanya Tok Cun HOA memang telah memutuskan babwa ia harus menghadang orang itu, untuk dibinasakan atau se-tidak2-nya dimusnahkan ilmu silatnya, sebab Ang Bian seperti tidak memandang sebelah mata padanya dan mukanya juga ditutup oich topeng merah sehingga ia tidak mengetahui siapa adanya orang dibalik topeng tersebut. Begitu juga Ang Cit Kong tadi. telah mengejeknya, membuat ia gusar tetapi belum bisa untuk menjatuhkan tangan kepada pengemis muda itu.
Kenyataan seperti ini telah membuat Tok Cun Hoa tidak mau melepaskan ketiga orang itu. la cepat-cepat mementangkan tangannya, bersiap melancarkan serangan kalau saja Ang Bian bertiga memaksa hendak berlalu dan menerobos pintu tersebut.
Ang Cit Kong tertawa melihat sikap Tok Cun Hoa, ia berkata perlahan sambil tersenyum menyeringai : „Jika memang engkau tidak mengijinkan kami meninggalkan rumahmu, apakah engkau hendak menjamu kami ? Bisakah engkau menjadi tuan rumah yang baik ? Sedang kan Ang Bian Locianpwe dan Ong Totiang itu saja semula meminta air pelenyap dahaga tidak diberikan olehmu….!”
Muka Tok Cun Hoa berobah memperlihat kan sikap tidak senang, ia berkata dengan sikap menahan kemarahan hatinya : „Jika engkau berlancang mulut, maka yang per-tama2 akan kupecahkan adalah batok kepalamu dulu….!”
„Kukira tidak mudah melakukan hal itu, karena disini masib ada Ang Bian Locianpwe yang memiliki kepandaian mungkin lebih tinggi dari kepandaianmu sendiri….!”
Tok Cun Hoa jadi lebih uring2an, ia berkata tawar: „Jika memang demikian halnya, baiklah. Aku telah memutuskan, walaupun bagai mana kalian tidak akan kuijinkan meninggalkan rumah ini. . .!”
Ong Tiong Yang yang melihat perkembangan keadaan sudah demikian macam, cepat2 merangkapkan tangannya menjura sambil katanya: „Harap Tok Cun Hoa Locianpwe mau mengerti keadaan kami, dimana kita tidak pernah kenal dan belum pernah bermusuhan, bukan? Mengapa kita selalu harus bertempur dan bersikap bermusuhan seperti itu? Baiklah, jika memang Tok Cun Hoa Locianpwe mau mengerti. tentu kami tidak akan lupa mengucapkan terima kasih kami…. kami harap saja Tok Cun Hoa Locianpwe tidak merintangi kami lagi, janganlah menanamkan permusuhan diantara kita, bukaukah kita sebelumnya selain belum berkenalan dan juga memang belum pernah bermusuhan?”
Tok Cun Hoa tertawa tawar.
„Engkau bicara seenakmu saja, tojin muda, tetapi engkau tidak ingat, kalian telah datang kemari untuk menimbulkan kekacauan dimana kalian telah menyebabkan aku merasa terganggu. Kalau saja hal ini tidak segera kuatasi, tentu kelak akan ada orang yang berani menggangguku lebih jauh…….!
Mendengar perkataan Tok Cun Hoa, habislah harapan Ong Tiong Yang untuk dapat berlalu dengan damai, karena memang ia melihat nya bahwa Tok Cun Hoa bukan seorang manusia baik-baik dan memiliki sifat yang selalu menang sendiri.
Ong Tiong Yang juga yakin bahwa mereka tidak bisa berlalu begitu saja, sebelum membu ka jalan dc n_,an kekerasan.
Ang Bian juga rupanya habis kesabarannya, ia telah berkata dengan suara yang berang: „Ong totiang, biarlah aku membereskan dulu tua bangka muka buruk ini…….. .!”
Dan tanpa menantikan lagi persetujuan Ong Tiong Yang, Ang Bian mengulurkan tangannya ia menggunakan sinkangnya untuk mencengkeram Tok Cun Hoa.
Namun Tok Cun Hoa tak berkisar dari tempatnya oleh ancaman tersebut, ia bertahan disitu dengan sikap yang menantang sekali. Bahkan waktu cengkeraman Ang Bian akan tiba, ia mengebutkan tangan kanannya.
Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja Ang Bian memaklumi bahwa tangkisan yang dilakukan Tok Cun Hoa tidak bisa dibuat main2. la mengeluarkan suara mengejek, sambil menarik pulang tangannya, lalu merobah arah dari cengkeraman tangannya, tubuhnya agak dimiringkan kekanan dengan gerakan yang cepat dan gesit sekali kaki kanan nya ditekuk, sedangkan kaki kirinya dilonjorkan, lalu kedua tangannya menyambar secara menggunting.
Gerakan yang dilakukannya itu benar2 merupakan gerakan yang sulit sekali untuk dielakkan oleh lawannya, jika memang lawannya itu bukan memiliki kepandaian yang benar2 tangguh.
Dalam keadaan demikian, tampak Tok Cun Hoa juga tidak tinggal diam, ia bukan menangkis atau berkelit, hanya mengempiskan dadanya yang didorong agak kedalam, kemudian waktu „guntingan” sepasang tangan Ang Bian lewat hanya satu dim terpisah dari dadanya itu, tampak Cun Hoa telah membarengi untuk menangkap tangan Ang Bian Namun Ang Bian telah menarik pulang kedua tangannya.
Ong Tiong Yang melihat hal demikian, jadi berpikir keras, karena ia memaklumi, kalau sampai kedua orang ini bertempur lagi, tentu sulit sekali baginya untuk memisahkan, dimana mereka tentunya akan terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan. Degan adanya pikiran seperti itu, Ong Trong Yang membujuk kedua orang itu, ia membungkukkan tubuhnya sambil memberi hormat : „Aku mohon agar kalian jangan meneruskan pertempuran ini tidak ada gunanya sudahilah pertempuran ini aku mohon dengan sangat !”
Dan setalah berkata begitu, Ong Tiong Yang beberapa kali membungkukkan tubuhnya memberi hormat, sikapnya memang manis dan juga berusaha untuk dapat memisahkan kedua orang itu dengan kelembutan.
Waktu itu “Tok Cun Hoa tertawa tawar sambil katanya sengit : ‘’„Ji ka memang dalam soal ini engkau masih banyak rewel, maka nanti engkau sendiri yang akan kuserang dan kubinasakan…………..!”
Sambil berkata begitu, tampak Tok Cun Hoa bukannya mengendorkan serangannya, malah telah melancarkan serangan yang semakin lama jadi semakin kuat saja. Ang Bian juga telah mengeluarkan kepandaian simpanannya, karena ia menyadari tidak mungkin ia bisa menarik diri lagi dari pertempuran itu, dimana ia juga tidak boleh berlaku lengah, karena jika saja dirinya terserang, niscaya akan membuat ia terluka parah.
Ang Cit Kong yang melihat pertempuran itu telab mengeluarkan seruan berulang kali, ia merasa tertarik sekali, karena justru yang di saksikannya itu merupakan pertempuran yang sangat jarang sekali bisa disaksikannya. Pertempuran diantara kedua tokoh yang sama2 memiliki kepandaian yang tinggi.
Ong Tiong Yang menghela napas daIam2 waktu melihat kedua orang itu tidak mau menyudahi pertempuran mereka. Ia jadi berputus asa. Untuk memisahkan mereka ia memang tidak memiliki kepandaian yang cukup, sedangkan untuk meminta pertolongan Ang Cit Kong juga tidak mungkin sanggup memisahkan kedua orang yang tengah bertempur itu, sehingga hal ini sangat menjengkelkan hatinya. Jika kedua orang liehay itu bertempur terus, berarti mereka malah akan terlibat dalam pertempuran yang berbahaya, karena mereka tentu akan ada yang rubuh dan terluka. Dan luka yang akan mereka derita tentunya bukan luka biasa, sekali saja mereka terluka, tentu luka itu luka yang parah, dalam keadaan demikian, Ong Tiong Yang benar2 bingung untuk memisahkan mereka kerena Ia pun telah gagal untuk membujuknya.
—oo0oo—
BERSAMBUNG Bagian 53

BAGIAN 53 :

UDARA masih dingin dipagi hari itu, tetapi di jalan raya Khu Miang tampak berjalan tiga orang, se-orang wanita dan dua orang lelaki, yang seorang telah berusia lanjut, sedangkan yang seorang lagi berusia masih muda. Mereka tidak lain dari Oey Yok Su bersama Lu Liang Cwan dan Lauw Cie Lao. Ketiga orang ini memang telah melakukan perjalanan bersama, dan juga telah beberapa kota yang mereka singgahi disamping itu telah beberapa kampung yang mereka lewati selama mengembara dalam rimba persilatan.
Selama dalam pengembaraan itu, mereka bertiga selalu melakukan perbuatan2 yang mulia menolongi orang2 yang tengah tertindas. Tetapi justru ketiga orang ini juga memiliki adat yang aneh, dimana mereka jika memang merasa senang pada seseorang, walaupun orang itu jahat, boleh jadi mereka berdiri dipihak penjahat itu. Dan jika memang mereka menyukai seseorang, walaupun orang itu melakukan suatu perbuatan yang salah, bisa jadi mereka membenarkarnya. ltulah keanehban sifat ketiga orang ini, yang hampir bersamaan, sehingga merasa cocok untuk mengembara bersama.
Tetapi secara kescluruhannya memang Oey Yok Su, Lu Liang Cwan dan Lauw Cie Lan merupakan orang2 yang memiliki kepandaian yang tinggi dan hati yang mulia, maka banyak juga perbuatan mulia yang mareka lakukan disamping watak mereka yang memang agak aneh seperti itu.
Waktu mereka tengah melakukan perjalanan hari itu, justru mereka telah melihat dikejauhan tampak sebuah rumah terpencil, yang jang dari rumah2 penduduk lainnya. Sebuah rumah tembok yang cukup kokoh.
Malah Lu Liang Cwan telah menahan langkah kakinya, ia berkata kepada Lauw Cie Lan dan Oey Yok Su.
„Tunggu dulu,” katanya. „Aku mendengar seperti ada orang yang tengah …….. bertempur …. aku mendengar suara men-deru2nya angin serangan.”
Lauw Cie Lan juga memasang pendengaranaya, dan ia memang mendengar suara men-deru2 angin serangan yang kuat sekali. Disamping itu, memang terdengar suara bentakan per-lahan yang menunjukkan ada orang yang tengah bertempur dan saling melancarkan serangan diseriai suara bentakan.
Oey Yok Su yang memang memiliki kepandaian dibawah kepandaian Lu Liang Cwan dan Lauw Cie Lan, mendengar paling belakang dimana iapun akhirnya mendengar suara angin men-deru2 perlahan dan juga suara bentakan itu.
Setelah saling pandang sejenak, Lu Liang Cwan berkata: „Mari kita pargi melihat kesana.
Lauw Cie Lan dan Oey Yok Su menganggukkan kepalanya dan mereka telah berlari, dengan cepat sekali, untuk menuju kearah dari mana datangnya suara orang bertempur itu. Di saat itu Oey Yok Su berlari cepat sekali karena ia mempergunakan ginkangnya untuk berlari lebih dulu. Sedangkan Lu Liang Cwan dan Lauw Cie Lan memang berlari dengan seenak mereka.
Dalam waktu sekejap mata tampak mereka telah tiba dirumah baru itu. Mereka juga melihat Ang Cit Kong dan Ong Tiong Yang……
Sedangkan Ang Cit Kong dan Ong Tiong Yang juga telah melihat kedatangan mereka maka Ong Tiong Yang segera mebnyambutnya keluar.
Maafkan, siapakah Samwie (tuan bertiga)?” tanya Ong Tiong Yang bertanya begitu, karena ia melihat bahwa ketiga orang tersebut memiliki kepandaian sangat tinggi dan berlari cepat sekali, tentunya mereka bertiga bukan orang sembarangan.
Oey Yok Su yang telah tiba terlebih dulu dari Lu Liang.Cwan dan Lauw Cie Lan, berkata perlahan dengan perasaan beran pada wajahnya.
„Jika memang tidak salah, ditempat ini terdapat orang yang sedang bertempur…..! “
Ong Tiong Yang mengangguk, dan menunjuk kearah dalam.
„Mereka telah bertempur cukup lama, dan tat mau dipisahkan.” ia menjelaskan.
Oey Yok Su melongok kedalam dan terlihat Ang Bian dan Tok Cun Hoa yang tengah bertempur saling menyerbu dan menerjang tak hentinya, untuk merubuhkan lawannya masing2, keadaan demikian membuat Oey Yok Su mengerutkan alisnya, karena ia melihat kepandain kedua orang itu bukan kepandaian yang sembarangan, dimana mereka memang memiliki kepandaian yang tinggi dan juga jurus2 silat yang aneh.
Dalam keadaan demikian tampak Lu LiAng Cwan dan Lauw Cie Lan yang telah tiba saling pandang waktu mereka melihat pertempuran antara Ang Bian dan Tok Cun Hoa.
Kepandaian mereka tinggi sekali, entah siapa mereka berdua……?” tanya Lauw Cie Lan setelah mengawasi sejenak kepada kedua orang yang tedgah bertempur itu.
Lu Liang Cwan berdiam diri saja, ia mengawasi sekian lama, dan akhirnya berkata dengan yang perlahan: „Biar aku coba memisahkan mereka….!” dan belum lagi kata2nya itu habis di ucapkan, disaat itu tubuh Lu Liang Cwan telah bergerak cepat sekali dengan gerakkan yang sangat ringan dimana kedua tangannya digerakkan saling susul, disaat itu juga dari kedua telapak tangannya itu mengalir keluar kekuatan tenaga sinkang yang menerjang kepada Ang Bian dan Tok Cun Hoa.
Ang Bian dan Tok Cun Hoa jadi terkejut bukan main, karena mereka merasakan tenaga sambaran dari kedua tangan Lu Liang Cwan kuat sekali, telah memaksa mereka jadi melompat mundur, karena jika t:Dak, tentu mereka akan tergempur oleh tenaga Iwekang tersebut.
Baik Ang Bian maupun Tok Cun Hoa telah menarik pulang tenaga masing2 dun melomp: t kebelakang. Gerakan mereka gest t sekali.
Dengan cara seperti itu. Ang Bian dan Tok Cun Hoa tidak sampai terlanggar oleh kekuatan tenaga Lu Liang Cwan, dan mereka berdiri sambil mengdwasi tajam sekali pada Lu Liang Cwan dengan sikap tidak senang. Apa lagi Tok Cun Hoa, yang membentak nyaring : „Siapa kau… Apakah engkau memang ingin mengacaukan rumahku ini ?”
Ditegur seperti itu, Lu Liang Cwan tersenyum sambil katanya : „Sama sekali kami tidak mengandung maksud buruk, kami hanya kebetulan lewat ditempat ini, dan aku menghendaki kalian jangan bertempur terus….!”
„Tetapi engkau tidak mengetahui urusan kami yang sebenarnya ……!” kata Tok Cun Hoa.
Lu Liang Cwan mengangguk.
„Tepat, justru disebabkan itu, maka aku hanya hendak memisahkan kalian, tanpa melancarkan serangan yang berarti, bukan?”
Muka Tok Cun Hoa yang seperti tengkorak itu tetap memperhatikan sikap tidak puas, ia berkata Iagi : „Jika memang engkau tidak bermaksud ikut mengacaukan keadaan disini, cepat angkat kaki …….!”
„Apakah ini merupakan suatu pengusiran ?” tanya Lu Liang Cwan dengan suara tawar, ia jadi tidak menyukai Tok Cun Hoa yang memperlihatkan sikap begitu kurang ajar.
Sedangkan Ang Bian memperdengarkan suaar tertawanya yang cukup nyaring, katanya : „Jika memang engkau sebagai orang yang bermaksud memisahkan kami, tidak perlu engkau pergi, aku akan menjelaskannya duduk persoalan yang benar dan tidak dilebihkan atau dikurangi. Nanti engkau mempertimbanghan, siapa yang salah dan siapa yang benar….!”
Muka Tok Cun Hoa semakin tidak sedap dilihat, sedangkan Lu Liang Cwan mengangguk, katanya disertai tertawa : „Baik, coba tuan menceritakannya …!” sambil berkata begitu, ia juga memperhatikan keadaan Ang Bian, karena la melihat orang memakai topeng terbuat dari kain merah.
„Sesungguhnya, kami hanya kebetuian lewat ditempat ini. Kami bermaksud hendtak meminta sedikit air untuk melenyapkan dahaga, tetapi justru ia marah2 dan telah mengusir kami tanpa hendak membagi air buat kami. Hal itu sebetulnya tidak apa2, tetapi justru tanpa hujan tanpa angin, Ia telah melancarkan serangan, juga pada ka mi, sehingga terpaksa kami melakukan perlawanan. Jika memang Kiesu (orang gagah) tidak mempercayai keterangan ini, silahkan tanyakan langsung kepada Oang Tiong Yang Totiang itu….!” sambil berkata begttu, Ang Bian menunjuk kearah Ong Tiong Yang.
Ong Tiong Yang cepat2 merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Lu Liang Cwan, waktu Lu Liang Cwan menoleh kepadanya.
„Apa yang dikatakan oleh Ang Bian locianpwe mamang benar, kami telah melakukan perjalanan bersama dan tiba ditempat ini dan telah timbul kesalah pahaman …….. !”
Lu Liang Cwan tersenyum.
„Apakah kesalah pahaman itu tidak bisa diselesaikan dengan baik? Dengan cara yang tidak perlu disertai dengan pertempuran?”
„Hal itu telah kami coba beberapa kali, bahkan kamipun bermaksud pergi meninggalkan tempat ini, karena pemilik rumah yang jahat ini tidak bersedia memmbagi air kepada kami, tetapi tuan rumah ini telah melancarkan serangan kepada kami dan juga berusaha membuat kami jadi bercacad. . . keadaan seperti ini membuat kami harus memberikan perlawanan untuk membela diri, karena ia menyerang tak hentinya.”
Tok Cun Hoa justru telah berkata : „Apa yang dikatakannya itu merupakan urusan yang berlebihan. Aku tengah duduk samadhi, tahu2 ia begitu lancang membuka pintu rumahku dan terus masuk.
Maka jika memang mereka bukan-nya bermaksud jahat, tentunya mereka tidak akan selancang itu…… aku sebagai pemilik rumah, tentu saja harus menjaga keamanan rumahku ini……..
Lu Llang Cwan tertawa sambil menoleh kepada Lauw Cie Lan, tanyanya: „Bagaimana pendapatmu mengenai urusan ini?”
Lauw Cie Lan berpikir sejenak, sejak tadi ia hanya menutup mulut, namun akhirnya ia berkata: „Jika didengar keterangan mereka, ke-dua belah pihak bersalah, yang seorang terlalu ceroboh dan yang satunya lagi memang terlalu kikir, sehingga untuk menolong seseorang dengan membagikan sedikit air saja tak bersedia membaginya. . .!”
Muka Tok Cun Hoa borobah jadi tidak enak dilihat karena mendengar dirinya dipersalahkan.
„Jika memang demikian, kalian tentunya berdiri dipihak orang bertopeng itu. ..!” kata-nya. „Baiklab, majulah kalian semuanya, aku tidak akan gentar menghadapinya. . .!”
Dan setelah berkata begitu,Tok Cun Hoa berdiri dengan sikap slap sedia, karena ia memang bersedia untuk menghadapi serangan dari semua orang ini. la memiliki, kepandaian yang tinggi, dan dengan demikian ia memang berani untuk menghadapi siapa saja.
Sedaogkaa saat itu Lu Liang Cwan berkata dengan suara yang sabar: „Jika memang engkau berangasan seperti itu, bisa-bisa engkau dimusuhi benar oleh semua orang-orang diseluruh dunia rimba persilatan…….!
Baiklah, perlu kami jelaskan bahwa kedatangan kami hanya kebetulan, karena mengetahui kalian tengah bertempur, maka kami bermaksud hendak memisahkannya……. tidak ada maksud lain pada diri kami …… tapi tampaknya kau sangat memusuhi kami juga…….!”
Tok Cun Hoa memperdengarkan suara tertawa mengejek.
Yang terpenting kami tidak bermaksud untuk memusuhi dirimu tetapi jika kami dipaksa dengan kekerasan, jelas kami juga tidak mau menyudahi urusan ini begitu saja!, kata Ang Bian dengan suara keras, tampaknya ia masih penasaran sekali.
Tok Cun Hoa juga telah menyahuti: “Aku sama sekali tidak hendak diganggu oleh kalian. Cepat kalian pergi, urusan ini bersedia kuhabisi hanya sampai disini saja …….. jika memang kalian masih tetap ber-lama2 disini, aku akan mempergunakan kekerasan lagi, Ini rumahku, dan aku memiliki hak untuk mengusir kalian…….!
Lu Liang Cwan tertawa tawar.
„Kukira, kami juga tidak hendak terlalu lama2 disini karena memang tuan rumah ini juga seorang yang terlalu kikir yang tentunya tidak bisa menjamu kami. . . tanpa engkau memintanya, kamipun akan segera berlalu. ..!”
Dan sehabis berkata begitu, Lu Liang Cwan menoleh kepada Lauw Cie Lan dan Oey Yok Su, sambil katanya: .,Mari kita berangkat!”.
Oey Yok Su dan Lauw Cie Lan mengiyakan.
Tetapi Lauw Cie Lan masih sempat bertanya kepada Ang Bian: „Apakah engkau ingin berlalu juga…?”
Ang Bian mengangguk sambil mengiyakan.
Begitulah, mereka telah meninggakan tempat tersebut. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, Tok Cun Hoa telah berkata : „Tinggalkan orang itu, agar aku bisa memberikan tanda mata padanya…..!” sambil berkata begitu, Tok Cun Hoa menunjuk kepada Ang Cit Kong, tampaknya Tok Cun Hoa memang masih menaruh perasaan penasaran dan sengit kepada Ang Cit Kong, yang dianggapnya tadi telah mengejeknya.
Ang Cit Kong tersenyum nakal, katanya dengan berani: „Mengapa harus aku saja yang di tinggal disini? Mengapa engkau melarang aku pergi, atau memang engkau menyukai aku dan hendak mengambil aku menjadi anak angkatmu?”
Ditanya begitu, Tok Cun Hoa meludah, dan kemudian katanya sengit: „Cuiii….h, jika memang aku tidak bisa memutuskan kedua tanganmu sebagai tanda mata, engkau tidak bisa pergi dari rumahku ini. Tempat ini memang mudah untuk didatangi, tetapi tidak mudah untuk ditinggalkan begitu….!”
Ang Cit Kong tertawa lagi, tetapi baru saja ia ingin menyahuti, justru Lu Liang Cwan telah mewakili berkata : „Apakah engkau tidak merasa malu berurusan dengan kaum Boanpwe seperti dia……..!”
„Namun mulutnya tarlalu kurang ajar sekali, dan pantas dihajar !” menyahuti Tok Cun Hoa.
„Jika memang sengaja hendak mencari urusan denganku… katanya sengit. Baiklah……. baiklah, jika memang demikian halnya, aku juga tidak bisa berkata apa2 selain menerima tantanganmu. Majulah….!”
Rupanya Tok Cun Hoa memang seorang yang gemar bertempur, kepada siapa saja ia bersikap berangasan seperti itu. Dengan seudirinya, Lu Liang Cwan dan yang lainnya tambah tidak menyukainya.
Lu Liang Cwan mengangguk dengan sikap yang tenang, katanya: „Baik…, baik…, jika engkau menantang aku seperti itu, aku Lu Liang, Cwan sama sekali tidak mengenal perkataan „Mundur” maka dari itu, aku menerima tantanganmu !”
Waktu itulah tampak Tok Cun Hoa sudah tidak sabar lagi, ia mengambil sikap mempersiapkan diri untuk melancarkan serangan.
Namun Lu Liang Cwan yang mengambil sikap tenang dan sabar, hanya berdiri ditempatnya sambil menantikan serangan yang akan dilancarkan oleh Tok Cun Hoa.
Ternyata Tok Cun Hoa hanya mengebutkan lengan baju kirinya.
Angin serangannya berseliwiran menyambar kearah Lu Liang Cwan.
Diwaktu itu, tampak Lu Liang Cwan mengelakkan diri dengan hanya memiringkan sedikit tubuhnya.
Tampak mereka mulai mengeluarkan sinkang masing2 untuk saling tindih.
Dalam keadaan demikian, tampaknya Lu Liang Tjwan tidak memandang sebelah mata terhadap kepandaian Tok Cun Hoa, ia malah berkata: „Kepandaianmu tampaknya tidak rendah mungkin disebabkan itu maka kau selalu berangasan dan tidak bisa berlaku sabar dan angkuh sekali….!”
Pertempuran telah terjadi antara Tok Cun Hoa dan Lu Liang Cwan. Jarak mereka semakin dekat juga.
Lauw Cie Lan yang menyaksikan hal ini tidak berusaha untuk mencegah atau memisahkan mereka, justru ia juga tertarik sekali untuk melihat berapa tinggi kepandaian yang di miliki oleh Tok Cun Hoa, sehingga ia berlaku begitu sombong.
Diwaktu itu Ang Cit Kong berkata dengan suara yang mengejek : „Hemmm, kali ini engkau bertemu dengan batu yang keras orang buruk…..” dan sambii berkata begitu, Ang Cit Kong memperdengarkan suara tertawa-nya dengan cukup keras.
Sedangkan disaat itu, tampak Lu Liang Cwan mulai mengeluarkan kepandaian dan tenaga sinkangnya, ia juga menggerakkan kedua tangannya dengan gerakan yang lambat namun kuat, mengandung kekuatan yang bisa merubuhkan batu karang yang berukuran besar.
Cepat sekali, antara Lu Liang Cwan dan Tok Cun Hoa terlibat dalam himpitan dua kekuatan tenaga lwekang mereka, keduanya memang memiliki kepandaian yang tinggi, dengan sendirinya pertempuran diantara mereka berjalan cukup menegangkan.
Tok Cun Hoa melihat bahwa dirinya memang berada dibawah angin. Selain memang kepandaiannya dibawah kepandaian Lu Liang Cwan juga kepandaian dari Lu Liang Cwan tampak-nya aneh sekali.
Disamping itu juga, Tok Cun Hoa, telah melakukan pertempuran yang cukup panjang dengan Ang Bian, membuat tenaganya banyak terkuras. Dengan sendirinya, sekarang ia cukulp lelah, dan itu merupakan suatu keuntungan buat Lu Liang Cwan.
Keadaan seperti ini, membuat Lu Liang Cwan semakin bersemangat melancarkan serangan.
Dalam waktu sekejab mata saja, tampak ia telah berhasil mendesak lawannya, membuat Tok. Cun Hoa beberapa kali harus mengelakkan diri dengan melompat mundur.
Lu Liang Cwan terus inenyerang tidak hen tinya, kareaa ia melihat bahwa lawannya Mulai terdesak, makin lama tenaga serangannya makin diperkuat dan ditambah, angin serangannya juga berkesiuran keras.
Sampai akhirnya suatu kali Tok Cun Hoa mengeluarkan suara seruan tertahan, karena tubuhnya terlanggar oleh tenaga sinkangnya Lu Liang Cwan dan ter-huyung2 mundur kebelakang.
Melihat keadaan seperti itu, Ang Cit Kong tertawa keras sambil menepuk2 kedua tangannya.
„Bagus…bagus ….!” teriaknya. „Sekarang engkau baru rasakan betapa enakya dihajar orang….!”
Muka Tok Cun Hoa jadi berobah mengandung hawa membunuh, karena diwaktii itu selain penasaran, ia juga tengah berang sekali, apalagi ia mendengar perkataan Ang Cit Kong.
Lu Liang Cwan tersenyum sabar, katanya: „Nah, sekarang bagaimana, apakah kau mengijinkan kami semuanya meninggalkan tempat ini ?
Tok Cun Hoa tidak menyahuti, ia hanya berdiam diri sambil mengawasi kepada orang itu seorang demi seorang dan akhirnya ia menghela napas.
„Baiklah,” kata Tok Cun Hoa kemudian. “Kalau memang demikian, pergilah kalian…. !” dan setelah berkata begitu, Tok Cun Hoa menghelakan napasnya berulang-ulang ka1i, karena rupanya kekalahannya ditangan Lu Liang Cwan membuat ia sangat masgul sekali.
Diwaktu itu Ong Tiong Yang merangkapkan sepasang tangannya, katanya: „Janganlah Locianpwe salah paham, kami sesungguhnva tidak memusuhi 1ocianpwe, jika memang locianpwe tidak berlaku keras-keras kepada kami. Watunya kami juga tidak akan berlaku kurang ajar seperti itu kepada locianpwe….!”
Tetapi Tok Cun Hoa hanya mengeluarkan suara „Hemmm!” saja, sambil mengebutkan lengan bajunya, memberikan isyaratagar orang2
tersebut berlalu.
Begitulah, Ang Bian ber-sama2 dengan Lu Liang Cwan, Ang Cit Kong, Lauw Cie Lan dan Ong Tiong Yang, telah berlalu dari rumah Tok Cun Hoa.
Tok Cun Hoa tidak berusaha untuk menahannya lagi, dia hanya memandangi saja kepergian orang2 itu. Setelah semua orang itu lenyap dari pandangan matanya, dengan jengkel sekali.
Ia merupakan seorang tokoh persilatan yang mati2an telah melatih kepandaiannya, namun sekarang justeru kenyataan yang ada ia telah kena dirububkan oleh lawannya, dan juga telah diejek pulang-pergi oleh Ang Cit Kong.
Bukankah hal itu membuatdia sangat penasaran sekali?
Sedangkan Lu Liang Cwan mengajak semua orang itu berlalu mengambil kearah barat. Dan ia berkata dengan suara yang sabar: „Sesungguhnya orang bermuka seperti tengkorak itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Sayangnya ia memiliki sifat dan adat yang buruk……!”
Setelah berkata begitu, Lu Liang Cwan menghela napas -berulang kali sambil katanya lagi: „Jika saja kalian tidak cepat2 meninggalkannya tentu ia bisa nekad dan mengadu jiwa. Orang dengan kepandaian yang begin tinggi dengan kenekatannya tentu membahayakan sekali…….!” Setelah berkata begitu. Lu Liang Cwan menghela napas berulang kali.
Ong Tiong Yang juga manghela napas.
„Memang. orang seperti itu sebetulnya harus dibuat sayang, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi, sayangnya memiliki adat yang buruk. Sesungguhnya kami telah berusaba beberapa kali mengambil jalan mengalah namun ia selalu mendesak Ang Bian locianpwe sehingga pertempuran diantata mereka dalam keadaan demikian, sebarusnya Tok Cun Hua Locianpwe itu menyadari jika saja kepandaiannya yang begitu tinggi dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan baik, tentu is stkan mamiliki banyak pahala, disamping banyak juga urusan yang tidak adil bisa diberesinya….!”
Begitulah mereka telah melakukan perjalanan ber-sama2. Dan selama dalam perjalanan, Ang Cit Kong, Ong Tiong Yang dan Oey Yok Su, yang merupakan golongan muda, telah ber-cakap2 dengan akrab. Tampaknya terdapat ke cocokan diantara mereka satu dengan yang lainnya.
Sedangkan Ang Bian dengan Lu Liang Cwan, Lauw Cie Lan juga telah ber-cakap2 dengan gembira, sekali2 diselingi tertawa mereka. Banyak masalah rimba persilatan yang mereka bicarakan. Justru lewat cerita Ang Bian, Lu Liang Cwan dan Lauw Cie Lan bisa mengetahui parkembangan dunia persilatan yang terakhir.
„Akhir2 ini justru telah muncul banyak sekali tokoh2 sakti dari kalangan hitam, mereka umumnya memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sulit sekali utuk dilawan, inilah yang telah membuat dunia persilatan seperti muncul badai dan topan, banyak orang2 rimba persilatan bergelisah sekali……..!”
Lauw Cie Lan telah mengiyakan, ia berkata: „Aku justru telah beberapa kali bertemu dengan tokoh2 sakti yang aneh selama beberapa bulan ini, mereka memang memiliki adat yang buruk seperti halnya dengan Tok Cun Hoa itu, tetapi banyak yang memiliki kepandaian begitu tinggi, benar2 merupakan suatu tanda tanya buatku, karena memang aku tidak tahu dengan cara bagaimana mereka bisa memperoleh kepandaian begitu tinggi….!”
Dan setelah barkata begitu, Lauw Cie Lan, menghela napas dalam2. la juga selama hidup, mengasingkan diri dipulau belasan tahun, ia tidak mengetahui lagi perkembangan dunia persilatan. Dan sekarang ini, karena mendengar cerita dari Ang Bian, barulah ia mengetahui keadaan rimba persilatan yang akhir2 ini memang banyak bermunculan orang2 aliran hitam yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sedangkan Ang Bian sendiri yang selalu mengenakan topeng pada mukanya, merupakau seorang tokoh aneh juga. la memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi anehnya ia tak mau memperllhatkan mukanya kepada orang lain.
Setelah melakukan perjalanan bersama beberapa saat lamanya, akhirnya mereka berpisahan.
—oo0oo—
BAGIAN 54 :

WAKTU itu tampak Lu Liang Cwan telah berkata kepada Ang Bian. .Jika memang kelak kita memiliki kesempatan, tentu pertemuan itu akan mengasyikan sekali, karena kita bisa ber-cakap2 sampai puas…!”
Ang Bian mengangguk.
„Ya, sayangnya sekarang ini aku dengan Ong Totiang tengah mengurus sebuah urusan ….. dengan demikian aku harus pergi melaksanakan persoalan tersebut bersama Ong Totiang, kami tidak bisa menemani kalian terlalu lama iagi….!
Setelah berkata bergitu, Ang Bian merangkapkan sepasang tengannya. ia memberi hormat sambil katanya: „Sampai disini saja kita berpisah”
Dangan perasaan berat, mereka telah berpisah.
Begitu juga halnya dengan Ang Cit Kong, ia tidak ikut dalam rombongan Ong Tiong Yang atau rombongannya Oey Yok Su, ia meneruskan perjalanannya sendiri…. Pengemis muda yang jenaka dan selalu memiliki sifat yang polos itu lebih senang melakukan perjalanan se orang diri.
—oo0oo—
Ang Bian telah mengajak Ong Tiong Yang kesebuah kuil, yang cukup besar dan terurus bersih.
„Kuil inilah tempat lawan2 kita berada….!” menjelaskan Ang Bian waktu mereka telah datang dekat dengan kuil.
Ong Tiong Yang mengawasi sekelilingnya, ia melihat bahwa kuil itu memang terurus dengan baik, dan juga dari dalam kuil tampak memancarkan sinarnya api penerangan, karena waktu itu menjelang malam hari.
Ong Tiong Yang menoleh kepada Ang Bian sambil tanyanya : „Siapakah lawan2 kita itu? “
„Mereka adalah sepuluh orang hweshio….!” menjelaskan Ang Bian.
Ong Tiong Yang hanya mendengarkan saja, dan mereka telah tiba didepan pintu kuil yang tertutup rapat. Pintu kuil itu berwarna merah, dan cukup angker dengan dikiri kanannya tam pak dua ekor naga yang melingkari tiang tersebut. Rupanya kuil ini men!ang dibangun dengan baik aekali clan juga terawat cukup rapih.
Mereka merupakan pendeta2 yang memiliki kepandaian tinggi sekali ……! menjelaskan.
„Tetapi Ang Bian Locianpwe ….. apakah mereka kesepuluh pendeta itu merupakan orang2 yang mengambil jalan hitam penuh kejahatan?
Ang Bian mengangguk.
„Mereka sebenarnya tidak jahat, tetapi justru mereka telah salah paham, dan menahan seorang sababatku …… karena kepandaian kesepuluh pendeta itu memang tinggi, maka sahabatku itu tidak berdaya menghadapi mereka dan telah ditawan. Hampir satu kali aku mendatangi mereka, bertempur dengan kesepuluh pendeta tersebut, namun aku tidak berdaya mendobrak pintu pertahaaan mereka yang telah mengeroyok aku bersepuluh! Sekarang aku sengaja mengajak Ong Totiang, untuk bantu melunakan hati mereka, siapa tahu mereka mau membebaskan sahabatku itu atas kata2 Ong Totiang …….. tetapi jika memang mereka tetap tidak mau memberi muka kepada kita, apa boleh buat terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan juga……!
Setelah berkata begitu, Ang Bian mengulurkan tangannya, ia mengetuk pintu Kuil tersebut, dan berkata dengan suara yang nyaring: „Cap Lo Sian Han (Sepuluh Arhad Sakti) …… aku Ang Bian datang pergi berkunjung ……..!” waktu berkata begitu suara Ang Bian nyaring sekali, karena ia berkata sambil menyalurkan tenaga sinkang pada suaranya, sehingga suaranya bergema nyaring dan dapat terdengar sejauh puluhan lie.
Saat itu, dari dalam kuil terdengar suara orang berseru perlahan, tidak lama kemudian pintu kuil telah terbuka, dan seorang hweshio muda yang telah membukakan pintu itu keluar dengan sikap ber-tanya2, iapun telah menegur : „Apa maksud jiewie berdua berkunjung kekuil kami……!”
„Aku hendak bertemu dengan Gap Lo Sian Han tolong Siauw Suhu memberitahukan kepada mereka mengenai kedatangan kami….!”
Hwashio muda itu mengawasi Ang Bian sejenak, lalu Ong Tiong Yang juga dipandangi nya dengan sikap tidak senang, lalu mengangguk. „Baiklah, kalian tunggu sebentar……!” dan setelah berkata begitu, pendeta muda tersebut menutup pintu kuil itu lagi.
Ang Bian sambil menantikan munculnya ke sepuluh pendeta yang hendak dijumpainya itu telah menlaskan kepada Ong Tiong Yang: „Kesepuluh pendeta yang bergelar Cap Lo Sian Han itu masing-masing disebut It Han, Jie Han, Sam Han, Sie Han, Go Han Liok Hao Peh Han, Kiu Han dan Cap Han. Mereka semuanya memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak pernah mau menyerah kepada siapapun juga, selalu bertempur dengan maju bersama, karena memang dengan cara seperti itu, mereka bisa mempergunakan kepandaian istimewa, mengurung musuh agar tidak mungkin bisa meloloskan diri, karena mereka dapat bekerja sama dan menolongi kawan mereka yang terancam.
Ong Tiong Yang menghela napas.
„Sesungguhnya didalam rimba persilatan memang terdapat banyak sekali orang2 pandai ……. dan juga merupakan hal yang terlalu seringkali terjadi, justru orang2 pandai seperti itu jadi lupa diri dan melakukan kejahatan……maka dari itu, dengan demikian dunia persilatan tidak pernah menjadi tenang, karena selalu timbul pergolakan……!” dan setelah berkata begitu, „Ong Tiong Yang menghela napas lagi beberapa kali lalu menoleh ke arah Ang Bian sambil tanyanya: „Sesunguhnya, siapakah sahabat locianpwe yang ditahan mereka?”
„Ia bernama Mie Tu dan she Ong. Kepandaiannya juga tidak dibawah kepandaianku… tetapi sayangnya ia tidak berhasil melolokkan diri dari kepungan kesepuluh pendeta tersebut, dengan demikian akhirnya ia berhasil ditawan!”
„Nanti kita juga akan menghadapi mereka itu dangan dikeroyok berpuluhan seperti itu?” tanya Ong Tiong Yang lagi sambil mengerutkan alisnya.
Ang Bian mengangguk.
„Tapi… ! Apakah engkau merasa takut dan jeri berurusan dengan mereka?” tanya Ang Bian sambil mengawasi Ong Tiong Yang.
Sedangkan Ong Tiong Yang menggeleng cepat, ia menyahuti: jika memang aku merasa genlar, tentunya Pinto tidak akan bersedia ikut dengan locianpwe. ..!” Dan setelah berkata begitu, Ong Tiong Yang menghela napas dalam2, baru melanjutkan lagi perkataannya: „Jika memang untuk keadilan dan kebenaran, tentu tidak ada yang dibuat jeri.”
Ang Bian girang mendengar perkataan Ong Tiong Yang, ia mengangguk : „Cepat….!” katanya. „Jika memang Totiang memiliki pandangan seperti itu, tentu menggembirakan sekali. ..!”
Waktu itu pintu kuil telah terbuka lagi, dari dalam mucul sepuluh orang hweshio yang bertubuh tinggi besar. Mereka semuanya berusia diantara lima puluh tahun, sikap mereka juga berwibawa sekali.
„Ada urusan apakah Siecu datang pula ke mari?” tanya salah seorang diantara kesepuluh hweshio itu.
„Aku hendak meminta kepada para Taisu agar bersedia membebaskaa sahabatku yang ditahan oleh kalian !” menyahuti Ang Bian.
Hweshio itu tertawa sambil katanya: „Hemmm, jika memang demikian halnya, rupanya Siecu masih belum bosan memperoleh kenyataan, bahwa permintaan Siecu ditolak oleh kami…!”
Ang Bian tersenyum.
„Bagaimanapun juga sahabat kami itu harus di bebaskan, karena itu aku telah melakukan perjalanan jauh untuk berkunjung kemari lagi…. !”
Tetapi pendeta itu memperlihatkan muka yang tidak senang, ia berkata : „Pernah dulu kami membebaskan Siecu, agar Siecu tidak me ngalami bahaya ditangan kami, tetapi kenyataannya Siecu telah kembali datang kemari bukankah hal ini akan mempersulit diri Siecu sendiri….?”
Ong Tiong Yang telah menyelak sambil menjura memberi hormat: „Jika memang para Tai su tidak keberatan, Pinto ingin bicara sedikit….!
„Silahkan,” kata hweshio itu.
„Sesungguhnya, ada keperluan apakah Tai su menahan sahabat dari Ang Bian Locianpwe?”
Muka hwesbio itu berubah dan katanya : „Kami memiliki urusan tersendiri yang tidak bisa dicampuri oleh orang luar.”
„Jika memang demikian halnya, tolong Tai su mengatakan saja, apakah Tai su bersedia membebaskan sahabat Ang Bian Locianpwe atau memang menolaknya?”
Pendeta tersebut mengawasi Ong Tiong Yang sejenak lamanya. kemudian baru berkata : „I’e tapi urusan kami dengan Ong Mie Tu menu pa kan urusan yang harus karni selesaikan sendiri tidak akan kami i jinkan orang luar ikut men campuri “
„Tetapi Taisu, alangkah baik dan bijaksana-nya jika saja Tai su mau menjelaskan kepada Ang Bian Locianpwe, urusan apakah sebenarnya yang terdapat antara Tai su dengan Ong Mie Tu Locianpwe?”
„Hemm, sesungguhnya ada sejilid kitab pusaka kami yang telah dicurinya, maka sebelum Ong ite Tu mengembalikan kitab pelajaran silat yang menjadi pusaka kami itu, kami tidak akan membebaskannya…!” menyahuti pendeta tersebut setelah bimbang sejenak.
Ang Bian tertawa dingin. katanya dengan nada mengandung perasaan tidak senang: „Jika memang Tai su berkata begitu, itulah banya fitnah belaka…. dan sama sekali tidak benar…. karena aku mengenal benar Ong Mie Tu seorang yang baik, tidak mungkin dia mencuri kitab pusaka milik orang lain…..!”
„Tetapi justru sababatmu itu telah mengakui bahwa ia yang mengambil kitab pusaka kami, dan ia mengatakan tidak sudi mengembalikan kepada kami…!”
Belum lagi Ong Tiong Yang selesai dengan perkataannya itu, justeru peudeta yang seorang ttu telah menyelak : „Dan kami tidak bersedia jika orang luar ikut mencampuri urusan kami….. walaupun bagaimana kami tidak bersedia untuk membereskan urusan ini dengan campur tangan nya orang luar….!”
„Mengapa begitu?”tanya Ong Tiong Yang, ingin mengetahuinya.
„Siapapun tidak akan kami ijinkan untuk mencampuri urusan kami…!” menyahuti pendeta itu. Kecuali jika memang Ong Mie Tu bersedia mengembalikan kitab kami, dan membayar pulang kitab pusaka itu ketangan kami, barulah ia kami bebaskan tanpa orang luar yang perlu memintanya…..!”
Ong Tiong Yang menghela papas.
„Jika memang demikian halnya, tentu Tai su ingin mengartikan, babwa yang dikehendaki oleh Taisu_adalah agar Ong Mie Tu mengembalikan kitab pusaka itu ketangan Tai su ?”
,,Sungguh tepat…..!” kata pendeta tersebut.
,,Dan jika memang memang Taisu bersedia ontuk mempertemukan kami dengan Ong Mie Tu, mungkin juga Ang Bian Locianpwe bisa membujuknya agar ia mengembalikan kitab pusaka itu dengan demikian, bukankah berarti bahwa Tai su akan memperoleh kembali kitab Lusaka itu……?”
„Tetapi kami telah bertekad, jika memang Ong Mie Tu belum mengembalikan kitab pusaka itu, kami tidak akan membebaskan-nya..!”
„Kalau memang Tai su berkeputusan seperti itu, tentunya Tai su bukan menghendaki jalan damai!” kata Ong Tiong Yang.
„Tetapi yang kami pentingkan kitab pusaka itu harus kembali ketangan kami, sebab jika kami mempertemukan kalian dengan Ong Mie Tu, kemungkinan ia akan menimbulkan kesulitan baru untuk kami…….!”
„Bagaimana jika Taisu mengajak Ang Bian Locianpwe untuk bertemu dengan Ong Mie Tu bukankah dengan demikian Ang Bian Locianpwe bisa membujuknya. Siapa tahu Ong Mie Tu mau memberi muka terang kepada Ang Bian Locianpwe, sehingga ia bersedia mengembalikan kitab pusaka itu….?”
„Hemmm….!” pendeta itu mendengus, tampaknya dia bimbang.
Kemudian menoleh kepada sembilan orang kawannya, yang serentak telah menggelengkan kepalanya.
Pendeta tersebut menghela napas.
„Seperti telah kalian lihat, adik2 seperguruanku tidak menyetujui jika aku mempertemukan Ang Bian Siecu dengan Ong Mie Tu….!”
Ang Bian sudah tidak sabar, ia bilang: ,,Jika memang kalian tidak bisa diajak bicara dengan baik2, tentu aku tidak akan segan2 mempergunakan kekerasan untuk membebaskan Ong Mie Tu !”
Mendengar parkataan Ang Bian yang me-ngandung nada keras, pendeta itu tertawa tawar: „Jika memang Siecu bermaksud mengambil jalan kekerasan seperti itu, kami juga tidak bisa melarangnya, tetapi yang pasti kami tentu tidak akin mengijinkan siapapun untuk membebaskan 0ng Mie Tu sebelum ia ingin mengembalikan kitab pusaka kami……. itu memang telah menjadi keputusan kami bersama…….!”
Tampak Ang Bian yang memang sudah tak bisa menahan kesabarannya dan juga melihat bahwa tidak adit jalan lain untuk menyelesai kan urusan ini, telah ber-siap2 untuk melancarkan serangan.
Sepuluh orang Hweshio itu yang melihat keadaan seperti ini, jadi ber-siap2 juga. Malah mereka telah memencarkan diri urtuk mengurung Ong Tiong Yang dan Ang Bian.
Melihat gelagat, kurang baik seperti itu Ong Tiong Yang jadi menghela , napas, katanya: „Jika memang begitu sikap Tai su, tentu sulit sekali dielakkan pertempuran diantara kita.”
„Walaupun harus menghadapi kalian berdua, hal itu bukan halangan buat kami, yang terutama adalah kami bisa menjaga sebaik mungkin agar Ong Mie Tu, tidak menimbulkan kesulitan baru buat kami jika memang dia belum mengembalikan kitab pusaka kami…!”
„Baiklah,” kata, Ang Bian…… Kalian ber-siap2 lah…!” dan Ang Bian selesai berkata begitu segera menggerakkan kedua tangannya.
Dari telapak tangannya berkesiuran angin yang kuat, menunjukkan bahwa Ang Bian telah mempergunakan sinkang tingkat tinggi.
Diantara kesepuluh-pendeta itu, It Han dan Jie Han merupakan pendeta yang paling tua usianya diantara hweshio2 yang lainnya.
Mereka berdua juga merupakan pimpinan barisan sute2 mereka
Maka itu melibat bahwa Ang Biaa telah membuka serangan dengan tenaga sinkang seperti itu, mereka berseru nyaring menyebutkan pintu mana yang harus diduduki oleh saudara2 seperguruan mereka. Pintu yang dlmaksudkam itu adalah pintu kedudukan dari aturan Patkwa.
Dengan demikian, mereka telah ber-gerak2 menuruti cara Pat-kwa dan dalam waktu sekejab mata saja, mareka telah ber-kelebat2 untuk mengurung Ong Tiong Yang dan Ang Bian.
Dengan cara seperti ini, tampak Ang Bian tidak pernah berhasil untuk menindih tenaga serangan yang dilancarkan kesepuluh pendeta itu, malah tampaknya Ang Bian telah terdesak sedikit demi sedikit.
Hanya Ong Tiong Yang masih berdiam diri tidak diserang oleh kesepuluh pendeta tersebut, karena mereka tampaknya tidak mau melancarkan serangan kepada orang yang tidak manyerang mereka.

GAMBAR
….dalam waktu sekejab mata saja, mereka telah berkelebat
-kelebat untuk mengurung Ang Bian dan Ong Tiong Yang.

Sedangkan Ang Bian yang menerjang kuat, tetah memperoleh perlawanan yang gigih. Semakin kuat tenaga sinkang yang dipergunakan, semakin kuat daya tahan kepungan sepuluh pendeta tersebut.
Hal ini membuat Ang Bian semakin lama. semakin penasaran dan akhirnya telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring: „Jika memang kalian tidak mau membebaskan Ong Mie Tu, aku akan mengadu jiwa dengan kalian…! “
It Han telah menyahuti : „Kami tidak pernah hendak mencelekai orang yang tidak memiliki kcsalahan apa2 pada kami, tetapi jika me mang engkau berusaha untuk menyerang dan menentang kami, terpaksa kami juga. tidak bisa berbuat apa2 selain melayani kalian….!” dan setelah berkata begitu, It Han telah membuka serangan dan, setiap serargannya itu memang me miliki• tenaga sinkang ti4ak berada disebelah bawah tenaga sinkang Ang Bian.
Dalam sakejap mata saja, mereka telah tertibat dalam pertempuran yang seru, dan juga mereka tampaknya mulai tidak segan2 untuk mengeluarkan kepandaian mereka yang tertinggi dan merupakan ilmu simpanan.
Ong Tiong Yang melihat bahwa pertempuran seperti itu, akan mecugikan pihak Ang Bian, maka ia telah bersrru: „Hentikan…. Pinto, hendak bicara dulu !”
Ang, Bian yang memperoleh kenyataan dirinya akan tetap terkepung tanpa berdaya untuk mendobrak kepungan itu berusaha untuk melompat mundur.
Dan It Han bersama dengan saudara seperguruannya juga telah membuka kepungan mereka.
—oo0oo—

BAGIAN 55

ONG TIONG YANG berkata: „Dengarlah para Taisu …… kalian memiliki jumlah yang banyak, dan kami hanya berdua, apakah Tai su tidak takut kalau2 nanti ditertawakan oleh orang2 rimba persilatan dengan perbuatan Tai su pada kami itu ?”
„Hemmm, kami memang telah biasa bertempur ber-sama2 walaupun musuh berjumlah banyak atau sedikit. Jika memang kalian ingin menambah jumlah, silahkan, walsupun, tiga puluh orang jumlah kalian, kami tetap hanya akan melayaninya bersepuluh!”
Apa yang dikatakan oleh It Han memang benar, walaupun para pendeta itu menghadapti jumlah lawan yang jauh lebih besar dari mereka, tetap mereka melayaninya dengan bersepuluh saja.
Ong Tiong Yang juga menyadarinya bahwa It Han berkata benar, maka dari itu, ia tidak memiliki alasan untuk menyerang pendeta itu dengan kata-katanya.
Disaat itu Ang Bian telah mendengus sambil berkata : „Jika memang para Tai su tidak bersedia untuk meluluskan peramintaan kami agar pertemuan kami dengau Ong Mie Tu terpaksa kami berlaku kurang ajar ……!”
It Han mengawasi Ong Tiong Yang dan Ang Bian dengan bergantian, sampai akhirnya ia berkata: „Baiklah…. aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu, tetapi perlu diketahui, dulu engkau pernah datang menemui kami dengan bertopeng merah itu, dan sekarang engkaupun datang dengan menutupi muka dengan pergunakan topeng merah seperti itu…! Jika memang engkau mau memperlihatkan wajahmu kepada kami, maka kami akan mem-pertimbangkan permintaan Siecu untuk bertemu dengan Ong Mie Tu”
„Mengapa begitu?” tanya Ong Tiong Yang cepat.
„Selama selama Siecu itu berlaku licik dengan bersembunyi-sembunyi seperti itu, bagaimana kami bisa mempercayai penuh padanya….. ?”
„Lalu maksud Taisu ?”
„Jika memang Siecu itu berlaku terbuka dan berterang pada kami, tanpa menutupi wajahnya dengan topeng merahnya tersebut, kami akan memikirkan permintaannya, untuk mempertemukan laogsung dengan Ong MieTu…!
Ang Bian justru mendengar syarat tersebut dengan hati yang bimbang. Ia berdiam diri saja•
Sedangkan Ong Tiong Yang telah menoleh kepada Ang Bian, lalu tanyanya: „Bagaimana Locianpwe?”
Ang Bian memperdengarkan suara “Hemm,” kemudian katanya : „Jika memang itu permintaan kalian, maafkan, aku tidak bisa memenuhi….!”
„Nah Totiang lihat !” kata It Han cepat. Sedangkan permintaan kami untuk melihat wajahnya saja tidak dipenuhi, bagaimana kami bisa memenuhi permintaannya ?”
Ong Tiong Yang menghela napas, lalu katanya kepada Ang Bian
„Locianpwe, lebih bijaksana, jika memang Lociaopwe memenuhi permintaan mereka….!”
Ang Bian hanya memperdengarkan suara „Hemmm.” saja, ia tidak menyahuti sepatah perkataanpun juga.
It Han dan .Jie Han telah memperdengarkan suara tertawa mereka, seperti mengejek. lalu tanyanya kepada Ang Bian: „Bagaimana?” tanya It Han „Apakah engkau bersedia memenuhi permintaan kami?”
Ang Bian benar2 bimbang.
Permintaan pendeta2 tersebut memang cukup pantas, dan jika ia tidak bersedia membuka topeng merahnya, bagaimana pula ia bisa memaksakan keinginannya untuk bertemu dengan Ong Mie Tu?
Bukankah ha1 itu berat sebelah?
Karena berpikir begitu.
Akhirnya ia berkata: „Baiklah aku menolak permintaan, kaliaa untuk membuka topeog merah ini dari mukaku, Akupun tidak akan mendesak kalian mempertemukan aku dengan Ong Mie Tu, cukup jika kalian pergi memberitahukan pada Ong Mie Tu, mengenai kedatanganku, dan tanyakan apakah ia memang benar2 mengambil kitab pusaka itu.
Katakan juga padanya, hal itu ingin kuketahui benar…. !” .
Mendengar jawaban Ang Bian, It Han tertawa.
„Sudah Pinceng katakan, ia mengakui perbuatanuya itu, dan memang dia tidak bersedia untuk mengembalikannya. LJutuk apa menanyakannya lagi…. !”
„Persoalannya lain jika memang kalian mengatakan pertanyaan itu diajukan olehku dan juga menghendaki kejujurannya apakah ia mengambil atau tidak kitab tersebut karena bisa saja terjadi dihadapan kalian ia mengakui telah mengambil kitab pusaka kalian, karena ia mendongkol kalian telah memfitnahnya. Maka dia hanya ruengiyakan saja dan hendak mempermainkan kalian. Sekarang pergilah salah seorang diantara kalian menanyakan padanya, katakan aku yang menghendaki jawabannya yang jujur, apakah ia benar mengambil kitab pusaka itu atau memang ia hanya berdusta !”
It Hin dan kesembilan saudara sepergruannya telah saling pandang, sampai akhirnya mereka saling mengangguk.
Maka It Han, memutar tubuhnya.
Ia telah melangkah masuk kedalam kuil.
Sedangkan kesembilan pendeta laiannya, Jie Han, Sam Han, Sie Han, Go Han, Liok Han, Cit Han, Peh Han dan Kiu Han maupun Cap Han telah mengambil sikap mengepung, bersiap sedia, karena sembarang waktu jika memang Ang Bian melakukan gerakan yang mencurigakan, mereka akan segera mengepungnya kembali.
Cukup lama It Han pergi kedalam kuil sam.pai akhirnya ia telah muncul kembali. Baru saja kakinya melangkah keluar dari pintu kuil ia telah berkata: „Ia memang mengakui kitab pusaka itu telah diambilnya……! Dan iapun mengatakan hendak bicara langsung danganmu Siecu, untuk mengutarakan sesuatu…..!”
„Hemm, jadi Taisu mengijinkan kami bertemu?” tanya Ang Bian.
It Han menggelengkan kepalanya perlahan sambil katanya: „Tidak, selain jika Siecu mau membuka topeng merah itu dari muka Siecu maka kami akan mempersilahkan engkau bertemu dengannya…!”
Waktu itu Ang Bian berdiri bimbang, Ong Tiong Yang mendesak-nya: „Sudahlah Locianpwe, engkau penuhi saja permintaan para Tai su itu !”
Ang Bian sejenak, berdiri bimbang, namun akhirnya mengangguk sambil katanya: „Baiklah, dan kedua tangannya telah diulurkan untuk membuka topeng merah yang menutupi wajahnya.
—oo0oo—
Disaat itu dari arah selatan telah berlari sesosok tubuh dengan gerakan yang cepat sekali. Gerakan orang itu lincah dan gesit, dalam sekejab mata telah tiba didepan kuil itu, sambil mengeluarkan suara bentakan : .„Kebetulan para keledai gundul….aku akan membalas sakit hati ayahku yang telah ditahan oleh kalian ……!”
Waktu semua mata memandang pada sosok tubuh itu, tidak lain hanya seorang gadis berusia dua puluh tahun, memakai baju warna hijau dan berangkin merah. Wajahnya cantik dan menarik sekali dengan sepasang alis yang melengkung bagaikan bulan-sabit dan bibir yang kecil mungil.
Dia mencekal sebatang pedang ditangan kanannya dan telah memandang kepada It Han dan pendeta lainnya dengan , sorot mata yang tajam.
Ang Bian jadi batal membuka topeng merahnya, ia telah berkata dengan suara girang: „Aha, kiranya Qng Siocia (nona Ong)….” dan ia memapaknya.
Gadis itu waktu melibat Ang Bian, jadi tersenyum juga.
„Ang Bian Lopeh (paman Ang Bian engkau berada disini juga ?” tanyanya.
Ang Bian mengangguk.
„Ya, untuk menolongi ayahmu…”
„Terima kasih Ang Bian Lopeh akupun datang …. hendak mem-balaskan sakit hati ayahku…!”
„Tetapi nona Ong, kepandaianmu masih berada dibawah kepandaian para pendeta jahat ini, biarlah aku saja yang berurusan dengan mereka !”
„Biarlah Ang Bian Lopeh, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk membela ayahku..!” dan sambil berkata begitu, Ong Siocia telah membolang balingkan pedangnya, ber-siap2 hendak, melancarkan serangan kepada kesepuluh pendeta tersebut.
Namun Ang Bian cepat sekali dapat mencegahnya, ia melompat kedepan sigadis dan mencekal tangannya.
„Jangan berlaku ceroboh !” kata Ang Bian, lika memang engkau ingin ikut serta membebaskan ayahmu, maka kelak saja….biarkan saja aku dulu yang mengurusnya !”
Si gadis tampaknya bimbang, namun akhir nya ia mau juga menuruti cegahan Ang Bian.
Waktu itu It Han sambil memperdengarkan suara tertawa mengejek, telah bertanya: „Bagaimana, apakah Siecu memenuhi permintaan kami ?”
Ang Bian menggeleng.
„Tidak!, biarlah aku berusaha membuka kepungan kalian. Kita mengadakan perjanjian, jika memang aku berhasil menerobos keluar dari kepungan kalian aku menang dan memiliki hak ku untuk bertemu dengan Ong Mie Tu. Apakah kalian menyetujuinya?”
It Han bimbang, tetapi Sam Han tetah mengiyakan dengan cepat.
„Boleh… boleh saja…!” kata Sam Han. Jika memang engkau benar2 bisa menerobos keluar dari kepungan kami,engkau akan kami ijinkan untuk bertemu dengan Ong Mio Tu…!”
Ang Bian jadi terbangun semangatnya ia menoleh kepada Ong Tiong Yang dan sigadis she Ong itu meminta mereka agar menyingkir kepinggir.
Ong Tiong Yang menghela napas dan telah menuruti permintaan Ang Bian.
Begitu juga sigadis she Ong itu.
Ang Bian telah mulai melompat kesana kemari menerjang kesepuluh pendeta tersebut juga telah mengurung diri Ang Bian dengan ketat.
Kesepuluh pendeta tersebut bisa bekerja sama dengan baik, mereka telah berhasil membuat Ang’ Bian selalu terkurung dalam barisan mereka. Karena setiap kali diantara salah seorang dari mereka tengah diserang oleh Ang Bian, maka yang lainnya segera melancarkan serangan kepada Ang Bian. Dengan demikian telah membuat Ang Bian jadi sibuk sekali untuk mengelakkan diri.
Jurus demi jurus telah lewat dan selama itu Ang Bian tidak bisa menerobos keluar dari kepungan para pendeta tersebut.
Tampak It Han dan Jie Han selalu memberikan petunjuk kepada saudara2 seperguruan mereka, pintu2 mana yang harus mereka duduki. Dengan demikian, membuat Ang Bian selalu terkepung rapat sekali.
Selama Ang Bian bertempur dengan kesepuluh pendeta tersebut, tampak sigadis she Ong telah menoleh memandangi Ong Tiong Yang dan bertanya dengan suara ingin mengetahui : „Sesungguhnya siapakah adanya Totiang……. apakah Totiang datang bersama dengan Ang Bian Lopeh untuk menolongi ayahku ?”
Ong Tiong Yang segera memperkenalkan namanya dan telah membenarkan pertanyaan si gadis.
„Terima kasih atas maksud baik Totiang!” ia berkata kemudian, sambil menjura kepada Ong Tiong Yang.
Ong Tiong Yang jadi sibuk membalasnya.
„Jangan banyak peradatan seperti itu nona, dalam hal ini memang Pinto hanya bersedia membantu Ang Bian Locianpwe untuk menyelesaikan urusan yang benar !”
Sigadis she Ong itu mengiyakan, dan ia menghela napas, wajahnya yang canfik itu ke mudian berobah jadi muram, dan katanya: „Jika memang demikian halnya, tentunya Totiang telah mengalami kesulitan dari kesepuluh pendeta itu, bukau?”
„Ya, memang persoalannya tidak mudah diselesaikan…!”
Sayang sekali dipihak para pendeia tersebut tidak ada pengertian untuk memberikan kesempatan pada kau bertemu laugsung dengan Ong Mie Tu Locianpwe…. dan juga juga …. Ang Bian Locianpwe tampaknya memilki suatu keberatan untuk membuka topeng mukanya itu….!”
„Mengapa begitu?” tanya sigadis heran.
„Kalau memang Ang Bian Locianpwe bersedia membuka topeng merahnya tersebut. maka para pendeta itu akan meogijinkan kami bertemu dengan Ong Mie To Locianpwe…. tetapi sayangnya Ang Bian Locianpwe seperti memiliki suatu kesulitan, sebingga ia tidak bersedia membuka topengnya itu !” dan setelah berkata begitu Ong Tiong Yang menghela nafas dalam-dalam lalu mengawasi jalannya pertempuran.
Ang Bian saat itu tengah sibuk sekait melayani serangan2 para pendeta itu yang kian lama, kian gencar dan kuat. Para pendeta ttu, juga memiliki kerja sama yang baik sekali, karena mewang mereka rupanya telah cukup matang melatih ilmu silat mereka secara teratur dan bersama-sama.
Sedangkan sinkang mereka juga rata2 sangat tinggi tidak berada disebelah bawah dari sinkang yang dimiliki Ang Bian. tulah sebabnya, semakin lama Ang Bian jadi semakin terdesak hebat.
Suatu kali, bahu Ang Bian terkena serangan kepalan tangan Sie Han, dimana tampak tubuh Ang Bian terhuyung akan rubuh.
Tetapi karena tenaga sinkang Ang Bian sangat tinggi maka dengan sendirinya ia bisa mempertahankan kuda2 kedua kakinya.
Namun Sie Han dan Cit Han telah menerjang lagi sambil menggerakkan tangan mereka, memaksa Ang Bian harus melompat mundur mengelakkan diri. Jika tidak, tentu ia akan terserang lagi.
Belum sampai ia berdiri tetap dirinya telah diincar oleh tangan Go Han dan Liok Han yang akan mencengkeram pinggang dan juga bahunya, terpaksa Ang Bian berkelebat kesana kemari dengan cepat.
Dalam keadaan seperti ini, Ong Tiong Yang tidak bisa berdiam diri. Walaupun ia memiliki kepandaian yang berada dibawah Ang Bian namun se-tidak2aya tentu saja bantuan yang di berikannya akan memiliki arti yang besar buat Ang Bian.
Dengan menjejakkan kedua kakinya, tampak Ong Tiong Yang melompat ketengah udara dan tubuhnya meluncur kedalam lingkaran pertempuran tersebut.
Gerakannya gesit, bergerak meluncur turun Ong Tiong Yang mengebutkan Hudtimnya
Gerakan yang dilakukan Ong Tiong Yang rupanya mengejutkan kesepuluh pendeta tersebut, karena Ong Tiong Yang menerjang dari bagian atas.
Dan tanpa disengaja, justru Ong Tiong Yang jadi mengetahui bahwa bagian terlemah dari pendeta2 tersebut adalah bagian atas kepala mereka. Penjagaan mereka untuk bagian bawah mulai dari bahu sampai kekaki sangat kuat, tapi justru penjagaan mereka dibagian atas agak lemah.
Melihat ini, Ong Tiong Yang yang cerdas sekali telah berteriak: „Ang Bian Locianpwe, serang bagian atas sambil melompat….!”
—oo0oo—

BAGIAN 56

SESUNGGUHNYA Ang Bian juga telah melihat kelemahan kesepuluh pendeta itu, sebab waktu tubuh Ong Tiong Yang meluncur turun sambil melancarkan serangan kepada mereka, para pendeta tersebut memperlihat sikap,yang gugup. Dalam keadaan demikian membuat Ang Bian mengetahui kelemahan lawan2-nya tersebut. Apa lagi mendengar teriakan Ong Tiong Yang, maka Ang Bian segera menjejakkan kakinya, tubuh-nya melompat ketengah udara dan sambil melayang seperti itu, ia menggerakkan kedua. tangannya bermaksud menghantam kepala Sie Han dan Liok Han.
Sie Han dun Liok Han cepat2 mengelak, tetapi mereka justru berada dalam keduukan yang lemah, karena mereka harus melompat mundur, dengan demikian pintu yang mereka pertahankan bisa jebol. Kedudukan-ilmu mengepung mereka menurut cara Pat-kwa, jika sampai – salah satu kedudukan berhasil diterobos, maka lawan mereka dengan leluasa bisa menerobos keluar dari kepungan.
Kalau sampai Ang Bian berhasil dengan torobosannya itu, tentu akan membuat ia jadi muncul sebagai pemenang. Bukankah telah diadakan perjanjian diantara mereka, jika memang Ang Bian berhasil menerobos keluat dari kepungan para pendeta tersebut, berarti It Han dan saudara2 seperguruannya harus memenuhi tuntutan Ang Bian, yang hendas bertemu muka dengan Ong Mie Tu ?
Karena itu, It Han dan pendeta2 lainnya jadi sibuk untuk menggeser kedudukan mereka guna menutup lubang yang terdapat pada kedudukan Sie Han dan Liok Han.
It Han bersama sute2nya bergerak sangat cepat sekali, dimana mereka telah berhasil menyusun kedudukan mereka sehingga menjadi pulih kembali.
Namun Ang Bian yang telah mengetahui keletnahan dari kesepuluh pendeta tersebut, selalu melancarkan gempuran kearah atas, dengan disertai juga tubuhnya yang melompat ketengah udara.
Gerakan yang dilakukannya selalu membuat kesepuluh pendeta rersebut berulang kali panik hampir saja kurungan mereka itu bisa dipatah kan oleh Ang Bian.
Sejurus demi seiurus dia membuat barisan It Han semakin kacau.
Ong Tiong Yang yang menceburkan diddalam pertempuran tersebut juga tak tinggal diam karena ia telah melakukan banyak sekali serangan dengan mempergunakan Hudtimnya. Bulu2 Hudtimnya telah menjadi kaku bagaikan baja untuk melakukan totokan pada jalan darah ditubuh pendeta itu.
Cepat sekali telah lewat belasan jurus, dan It Han bersepuluh jadi kelabakan juga karena semakin lama mereka semakin terdesak. Hal ini disebabkan kedua orang lawaa mereka yang cerdik ini selalu mempergunakan kesempaatan untuk menerobos ke-bagian2 terlemah dari barissn It Han.
Tetapi walaupun demikian. It Han bukan seorang yang lemah dan cepat menyerah dengan keadaan. Bebecapa kali ia berteriak memberikan petunjuk kepada sembilan orang saudara seperguruannya, sehingga mereka selalu merobah kedudukan mereka. Dengan, demikian mereka masih tetap berhasil mengepung Ong Tiong Yang dan Ang Bian dengan ra pat.
It Han dan sembiian orang pendeta lawan nya kian lama kian merasa berat tertindih oleh tenaga lawannya. Karena dengan diserang bagian atas mereka, yang merupakan bagian yang terlemah, maka para pendeta tersebut sibuk sekali menghadapi serangan2 Ang Bian yang di bantu oleh kebutan!, bulu-bulu hudtim Ong Tiong Yang.
It Han juga jang menyesali mengapa dulu dulu ia tidak berusaha menutupi kelemahannya tersebut, agar dapat menambalkan kelemahannya sewaktu-waktu menghadapi lawan2nya, walaupun lawan2nya menyerang bagian atas mereka.
Tetapi karena keadaan telab berubah demikian, membuat It Han tidak bisa berpikir banyak, ia harus mengambil keputusan dengan cepat.
Beberapa kali ia berusaha untuk mendesak Ong Tiong Yang dan Ang Bian, walaupnn desakannya itu tidak memberikan hasil yang memuaskan, tetapi bisa memperlambat kedua orang itu melancarkan serangan dibagian atas kepala mereka.
Ang Bian diam2 jadi girang dalam hatinya waktu melihat keadaan seperti ini. Mereka memang telah menang diatas angin, karena It Han dan sembilan saudara seperguruannya berulang kali berhasil mereka desak dan dibuat panik.
It Han sendiri menyadari, paling tidak mereka hanya bisa bertahan sampai, tiga puluh jurus lagi, selewatnya itu, kemungkinan kepungan mereka akan berhasil dipukul oleh Ang Bian dan Ong Tiong Yang.
Karena itu, It Han berusaha mencari jalan agar bisa menghadapi terus Ong Tiong Yang dan Ang Bian, beberapa kali ia telah memberikan petunjuk kepada adik2 seperguruannya.
Gerakan2 dari orang yang tengah bertempur itu semakin lama jadi semakin cepat. Di samping itu, Ang Bian juga kian bersemangat saja.
Sigadis she Ong telah berdiri diluar gelanggang sambil memperhatikan jalanrya pertempuran tersebut, karena ia sangat tertarik sekali untuk menyaksikan jalannya pertampuran itu, dimana ia melihat orang2 yang tengah bertempur itu merupakan jago2 rimba persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan aneh.
Gadis she Ong itu memang puteri tunggal Ong Mie Tu, ia datang sebetulnya dengan nekad untuk mengadu jiwa dengan It Han bersepuluh, karena ia hendak menolongi ayabnya.
Sekarang kabetulan sekali ada Ang Bian dan Ong Tiong Yang yang datang hendak menolongi ayahnya, maka ia jadi girang bukan main disamping berterima kasih, diam2 dia juga ber-doa agar Ong Tiong Yang dan Ang Bian bisa memperoleh kemenangan, walaupun dengan hanya menerobos keluar dari kepungan barisan para pendeta itu. Dengan demikian jelas akan membuat para pendeta itu harus mengijinkan mereka menemui Ong MieTu.
Per-lahan2 tampak betapa barisan It Han semakin lemah penjagaannya, walaupun mereka, merupakan jago2 yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan juga memiliki sinkang tidak berada dibawah Ang Bian, namun dengan kacaunya barisan pengepungan tersebut, membuat It Han bersepulah jadi panik. Karena itu mereka berusaha untuk melancarkan desakan yang lebih ketat, agar lawan2-nya tidak berhasil menerobos dari kepungan. Hanya itu yang bisa dilakukannya, karena memang It Han bersepuluh sekarang tidak mengharapkan lagi untuk dapat merubuhkan kedua orang lawannya, asal mereka bisa mempertahankan diri pada barisan yang tetap tidak terpecahkan bal ltu telah lebih dari cukup buat mereka…….
Karena itu, It Han akhirnya memberikan perintah kepada sembilan saudara seperguruan-nya, agar segera membentuk barisan yang lebih rapat dan menyusutkan ruang geraknya.
Dangan cara seperti ini, Ang Bian dibatasi ruang geraknya, sehingga Ang Bian maupun Ong Tiong Yang tidak bisa sering2 melompat keatas melancarkan gempuran lagi kepada pendeta ter-sebut.
Desakan yang dilakukan barisan It Han merupakan desakan yang agak membingungkan Ang Bian dan Ong Tiong Yang, karena mereka melihatnya bahwa It Han dan yang lainnya semakin mengepung dengan rapat. Mempergunakan cara bertanding dengan lingkaran pengepungan yang semakin mengecil itu, membuat Ang Ban dan Ong Tiong Yang tidak bisa bergerak leluasa.
Hal ini membuat Ong Tiong Yang beberapa kali telah memutar otak.
Ia melihat lawan2-nya telah mengetahui kelemahannya sendiri dan berusaha menutupi kelemahanqya itu.
Keadaan seperti ini akhirnya memaksa Ong Tiong Yang harus memutar Hudtimnya dengan mengerahkan seluruh kekuatan sinkangnya.
Ang Bian sendiri beberapa kali berusaha mempergunakan kekerasan untuk mendesak It Han dan pendetal lainnya. Namun kenyataan nya usaha Ang Bian tidak pernah berhasil.
Karena itu, tampak Ang Bian merobah cara bertempurnya.
Jika semula ia menyerang mempergunakan kekerasan, dia sekarang justru mempergunakan tipu mempergunakan lunak untuk mendesak yang keras. Keadaan seperti ini jadi membingungkan It Han bersepuluh, karena justru setiap tinju dan tendangan yang dilancarkan Ang Bian tidak pernah baisa diduga arah sasarannya.
Sejurus -demi sejurus telah lewat, tanpa terasa lagi telah dua puluh lima jurus yang dilewati.
Selama itu mereka tetap masih belum bisa melancarkan desakan yang lebih kuat untuk memecahkan barisan It Han beramai. Tetapi begitu juga It Ha-n dengan saudara2 seperguruannya sama sekali belum bisa merubuhkan Ang Bian dan Ong Tiong Yang.
Jika pertempuran semacam ini berlangsung lebih lama lagi tentu akan membuat It Han dan saudara seperguruan lainnya akan memperoleh angin, karena Ang Bian mau pun Ong Tiong Yang akhirnya akan lelah sendirinya.
Sedangkan It Han bersepuluh yang mengbadapi lawannya secara bergantian seperti itu bisa memelihara kekuatan mereka agar tidak mudah letih.
Itulah suatu keuntungan yang tidak kecil buat It Han bersepuluh.
Sedangkan Ong Tiong Yang dan juga Ang Bian menyadari hal itu, karena mereka telah melihat bahwa It Han bersepuluh melancarkan serangan kepada mereka dengan cara mengukur waktu.
Tidak ada jalan lain buat Ang Bian dan Ong Tiong Yang selain mendesak lebih kuat kepada lawan2nya.
Mereka terlibat dalam pertandingan yang tidak seimbang, apalagi akhir2 ini kesempatan untuk melancarkan desakan pada bagian terlemah dari It Han bersepuluh tidak ada, memaksa Ang Bian dan Ong Tiong Yang hanya bisa bertahan diri saja.
„Ong totiang, mari kita membuka jalan keluar dengan kekerasan …!” teriak Ang Bian dan ia telah memunggungi punggung Ong Tiong Yang.
Dengan cara demikian, mereka bisa zaling tolong menolong untuk menghadapi lawan mereka. Dan juga tangan mereka tidak henti2nya bergerak memunahkan serangan lawan dan balas menyerang.
Dalam hal membicarakan jumlah, It Han memang menang diatas angin, karena mereka bekerja sama, menghemat tenaga. Mereka tidak mungkin cepat letih, tetapi berbeda dencan Ong Tiong Yang dan Ang Bian, semakin lama mereka jadi semakin lelah, karena tenaga mereka seperti juga terkuras keluar sebagian besar. Dengan demikian membuat Ang Bian dan 0ng Tiong Yang bergelisah sekali.
Begitu juga nona Ong itu, semakin lama jadi semakin kuatir menyaksikan Ang Bian dan Ong Tiong Yang berada dalam kepungan yang kian rapat oleh sepuluh pendeta tersebut, dimana tampak It Han beramai memang telah menang diatas angin.
„Ong Totiang….!” Seru Ang Bian. Dengan cara demikian dulu mereka mengepung diriku, dan sekarang mereka mempergunakan cara yang sama; sehingga membuat kita tidak berdaya apa2 untuk menghadapi mereka…. atau memang kita perlu membuka jalan darah dengan kekerasan?”
„Jangan….!” mencegah Ong Tiong Yang, tidak ada gunanya kita mempertarukan diri dengan cara sepcrti itu, bukankah sesunguhnya diantara kita tidak terdapat urusan yang terlalu penting…. bukankah kita hanya mengukur kepandaian untuk mentukan, apakah kita berhak bertemu dengan Ong Mie Tu Locianpwe atau tidak !. Jika memang akhirnya tokh kita terpaksa rubuh ditangan mereka, hal itu tidak menjadi persoalan!” Dan setelah berkata begitu. tampak Ong Tiong Yang mengebutkan hudtimnya, yang dikebutkannya pada lengan Sie Han yang tengah diulurkan kearah dadanya.
Tidak ampun lagi pergelangan tangan Sie Han kena disampok hudtim itu cukup keras.
Ia mengeluarkan suara seruan kesakitan dan melompat mundur.
Dalam keadaan demikian Ong Tiong Yang telah berseru nyaring. „Hentikan dulu, kami menyerah kalah . . . ! “
It Han mendengar teriakan Ong Tiong Yang, segera menghentikan serangannya dan juga memerintahkan kesembilan saudara seperguruannya jangan mendesak lebih jauh.
Sehingga Ong Tiong Yang dan Ang Bian bisa bernapas lapang, dan Ong Tiong Yang berkata dengan suara yang ditekankan: „Jika memang para Tai su tetap tidak mau mempertemukan kami dengan Ong Mie Tu, hal itu memang menjadi hak dari para Tai su …. tetapi jika tadi kita berkelahi dangan mempergunakan ke-kerasan dan akhirnya membuat kita kedua pihak saling menderita luka yang tidak ringan, bukankah hal itu harus disesalkan, karana urusan yang kita tengah di selesaikan itu bukankah urusan yang terlalu berarti…..?”
—oo0oo—

BAGIAN 57

SAAT itu It Han merangkapkan tangannya, ia menjura memberi hormat.
„Memang tepat apa yang dikatakan totiang karena memang begitulah keadaannya…. !” kata Jie Han. Dan pinceng juga kagum dengan pemikiran Totiang…….!”
„Dan coba Tai su pikirkan sekali lagi, dengan kepala yang dingin, apakah tidak ada baiknya jika Tai su mengijinkan agar Ang Bian Lo cianpwe itu dipertemukan dengan Ong Mie Tu ?”
„Hemmm, sayang sekali hal itu sama sekali tidak bisa dipenuhi oleh kami maka dari itu kamipun harus berusaba untuk menghormati kalian, disamping kalianpun menghormati keputusan kami …..!” sambil berkata begitu, It Han menjura memberi hormat, dan in berusaha memperlihatkan sikap yang menyesal.
Ong Tiong Yang menghela napas.
„Dengan demik!an, tentunya berarti Tai su memang tetap tidak mau mencari jalan keluar. secara baik2……..!” katanya.
„Bukan begitu, Totiang, tetapi justru kami memiliki kesulitan, yang tentunya tidak bisa begitu saja urusan ini diselesaikan sampai disini sebelum kitab pusaka kami dikembalikan oleh Ong Mie Tu…. !” setelah berkata begitu, It Hon membungkukkan tubuhnva lagi memberi hormat disertai kata2 penyesalannya: „Maaf… maaf….”
Ong Tiong Yang cepat2 menyingkir kesamping, tidak bersedia ia menerima hormat yang diberikan oleh It Han.
„Tai su, kata Ong Tiong Yang kali ini dengan sikap yang serius sekali.
Jika memang Tai su mau berpikir secara panjang, tentunya Tai su memaklumi bahwa dalam hal ini sebenarnya Ang Bian Locianpwe bermaksud baik, dan dia juga bermaksud untuk menyelesaikan urusan bagi Mie Tu Locianpwe dengan kalian jika saja memiliki kesempntan seperti itu…. !
Bagaimana jika Tai su tidak mau meluluskan permintaan kami untuk bertemu dengan Ong Mie Tu Lociaapwe itu, dan kami tidak berdaya membujuknya, tentu urusan ini akan ber-larut2 terus tidak ada habisnya.
Sedangkan jika urusan kecil seperti ini sampai menimbulkan urusan darah dan korban, jelas akan membuat kedua belah pihak merasa tidak enak.
It Han berdiam diri, akhirnya dia berkata dengan suara yang sabar: „Sekali lagi Pinceng mohon maaf karena memang sesungguhnya Pinceng tak bisa meluluskan permintaan kalian berdua, sebelum Ong Mie itu mengembalikan buku pusaka kami.
Jika ia telah mengembelikan, tanpa kalian minta atau mendesak, tentu kami akan membebaskannya percayalah, kami pun tidak bermaksud se-kali2 untuk mempersulh diri Ong Mie Tu…..!”
Setelah barkata begitu. It Han kembali menjura dalam2, sikapnya itu memperlihatkan bahwa dia memang sangat menyesal sekali.
„Lalu kalau memang Ong Mie Tu tidak bersedia mengembaiikan buku itu, apa yang akan dilakukan oieh kalian ?” tanyanya kemudian.
„Kami tetap akan mengurungnya dan menahannya, sampai akhirnya ia bersedia untuk mengambil keputusan yang baik untuk mengembalikan buku pusaka kami………!”
Ong Tiong Yang menoleh kepada Ang Bian sambil tanyanya: „Bagaimana menurut pendapat Ang Bian Cianpwe?”
Ang Bian sebetulnya mendongkol sekali melihat sikap kepala batu dari pendeta2 tersebut namun jelas mereka memang tidak berguna mempergunakan kekerasan kepada pendeta2 tersebut, karena merekapun tidak akan berhasil menerobos keluar dari kepungan barisan para pendeta itu. Oleh karena ini Ong Tiong Yang dan Ang Bian hanya saling pandang, karena Ang Bian tidak bisa mengambil keputusan dengan segera.
Sedangkan Ong Tiong Yang telah menoleh kepada nona Ong yang waktu itu tengah berdiri diluar gelanggang, sambil matanya memandang tajam, dan juga dengan tangan mencekal pedangnya kuat2.
Diwaktu seperti itu, terlihat bahwa gadis tersebut sangat kecewa sekali, karena Ang Bian dan Ong. Tiong Yang tidak berhasil menerobos barisan pendeta itu. Dan juga memang ia sangat kecewa karena mengetahui bahwa kepandaian yang dimiliknya masih berada jauh dibawah kepandaian Ong Tiong Yang dan Ang Bian, berarti ia juga tidak bisa berbuat banyak lagi kepada kesepuluh pendeta tersebut.
Waktu itulah Ong Tiong Yang segera teringat sesuatu, segera, ia berkata: „Nah Tai su, bagaimana jika Tai su mengambil sedikit kebijak sanaan dalam urusan ini ….?”
„Maksud Totiang?” tanya It Han. ,
„Bagaimana jika Tai su mengijinkan nona Ong itu menemui ayahnya, untuk membujuknya kepada sang ayah itu, agar bersedia mengembalikan barang yang telah diambilnya dari tangan kalian”.
It Han berdiam sejenak, lalu dengan suara perlahan ia berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Waktu itu Ong Tiong Yang dan Ang Bian telah menantikan dengan sabar.
Sejam kemudian. pibak Cap Lo Sian Han mengambil keputusan. Menolak juga permintaan Ong Tiong Yang.
Melihat sikap kepala batu dari para pendeta itu Ong Tiong Yang jadi semakin penasaran.
„Tai su, kami telah berusaha mengalah dan tidak menimbulkan bentrokan diantara kita, lalu mengapa justru pihak Tai su sama sekali tidak memperlihatkan sikap mau mengerti ?”
Ditanya begitu It Han kembali tersenyum. Ia meminta maaf sambil menjura.
„Walaupun bagaimana kami tidak bisa melanggar keputusan kami, bahwa kami tidak akan mengijinkan siapapun menemui Ong Mie Tu, jika memang kitab itu belum dikembalikan…!”
„Tetapi dengan mempertemukan puterinya itu dengan Ong Mie Tu, bukankah hal yang baik, bisa menggerakkan hatinya untuk berlaku lunak dan merobah pendiriannya, lalu menyerahkan kembali kitab pusaka, kalian?”
Ditanya begitu, oleh pertanyaan yang adil It Han kembali berunding dengan saudara2 seperguruannya.
Disaat itu tampak Ong Tiong Yang mendesak lagi: „Janganlah Tai su mangambil keputusan yang berat sebelah, kita harus berusaha mengambil jalan yang baik, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak enak. Bagaimana jika urusan inipun sampai ditelinga sahabat2 Ong Mie Tu?, tentu akan berdatangan juga sahabat2-nya, yang berarti akan menimbulkan kericuhan dan pertempuran yang tidak berkesudahan dan akan membuat kalian juga memperoleh gangguan yang tidak kecil…. dalam hal ini, membuat Tai su bersepuluh juga jadi tidak tenang.”
Tetapi It Han tersenyum sabar katanya: ,,Untuk urusan itu memang telah kami pikirkan masak2, namun kami tidak akan merobah pendirian kami, selain jika memang kami ini telah menerima kembali kitab pusaka kami itu dari tangan Ong Mie Tu…!”
Melihat sikap keras kepala dari para pendeta tersebut, Ong Tiong Yang jadi naik darah juga. Karena dia telah berusaha untuk dapat membu juk para pepdeta itu, tetapi justru para pendeta itu keras dan tetap dengan pendiriannya. Maka akhirnya Ong Tiong Yang berkata dengan nada yang cukup keras.
„Jika memang Tai su semua tidak mau memberikan muka terang sedikitpun kepada kami, maafkan….maafkan kan kami juga tidak berdaya lagi untuk menerima segala keputusan Tai su.”
„Lalu apa yang dikehendaki Totiang ?”
„Berusaha untuk merebut Ong Mie Tu !”
„Apakah Totiang telah memikirkan keputusan itu ?”
,,Kami sudah tidak..memiliki jalan lain..!” ,,Mengapa begitu ?”
„Karena justru kami telah berusaha mengalah dan berlaku lunak, namun selama itu dari pihak Tai su tidak memperlibatkan sedikit pun’sikap mangalah, maka kami akan mempergunakan seluruh kesanggupan kami, untuk berusaha merebut Ong Mie Tu dengan kekerasan !”
„Baikiah….!” kata pendeta tersebut. .Tentunya dalam hal ini akan membuat Ong Totiang akan menyesal, karena seperti tadi telah dirasakan. oleh Ong Totiang berdua dengan Ang Bian Siecu, kalian tidak akan sanggup menggempur barisan kami….!”
„Jika memang demikiannya urusannya, baiklah. Kami hanya akan coba2 saja !” kata Ong Tiong Yang. Dan setelah itu Ong Tiong Yang menyelipkan gagang hudtimnya diikat pinggangnya, ia mencabut pedangnya yang sejak tadi digamblok dipinggangnya.
„Keluarkanlah senjata Tai su semua, karena maafkan. Pinto harus mempergunakan senjata tajam ini untuk main2.” Dan setelah berkata begitu. Ong Tiong Yang mengebutkan pedangnya ditengah udara, memper-dengarkan suara mengaung. “
„Pedang yang bagus….!”. memuji It Han dan ia menoleh kepada kesembilan saudara seperguruannya, sambil katanya: „Mari kita main-main sebentar dengan senjata kita!” dan semuanya telah mengeluarkan senjata mereka masing dari dalam saku mereka yang semuanya ternyata terdiri dari dua batang bokkie, yaitu alat untuk bersembahyang.
“Karena kami setiap hari hanya bersembahyang dan mengurusi kuil ini, kami tidak memiliki senjata lainnya, kami hanya memiliki bokkie ini untuk dipergunakan sebagai senjata!”
Ong Tiong Yang memandzng heran.
„Apakah . . apakah kalian tidak akan menyesal?! tanyanya. Karena Ong Tiong Yang melihat bahwa bokkie itu tidak pantas dipergunakan untuk menghadapi pedangnya.
Tetapi It Han telah tersenyum, katanya dengan penuh keyakinan. „Walaupun kami setiap hari sembahyang, tetapi bokkie ini memang yang selalu menemani kami dan belum pernah kami gagal!”
Ong Tiong Yang melirik kegada Ang Bian, dilihatnya Ang Bian,tengah mengeluarkan senjatanya, yang terdiri dari sebatang kipas yang terbuat dari besi, yang bisa diiipat dan ditutup.
Jika dibuka lipatannya, akan terlihat bersusun pisau2 tajam dari tulang kipas itu, dan jika di tutup, akan merupakan alat menotok yang baik sekali.
Aku telah siap, Ong Totiang……!” katanya kemudian, sambil me-ngibas2-kan kipasnya yang agak luar biasa.
Begitulah, antara kesepuluh pendeta Cap Lo Sian Han dengan Ong Tiong Yang dan Ang Bian saling berhadapan, mereka telah saling tatap dengan keadaan bersiap sedia, dimana mereka akan segera turun tangan.
Non’ Ong yang melihat ini telah mengawasi dengan hati yang agak berdebar, karena ia menyadari bahwa pertempuran yang keras dan berbahaya akan segera terjadi.
Ong Tiong Yang sekali lagi mengebut ke-udara dengan pedangnya. „Kansi terpaksa harus mempergunakan senjata tajam untuk main2…. kami terpaksa sekali….!”
Dan dengan habisnya perkataannya itu tahu-tahu Ong Tiong Yang menggerakkan pedangnya melancarkan tikaman.
Gerakan tiba2 seperti itu meluncur menyambar kearah dada Liok Han.
Tetapi pendeta yang seorang ini, yang berdiri disebelah kanan dari Ong Tiong Yang menangkis dengan mempergunakan Bokkienya. Gerakan yang dilakukannya cukup cepat, karena pedang Ong Tiong Yang berhasil ditangkisnya menimbulkan suara benturan yang keras, terayata bokkie ditangan pendeta itu terbuat dari besi murni dicampur bahan2 lainnya. sehingga menjadi senjata yang kuat dan tidak mudah terputuskan atau terpatahkan oleh tabasan senjata mustika.
Keadaan demikian telah memaksa Ong Tiong Yang harus menggeser kedudukan kakinya lalu menggerakkan pedangnya menikam lagi kepada Jie Han. Gerakan itu memang benar-benar merupakan tikaman yang cepat dan juga berbahaya karena pedang Ong Tiong Yang menyambar dengan digetarkan, akan menikam paha lawannya. Jie Han sampai mengeluarkan suara dengan seruan kaget, karena untuk menangkis dengan Bokkie ditangannya ia sudah bisa melakukannya, akibat mata pedang yang telah menyambar dekat sekali dengan pahanya. Namun sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Jie Han tidak mau begitu saja membiarkan pahanya menjadi umpan pedang.

GAMBAR
…… tahu-tahu Ong Tiong Yang
menggerakkan pedangnya melancarkan tikaman

Cepat dan gesit sekali ia melompat mundur dengan tergesa, hampir terguling.
Untung Sam Han menotok bokkienya kearah punggung Ong Tiong Yang, mcmbuat Ong Tiong Yang tidak bisa meneruskan tikamannya itu.
Perbuatannya itu memaksa Ong Tiong Yang memiringkan tubuhnya dan mengebutkan Pedangnya kebelakang, guna menangkis totokan bokkie lawannya.
Bagitulah, silih bergaati merekasaling menyerang.
—oo0oo—

BAGIAN 58

ANG BIAN sendiri tidak tinggat diam, karena dengan mempergunakan kipasnya yang memiliki bentuk begitu aneh, ia melancarkan totokan dan kibasan yang cepat dan mengerikan kearah laher lawannya. Jika sampai kibasan kipas aneh tersebut mengenai sasarannya, niscaya akan membuat korbannya berlumuran darah pada lebernya.
It Han beberapa kali mengeluarkan perintah nya yang beruntun, memerintahkan saudara2 seperguruannya mengatur diri. Jurus demi jurus telah dilewatkan dengan cepat, dan juga waktu itu memang terlibat jelas Ong Tiong Yang memiliki kiamhoat (ilmu pedang) yang meyakinkan, karena ia memang bisa menggunakan pedangnya untuk menyerang dan menangkis terjangan lawannya dengan baik, walaupun didesak dengan gencar.
Sedangkan Ang Bian bertempur dengan mempergunakan cara yang lain dengan Ong Tiong Yang, karena beberapa kali ia berusaha untuk dapat menindih lawannya dengan gerakan yang benar2 agak ganas, dan ilmu kipasnya itu merupakan ilmu yang agak telengas.
Namun It Han dan kesembilan saudara seperguruannya memang memiliki kepandaian yang tinggi, disamping itu mereka juga memiliki kerja sama yang baik dan ketat sekali, sehingga mereka bisa saling tolong satu dengan yang lainnya.
Semakin bertanding, Ang Bian jadi semakin sengit, jurus2 yang dipergunakannya juga merupakaa jurus2 yang mematikan lawannya.
„Tetapi justru Ong Tiong Yang yang mu1ai terdesak, karena It Han, Jie Han, Cit Han dan Kiu Han telah melancarkan desakan yang ber-tubi2 dan rapat sekali kepadanya, mereka rupanya lebih memberatkan diri tojin ini, karena mereka tabu, jika Ong Tiong Yang berhasil mereka rubuhkan, tentu Ang Bian mudah saja dihadapi, karena walaupun kepandaian Ang Bian, lebih tinggi dari Ong Tiong, tokh kepandaiannya itu tidak lebih aneh dari ilmu pedang Ong Tiong Yang, disamping memang Ang Bian juga kurang cerdas seperti Ong Tiong Yang.
Keenam pendeta dari Cap Han tersebut mengepung Ang Bian. Gerakan2 bokkie mereka merupakan gerakan2 mengancam dan memiliki banyak perobahan. Hal ini membuat Ang Bian tidak bisa berlaku lengah.
Nona Ong berulang kali menghela napas, karena ia benar2 menyesal melihat kedua orang penolongnya itu tidak bisa menberantas kesepuluh hweshio itu, atau se-tidak2nya merubuhkan kesepuluh pendeta tersebut.
Disampidg perasaan menyesal dan kecewa, nona Ong juga diliputi kekuatiran, karena ia kuatir kalau2 Ong Tiong Yang dan Ang Bian akan terluka kan ditangan lawan2nya itu.
Pertempnran berlangsung terus, sampai akhirnya It Han berseru dengan suara nyaring. ,,Berhenti, mundur semuanya!”
Jie Han, Sam Han dan lain2nya telah mundur cepat sekali, gerakan mereka gesit, membuka lingkaran jadi, melebar.
It Han telah berkata kepada Ong Tiong Yang. „Baiklah, dengan memandang kepandaian kalian yang tinggi, kami bersedia untuk mengalah dengan merobah sedikit keputusan kami! Nona Ong itu bersedia kami berikan kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya, tetapi dengan syarat bahwa ia harus berusaha sedapat mungkin membujuk ayahnya, agar dapat membuat ayahnya itu mengerti dan mengembalikan pusaka kami yang telah diambilnya.”
Girang sekali Ong Tiong Yang, cepat2 dimasukkan pedangnya kedalam sarungnya, ia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat.
„Terima kasih….terima kasih atas pengertian Tai su ….!” dan setelah berkata begitu. Ong Tiong Yang menoleh kepada nona Ong sambil katanya: „Nona Ong, kau telah mendengar sendiri, kau diijinkan bertemu dengan ayahmu, tetapi engkau harus mempergunakan kesempatan ini sebaik mungkin dengan membujuk ayahmu mengembalikan, barang milik para Tai su tersebut, jika memang benar2 ayahmu itu telah mengambilnya….!”
Sigadis yang tengah girang juga mengangguk cepat sambil katanya : „Baik, baik….Siauw moay tentu akan memperhatikan pesan Totiang “
It Han menoleh kepada Sam Han dan Liok Han, katanya dengan suaranya yang sabar : „Antarkan nona Ong pergi menemui ayahnya, jika memang Ong Mie Tu bersedia mengembalikan barang kita, bebaskan dia……tetapi jika memang Ong Mie Tu tetap berkeras tidak mau mengembalikan putaka kita itu, nona Ong harus segera dibawa keluar pula…..!”
Sam Han dan Liok Han mengiyakan, mereka segera mengantarkan sigadis she Ong itu wasuk kedalam kuil. Sedangkan Ong Tiong Yang dan Ang Bian menantikan dengan hati agak berdebar. Karena disinilah penentuan dibebaskan atau tidaknya Ong Mie Tu.
Waktu itu, tampak it Han berusaha ber-calap2 dengan Ong Tiong Yang, beberapa kali ia bertanya ini dan itu mengenai perkembangan didunia persilatain. Sedangkan Ang Bian lebih banyak berdiam diri, karena memang It Han dan Cap Lo Sian Han lainnya tampak nya segan mengajak Ang Bian untuk bercakap-cakap, karena rupanya mereka, memang lebih menghormati 0ng Tiong Yang, yang dianggapnya bijaksana dan memiliki pemikiran yang jauh.
Disaat itu, dari dalam tampak keluar sigadis she Ong dibawa oleh Sam Han dan Liok Han. Wajahnya berseri-seri dan dia berkata kepada Ang Bian :„Ang Bian Lopeh ayah telah dibebaskan…..!”
Ang Bian dan Ong Tiong Yang. menyambut hal itu dengan gembira. karena mereka melihat perkembangan yang baik untuk urusan ini.
Sam Han dan Liok Han telah menghampiri It Han dan memberikan laporannya.
„Sesungguhnya memang Ong Mie Tu mengatakan ia benar2 mengambil pusaka kita, dan ia pua dengan memandang muka puterinya, bersedia mengembalikan barang itu kepada kita, hanya sayangnya barang itu tidak berada ditubuh-nya. maka ia meminta kesempatan untuk membebaskan guna mengambil barang itu !”
It Han tersenyum, dia bilang: „8agus ! Dengan maksud baiknya ingin mengembalikan barang kita yang telah diambilnya itu, berarti Ong Mie Tu akan memperoleh kebebasannya, tetapi sayang sekali, permintaannya itu tidak bisa kami penuhi, ia hanya boleh menyebutkan dimana pusaka kami itu disimpannya, dan biar kami yang mengambilnya, setelah terbukti kebenaran perkataannya, kami tidak akan ingkar janji dan akan mengembalikan kebebasan dirinya …..! “
Ong Tiong Yang dan Ang Bian menganggap perkataan itu memang ada benarnya juga dan pantas. Maka mereka mengangguk.
,,Hanya sulit-nya,” kata Sam Han. Justru ia tidak mau menyebutkan tempat dimana ia menyimpan barang itu, karena ia beranggapan hanya dia yang patut pergi mengambil barang itu, sebab Ong Mie Tu tidak bisa mempercayai kita, dimana ia tidak bisa mempercayai sepenuhnya janji kita, ia kuatir begitu telah memberi tahukan tempat menyimpan barang- tersebut, kita tidak membebaskannya . . .!”
It Han tersenyum.
,,Jika memang demikian adanya, sebagai jaminan tentunya kita harus memperlunak kembali keputusan kita, deegan memberikan ijin ke pada Ang Bian Siecu, agar memberikan pengertian kepadanya!”
Ang Bian girang dengar keputusan It Han, ia mengangguk katanya: „Tepat, jika memang begitu…. mari kita berangkat…..!”
Disaat itu, Ong Tiong Yang merangkapkan tangannya memberi hormat, sambil katanya: „Terima kasih atas kesediaan Tai su yang telah mengambil keputusan yang bijaksana seperti itu.”
It Han cepat2 membalas hormat Ong Tiong Yang, dia berkata kepada Sam Han, Liok Han dan Cit-Han, agar mengantarkan Ang Bian kedalam kuil, dengan syarat setelah memberikan jaminan kepada Ong Mie Tu dan Ong Mie Tu telah menyebutkan tempat dia menyembunyikan barang yang dicurinya, Ang Bian harus keluar pula.
Begitulah, Ang Bian telah diantar oleh ke tiga orang Cap Lo Sian Han. Mereka memasuki kuil itu tidak lama dan telah kembali lagi.
Sam Han welapor lagi kepada It Han : „Menurut pengakuannya, kitab pusaka kita itu disimpannya didinding sebelah kiri pekarangan kuil kita…. karena waktu itu ia mencurinya belum sempat dibawanya dan telah kitab tersebut disembunyikannya disudut dinding pekarangan kuil…..!”
It Han mengangguk girang, ia perintahkan Liok Han dan Sie Han untuk mengambil barang itu, tidak lama Sie Han dan Liok Han kembali dengan membawa sejilid kitab.
It Han tampak girang, ia memperhatikan Kitab itu dan mengenalnya bahwa benda tersebut memang merupakan kitab pusaka milik per guruannya.
„Terima kasih…. terima kasih….. akhirnya kami bisa memperoleh kembali kitab pusaka kanmi…. !” kata It Han. „Nah Sam Han dan Liok Han, pergi kau bebaskan Ong Mie Tu Sie cu…..!”
Kedua orang saudara seperguruan It Han mengiyakan dan mereka masuk kedalam kuil. Tidak lama kemudian muncul kembali bersama seorang lelaki tua berpakaian thungsia panjang, yang memelihara jenggot dan kumis yang panjang. Pada wajahnya tidak terlihat keluar biasaannya. Tetapi ia melangkah dengan ringan, menunjukkan bahwa ginkangnya memang tinggi sekali. Ketika tiba diluar, per-tama2 ia berkata sambil tertawa lebar kepada It Han.
„It Han Tai su, sesungguhnya aku hanya bergurau, dan aku puas, selama aku ditahan oleh kalian, ternyata diperlakukan baik sekali. Terima kasih atas pelayanan semua itu….!”
It Han juga membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
„Dengan kesediaan Sie cu mengembalikan kitab pusaka kami maka tidak ada ganjalan pula diantara kita.. bukan?” tanya-nya.
Ong Mie Tu mengangguk.
„Benar … namun dalam hal ini aku hendak, menegaskan, dilain waktu, jika memang benda itu kalian anggap sangat berharga, tempat penyimpanannya harus dirahasiakan benar, dan jangan terlalu sembarangan!”
Terima kasih,” kata It Han ….. saran Sie cu akan kami, perhatikan,”
Setelah bicara dengan lt Han, Ong Mie To menoleh kepada Ang Bian, katanya:„Terima kasih atas maksud baikmu yang telah menolong aku dari kurungan para pendeta itu…. Saudara Ang Bian, apakah engkau sempat bertanding mengadu kepandaian dengan mereka?”
Ang Bian mengiyakan, kemudiain katanya: „Jika memang demikian halnya engkau ternyata sehat dan tidak kurang suatu apapun selama ditahan oleh para Tai su itnu …..!”
„Ya, mari kita pergi, aku memang telah bosan dikurung begitu terus mcnerus…..!”
Begitulah mereka telah pamitan pada It Han dan pendeta lainnya.
Sedangkan It Han dan pendeta2 lainnya mengantarkan mereka sejauh dua lie, dan baru kembali kekuil mereka.
Sepanjang perjalanan, banyak yang dicerita kan oleh Ong Mie Tu selama ia ditahan oleh para pendeta itu. la mengatakan, memang semula ia menganggap urusan itu adalah urusan penasaran, karena dirinya dirubuhkan dengan cara dikeroyok. Tetapi setelah bertemu muka dengan puterinya, pikirannya segera berobah, karena ia tidak mau mencari urusan lagi dan mengaku dirinya yang bersalah mengambil kitab pusaka milik para pendeta itu. Jika memang ia tidak akan diperlakukan begitu pula oleh para pendeta tersebut.
Setelah satu harian mereka berkumpul, Ong Mie Tu pamitan untuk melakukan perjalanan ber-sama2 dengan puterinya.
Begitulah, mereka telah berpisah, sedang Ong Tiong Yang melanjutkan perjalanan dengan Ang Bian.
—oo0oo—



BAGIAN 59

SELAMA dalam perjalanan mengembara bersama Ang Bian, Ong Tiong Yang banyak menerima petunjuk dari Ang Bian, karena memang Ang Bian jauh lebih berpengalaman dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Ong Tiong Yang.
Karena merasa memiliki sifat yang agak cocok satu dengan yang lainnya, Ang Bian mau memberikan petunjuk-nya kepada Ong Tiong Yang.
Malah setelah mengembara bersama satu bulan lebih, suatu malam Ang Bian telah membuka topeng merahnya memperlihatkan wajahnya kepada Ong Tiong Yang.
Ternyata muka Ang Bian sangat rusak, menurut cerita Ang Bian mukanya bercacad seperti itu karena ia pernah terbakar, dalam suatu kecclakaan pada pertempuran dengan lawannya.
Untuk menutupi cacad pada mukanya, Ang Bian mempergunakan topeng merah itu sebagai topeng.
Ong Tiong Yang juga merasakan, selama ia bersahabat dengan Ang Bian cukup banyak petunjuk berharga yang diterimanya membuat ia semakin mengerti latihan sinkang yang lebih tinggi. Disamping itu, Ang Bian juga memberikan ketera ngan kepada Ong Tiong Yang untuk menutupi kelemahan2 yang dimiliki tojin muda tersebut. Karena keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Ang Bian, kemajuan yang diperoleh Ong Tiong Yang kian pesat.
Ang Bian telah memberitahukan juga bahwa nama yang sebenarnya adalah Cie Tuk Sie dan karena ia selelu mengenakan topeng merah, selalu orang, memanggil dengan sebutan Ang Bian.
Sedangkan Aug Bian sendiri menyatakan sangat kagum pada Ong Tiong Yang, walaupun tojin tersebut masih berusia muda belia, kenya taannya ia begitu bijaksara dan memiliki pemikiran yang luas.
„Kalau saja engkau bisa berlatih diri dengan tekun dan memperoleh petunjuk yang lebih jauh dari orang sakti, tentu engkau kelak akan menjadi soorang jago yang sulit dicari tandingannya….!” puji Ang Bian alias Cie Tiok Sie, dan kulihat sinkang yang engkau miliki itu merupakan sinkang lurus dan bersih., maka semakin liehay saja, sehingga tidak mudah orang akan menandingi dirimu…..!”
„Ong Tiong Yang justru merendahkan diri dan menanyakan dimana saja kelemahan2-nya.
Ang Bian memberitahukan bagian2 yang lemah dan lowongan pada diri Ong Tiong Yang, sampai akhirnya dia bisa menjelaskan juga latihan2 yang bisa mengangkat tenaga Tan Tiau tenaga murni dari jantung untuk disalurkan membuka nadi.
Memperoleh petunjuk seperti itu, Ong Tiong Yang girang sekaii. Dan memang akhir2 ini ke majuan yang di capai Ong Tiong Yang tidak sedikit.
Hampir setengah tahun mereka mengembara ber-sama2 dan selama itu Ong Tiong Yang juga senang sekali melakukan perjalanan bersama dengan Ang Bian Cie Tiok Sie. Tetapi suatu sore Cie Tiok Sie telah berkata bahwa ia tahun ini berusia tujuh puluh tahun dan bermaksud hendak mengundurkan diri dengan hidup mengasingkan diri disebuah tempat yang tenang dan sunyi. Maka ia ingin berpisah dengan Ong Tiong Yang.
Walaupun perpisahan itu terasa cukup berat, namun Ong Tiong Yang akhirnaya harus berpisah dengan Ang Bian. Mereka masirg2 telah megaanbil jalan sendiri2. Ong Tiong Yang menuju keselatan. sedangkan Ang Bian mengambil aral, utara….
Sejak seat itu Ong Tiong Yang me’akui an pcrjalauan uutuk me4gair.a.kan kepandalannva.
Sambil m^lakukln psrjalanan, sztiap Yda. keR aampatan, Ong Tiong Yang selalu melati6 diri dsigan giat, sohingga la memperaleh kemajuda’ yaoiz pesat sekali. Dan di-saat2 seperti itu, Ong Tiong. Yang telah bisa “meecapai k.emajuao dua ctngkai pads tenaga s:okangnyat .
Waktu itu, sesuogguhnya didaera6 Selatan t»erupakatt’daeca4 yang ssngat luas dan meoii I ki pemandaoaan yang :angst indah. Dan juga meruparan tempat yang medarik :ekali. Namun j istru Oag Tiong Yang melakukan perjalanao ddngad aepat. Ia bermaksud pergi ke Bie San, untuk maoemui scorang sababat guru2nya.
Setelah nielakutan perjalan hampir dua pu lab ‘harl, akhirnya dn~- Tiong Yaog tioa digunuflg tersebut, ia sampai dikati guoung sebe• lah barat. Sage-ra juga Ong Tiong Yang men. daki gunung tec:ebut.
Namun setelab man-carU ke:aoa: temari; ia, tidak berhawl menemui tempat kediamao se•’ orang -sahabat daci gurn2Dya.i. Dan juga Ong Tiong Yang mernang tidak mengetahift jelas tom pat unggalnya daci,:ahabat gurnlnya icu.
Akhirnya Ong Tiong Yang kemoali tutun gunung dan meninggalkan Bie San. la menuju icearalt Selatan terus.
Setetah melakukan perjalanan hampir sepuluh hari, akhirnya ia tiba disebuah kampung yang cukup besar, padat sekali penduduknya, sehingga kampung itu seperti juga sebuah kota kecil. Sedangkan ditempat tersebut juga banyak sekali kedai teh dan tempat menginap.
Ong Tiong Yang mencari sebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar, dan mengambil sebuah kamar yang terletak diatas loteng, tingkat kedua.
Memang Ong Tiong Yang juga tidak memiliki tujuan yang tetap, ia mengembara hanya untuk melakukan perjalanan kemana saja dia dibawa oleh kedua kakinya, karena memang yang terpenting buat OngTiong Yang ia bisa melakukan perbuatan mulia guna menolongi orang2 yang tengah dalam kesulitan.
Disaat itu, dikala Ong Tiong Yang tengdh berdiam didalam kamarnya, seorang pelayan telah masuk kedalam kamarnya mempersiapkan air untuk mencuci muka dan air teh untuk tojin ini, tetapi setelah meletakkan semua itu, pelayan tersebut tidak segera berlalu. Ong Tiong Yang memandang heran, dilihatnya pelayan, itu berdiri tegak dengan kedua tangannya diturunukan.
Apa yang kau inginkan lagi ?” tanya Ong Tiong Yang kemudian.
„Tidak ada., Totiang….. hanya Siauwjin ingin menyampaikan sepucuk surat kepada Totiang!”
„Surat?” tanya Ong Tiong Yang heran. Surat apa?”
„Entahlah, Siauwjin hanya menerima titipan dari seorang gadis……!” saahut pelayan itu:
„Mana surat itu?” tanya Ong Tiong Yang.
Pelayan itu menghampiri Ong Tiong Yang dan memberikan surat yang dimintanya itu.
Sedangkankan Ong Tiong Yang begitu menerima surat tersebut segera membacanya.
„Ong Tiong Yang Totiang, sesungguhnya Siauwmoay ingin menyampaikan sesuatu kepada Totiang, jika memang Totiang tidak keberatan, bisakah menemui Siauwmoay tiga belas lie dari pintu kampung sebelah timur, dipinggir sebuah telaga pada jam dua malam ini…..?! Dan surat itu ditanda tangani, dengan nama Ong Kiet Mie.
Ong Tiong Yang jadi mengerutkan alisnya ia tidak kenal nama itu.
Namun akhirnya ia menduga apakah Ong Kiet Mie ini bukannya nona Ong yang menjadi puterinya Ong Mei Tu?
Karena berpikir begitu, Ong Tiong Yang melihat surat tersebut kemudian menghadiahkian sipelayan satu tail.
la pun menanyakan perihat diri gadis .-yang. – mengirimkan surat itu. dimana setelah memperoleh keterangan sipelayan, Ong Tiong. Yang yakin bahwa gadis itu memang Ong
Kiet Mei, puterinya Ong Mei Tu.
Diam2 Ong Tiong Yang jadi heran, ia tidak mengerti mengapa sigadis membuntuti dirinya. Bukankah gadis itu telah pergi bersama ayahnya?
Sampai pelayan itu telah keluar dari kamarnya, Ong Tiong Yang masih berpikir keras mengenai keadaan gadis itu. la benar2 tidak mengerti karena jika dilihat gadis itu bisa mengetahui dia berada dikampung ini, tentunya gadis tersebut telah membuntutinya. Hanya herannya apakah maksud gadis tersebut memintanya untuk menemuinya malam ini ditepi telaga yang terdapat diluar kampung tersebut? Dan mengapa gadis tersebut bukan langsung menemuinya saja dan mempergunakan perantara sepucuk surat.
Semua itu merupakan tanda tanya buat, Ong Tiong Yang dan iapun tidak mengerti mengapa nona Ong itu melakukan segalanya seperti mengandung rahasia. Bahkan didalam suratnya itu dia tidak menjelaskan keperluan Ong Tiong Yang menemuinya. Sedangkan Ong Tiong Yang hanya menduga sigadis she Ong itu tentunya tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil, sehinga ia membutuhkan pertolongan dari dirinya.
Sore itu Ong Tiong Yang tidur sejenak, untuk memulihkan kesegaran tubuhnya. Dan malamnya ia menantikan sampai menjelang kentongan kedua, ia telah keluar dari kamarnya lewat jendela dan ber-lari2 menuju kelar kampung itu, untuk mencapai tempat yang dijanjikan oleh sigadis.
Sedangkan waktu itu rembulan bersinar penuh, udara juga sejuk sekali. Dengan mempergunakan ginkangnya yang tinggi, Ong Tiong Yang telah tiba ditempat yang dijanjikan oleh sigadis she Og itu, dimana dia telah tiba ditepi sebuah telaga.
Sebelum mencapai tepi telaga itu, dari kejauhan ia melihat sesosok tubuh seorang gadis, yang tengah berdiri membalakanginya.
,,Nana Ong !” panggil Ong Tiong Yang.
Sosok tubuh itu membalikkan tubuhnya dpn melihat Ong Tiong Yang dengan sinar mata yang bersinar terang menunjukkan kegembiraanya. Ia ternyata tidak lain dari sinona she Ong, puterinya Ong Mie Tu.
„Ong Totiang, ternyata engkau datang juga memenuhi undangan Siauwmoay…!” kata sigadis.
Ong Tiong Yang mengerutkan alinya, karena ia melihat sigadis tidak kurang suatu apa pun juga.
„Apakah nona tengah menghadapi ancaman bahaya?”
„Tidak ……. aku hanya ingin bertemu denganmu saja, Ong Totiang ….., hampir satu tahun selalu aku mengikuti dirimu, dan kukira hal itu tidak perlu terlalu lama lagi, aku harus menemui totiang, untuk menjelaskan sesuatu …….”
„Menjelaskan sesuatu apa yang nona maksudkan? tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya …….., hatiku…..!” dan si gadis tidak bisa meneruskan perkataannya lagi, karena wajahnya berobah merah.
„Mengapa hatimu, nona Ong?” tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya aku …… aku tertarik sekali padamu” jawab si gadis kenudian.
Muka Ong Tiong Yang jadi berobah merah karena jengah, ia berkata cepat2 dengas sikap yang gugup: „Ini … ini mana bisa terjadi?”
Sigadis telah berkata dengan sikap yang agak gugup: „Tidak perlu Ong Totiang kaget…… aku meyukai Totiang dan jika memang di ijinkan oeh Totiang agar aku selamanya berada dekat denganmu, hatiku telah puas……..!”
Muka Ong Tiong Yang, jadi berobah semakin merah, Ia berkata „Ini …… ini tidak bisa, nona Ong, bagaimana kata orang nanti ……?”
Si gadis mengawasi Ong Tiong Yang sejenak lamanya, akhirnya ia menunduk dengan wajah yang muram: „Akhhh….., apakah Totiang tidak merasa kasihan jika aku harus mengembara seorang diri ?”
Ditanya begitu, Ong Tiong Yang terdiam sejenak lamanya, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Mengapa nona tidak mengembara bersama ayah nona ?” tanyanya.
„Ayah telah pergi kesuatu tempat untuk hidup tenang, Siauwmoay bermaksud untuk berkelana seorang diri mencari pengalaman …….. jika memang Ong Totiang tidak keberatan, Siauwmoay bermaksud mengembara bersama Totiang…….!”
„Cepat2 Ong Tiong Yang merangkapkan kedua tangannya, ia memberi hormat ……”
„Maafkanlah nona Ong, bukankah Pinto keberatan mengembara bersamamu, tetapi sebagai seorang pendeta, Pinto tidak leluasa untuk berjalan berdua dengan seorang gadis seperti kau: maafkanlah …… maafkanlah…..!” Ong Tiong Yang memperlihatkan perasaan menyesalnya.
Sigadis jadi tambah murung. Dan akhirnya ia berkata: „Baiklah, jika memang Ong Totiang merasa malu untuk berkelana ber-sama2 dengan Siauwmoay juga, maka Siauwmoay juga tidak memaksanya …. dan juga, dalam hal ini, harap Totiang tidak berkeberatan jika Siauwmoay selalu mengikutimu….. !”
Ong Tiong Yang menghela napas dalam2.
„Mengapa nona harus mengambil keputusan seperti itu?” tanyanya.
„Jika memang Totiang merasa keberatan untuk berjalan bersama dengan Siauwmoay, biarlah Siauwmoay cukup hanya mengikuti Totiang kemana saja pergi, kesana aku akan pergi ….!” dan gadis tersebut sudah tidak bisa menahan air matanya yang hampir mengalir keluar, ia cepat2 memutar tubuhnya berlari meninggalkan tempat itu.
Ong Tiong Yang terkejut, ia me-manggil2 : „Nona Ong…, nona Ong…!” tetapi sigadis tidak memperdulikannya dan terus juga berlari dengan cepat, Ong Tiong Yang jadi berdiri tertegun, sampai akhirnya ia menghela napas.
„Sayang sekali nona Ong itu salah …..” menggumam Ong Tiong Yang dengan suara terharu.
Setelah itu Ong Tiong Yang kembali kerumah penginapannya. Dan keesokan paginya ia melanjutkan perjalanannya. Namun setiap kali ia menoleh kebelakang, terpisah puluhan tombak jauhnya, tampak Ong Kiet Mie mengikuti dia.
Beberapa kali Ong Tiong Yang memutar tubuhnya untuk menghampiri sigadis, tetapi acap kali begitu Ong Tiong Yang memutar tubuh, sigadis telah berlari cepat meninggalkannya.
Tetapi selalu gadis itu mengikutinya pula.
Waktu sampai dikota Lun An, gadis itu masih tetap mengikuti Ong Tiong Yang. Hanya, setiap kali Ong Tiong Yang bermalam disebuah rumah penginapan, maka gadis itu mengambil rumah penginapan lainnya. Terus juga ia membayangi Ong Tiong Yang.
Pendeta ini jadi tidak enak dihati, dimana ia merasa kasihan juga pada sigadis. Sesungguh nya Ong Tiong Yang bersedia menganggap si gadis sebagai saudaranya, tidak lebih dari itu. Tetapi justru gadis tersebut memiliki hati yang aneh.
Waktu keesokan harinya Ong Tiong Yang melanjutkan perjalanannya, sigadis she Ong itu juga telah menguntit membuntutinya sambil bernyanyi dengan suara yang mengandung kedukaan.
Samar-samar Ong Tiong Yang mendengar nyanyian sigadis, hatinya jadi tergetar.

Burung seriti terbang melayang diawan,
Hanya seorang diri,
Dan juga dalam keadaan yang menyedihkan
Bulunya lepas satu-satu.
Bagaikan hatinya yang mulai berkeping,
Wahai angin, mengapa kau tak sampaikan,
Betapa hati yang rindu ini?

Tetapi Ong Tiong Yang tidak berhasil untuk memergoki sigadis untuk mengajaknya bercakap2. Karena setiap kali Ong Tiong Yang memutar tubuh, disaat itu pula sigadis telah melarikan diri.
Akhirnya Ong Tiong Yang sudah tidak berusaha untuk memburu gadis itu, ia melakukan perjalanan tanpa memperdulikan sigadis yang selalu mengikutinya.
Selama dua bunan lebih Ong Tiong Yang selalu dibayangi gadis itu.
Suatu hari, Ong Tiong Yang singgah di kedai teh, ia meneguk minumannya per-lahan2 dan duduk diruang dalam. Sigadis juga singgah dikedai teh itu, hanya nona Ong ini duduk diruang depan, sambil mengawasi Ong Tiong Yang dengan sorot mata mengandung kedukaan.
Ong Tiong Yang sesungguhnya bermaksud berdiri dan menghampiri sigadis, namun ia kuatir sinona Ong akan lari pula. Maka ia tetap duduk ditempatnva, mengangguk sambil melontarkan senyumnya.
Gadis itu membuang muka kearah lain.
—oo0oo—
BAGIAN 60 : JILID 19.5

TETAPI, waktu itu, dari luar pintu kedai teh itu melangkah masuk seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar, yang menghampiri kearah meja sigadis. Ketika melihat nona Ong, mata orang itu berkilat tajam.
„Oho, nona yang manis .. nona cantik!” katanya dengan suara yang serak dan dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.
Ong Tiong Yang jadi memandang ragu2 penuh kekuatiran pada keselamatan gadis tersebut, karena orang bertubuh tinggi besar itu menghampiri sigadis sambil mangulurkan tangannya mencolek muka nona Ong.
Perbuatan kurang ajar orang tersebut membuat nona Ong jadi naik darah, ia gerakkan tangannya mengebut dengan keras.
Tubuh lelaki itu memang tinggi besar, tetapi dikebut seperti itu tubuhnya seperti layangan putus dan telah terbanting jatuh dilantai.
Sedangkan nona Ong berkata sengit: „Sekali lagi engkau membawa tingkah tengik, biar aku akan turun tangan keras menghayarmu….!”
Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu yang memiliki potongan wajah kasar dan keras, malah bangkit sambil memperlihatkan sikap yang beringas mengandung ancaman.
„Engkau berani bertingkah didepanku?” dan lelaki bertubuh tinggi besar itu menghampiri meja sigadis, ia mengulurkan tangannya memegang tepi meja, yang akan diterbalikkan.
Tetapi sigadis juga cepat meletakkan kedua tangannya dimeja tersebut, sebingga meja itu tidak bergeming walaupun diangkat kuat2 oleh lelaki bertubuh tinggi besar itu. Dengan penasaran lelaki tinggi besar itu mengeluarkan suara teriakan nyaring sambil memusatkan kekuatannya untuk menterbalikkan meja sigadis.
Tetapi rupanya gadis itu telah mempergunakan tenaga sinkangnya menekan meja itu dengan kedua tangannya, sehingga meja itu tidak bergeming dari tempatnya.
Dalam keadaan demikian, lelaki bertubuh tinggi besar itu memandang ter-heran2 dan tertegun, tetapi ia semakin penasaran, ia mengeluarkan suara teriakan sekali lagi dan berusaha untuk menterbalikkan meja itu. Usahanya kembali gagal.
Karena sengit, ia mengambil goloknya yang tersoren dipinggangnya, dicekalnya gagang golok itu kuat2 dan kemudian dicabutnya.
Lalu dengan sikap mengancam dia berkata bengis : „Apakah engkau ingin merasakan tajam nya golokku ini…..!”
Nona Ong mana merasa takut? Sambil memperdengarkan suara tertawa tawar, nona Ong berkata dingin: „Janganlah engkau main2 dengan senjata tajam seperti itu, bisa membahayakan dirimu sendiri !”
Sambil berkata demikian, tangan kiri nona Ong meluncur dan menyentil golok lelaki bertubuh tinggi besar tersebut, sehingga golok itu terlepas dari cekalan tangan lelaki dan terpental jatuh kelantai dengan keras.
Muka lelaki bertubuh tinggi besar tersebut jadi pucat, dia memandang pada sigadis dan tidak mengerti.
Nona Ong berkata tawar : „Kau pergilah…, atau memang perlu dihajar lagi?
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tampaknya penasaran, tanpa menyahut ia mengambil goloknya, dan tahu2 ia menggerakkan cepat sekali membacok kepada sigadis.
Tetapi nona Ong tidak terkejut atau gugup, ia memang menduga lelaki bertubuh tinggi besar tersebut tentunya akan berusaha melakukan hal itu.
la mengelakkan bacokan tersebut dengan tubuh yang dimiringkan.
Dan waktu mata golok lewat disamping tubuhnya cepat sekali, tangan kanannya nona Ong digerakkan, dengan kedua jari tangannya ia menjepit golok itu sehingga ketika lelaki bertubuh tinggi besar itu menarik pulang goloknya, ia tidak berdaya apa2, golok tersebut telah terjepit terus tanpa bisa bergeming, walaupun lelaki bertubuh tinggi besar itu memusatkan seluruh tenaga yang ada padanya. “
Waktu itu nona Oug berkata tawar: „Jika memang engkau memiliki tenaga yang besar, tariklah golokmu….. !”
Tetapi memang usaha lelaki bertubuh tinggi besar itu gagal sama sekali, karena ia tidak pernah berbasil menarik pulang goloknya yang di jepit keras dan kuat oleh kedua jari tangan sigadis.
„Dan ketika suatu kali lelaki bertubuh tinggi besar itu menarik pula dengan kuat, tiba2 gadis she Ong tersebut melepaskan jepitan jari tangannya, tidak ampun lagi tubuh lelaki tinggi besar itu terguling dilantai dengan menimbulkan suara gedebukan yang keras.
Lelaki bertubuh tinggi besar tersebut berusaha bangun wajahnya pucat.
„Pergilah kau….” kata nona Ong dengan suara tidak acuh dan mengambil cawan tehnya untuk meminumnya. “
Ong Tiong Yang ketika menyaksikan hal itu, hanya tersenyum saja.
Nona Ong setelah meneguk habis air tehnya ia bangkit untuk melangkah keluar, meninggal lelaki bertubuh tinggi besar yang berdiri tertegun diam ditempatnya dengan keadaan bingung karena ia hampir tidak mempercayainya seorang gadis begitu muda dan tampaknya lemah gemulai selain cantik, bisa meruntuhkan dia berulang kali. Padahal dikota ini dia merupakan buaya darat yang paling disegani dan ditakuti oleh penduduk kota.
Keadaan seperti ini membuat Ong Tiong Yang jadi tertawa dan telah menghampiri lelaki tinggi besar tersebut yang ditepuk pundak kanannya: „Jika lain waktu, hati2 kalau ingin berbuat kurang ajar …..!”
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menoleh terkejut, tetapi matanya jadi bersinar tajam mengandung kemarahan waktu melihat yang menepuknya itu adalah seorang tojin muda.
„Tojin bau, apa maksudmu mencampuri urusanku….?” dan sambil berkata begitu, ia mengerahkan tenaganya pada tangan kanannya untuk mengangkat goloknya guna, mengancam Ong Tiong Yang.
Namun lelaki bertubuh tinggi besar itu jadi kaget sendirinya, karena seluruh tenaganya seperti telah lenyap dari tubuhnya, dimana ia merasakan seluruh kekuatan dibadannya bagaikan lenyap.
Cepat-cepat ia mengeluarkan suara bentakkan yang gugup: „Kau… kau … kau mempergunakan ilmu siluman apa sehingga tenagaku lenyap ….?” tanyanya.
Ong Tiong yang mengangkat tangannya dari pundak orang itu, sambil katanya diiringi senyumnya. „Lain kali jangan galak2 seperti itu, jika Pinto mau mencelakaimu, mudah sekali seperti juga membalik telapak tangan…!”
Lalaki bertubuh tioggi besar itu mengetahui dan menyadarinya, bahwa hari ini ia dua kali bertemu dengan orang2 gagah. Per-tama2 ia bertemu dengan sigadis yang tampaknya lemah gemulai tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Kedua kalinya adalah tojin muda usia ini, yang barhasil membuat ia tidak memiliki tenaga sama sekali disaat telapak tangan Tojin tersebut berada dipundaknya. Maka tanpa mengucapkan perkataan dan apalagi, ia telah mementang kakinya ngacir keluar dari kedai teh tersebut, lenyap mabuknya…!
Melihat orang bertubuh tinggi besar tersebut telah pergi, Ong Tiong Yang kembali ketempat duduknya dan meneruskan minumnya.
Sedangkan pelayan yang melihat Ong Tiong Yang berhasil mengusir buaya darat yang ditakutinya, mengetahui bahwa Tojin ini bukan seorang tojin yang sembarangan, maka ia telah melayaninya dengan manis sekali.
Setelah puas minum teh dan juga perasaan lelahnyu berkurang, Ong Tiong Yang melanjutkan perjalannya.
Ketika berada diluar kota, Ong Tiong Yang menoleh kebelakang.
Ia melihat nona Ong masih tetap mengikutinya. Diam2 tojin tersebut jadi mengeluh juga, disamping perasaan kasihan, ia benar2 tidak mengerti maksud dari nona Ong yang selalu mengikutinya.
Kalau saja ia bisa berbicara dengan nona Ong itu, tentu ia akan menasehati si-gadis.
Tetapi sayangnya gadis tersebut selalu melarikan diri setiap kali Ong Tiong Yang ingin menghampiri.
Sambil berjalan terus, Ong Tiong Yang memutar otak mencari jalan bagaimana harus menasehati gadis itu, agar ia itu mau menghentikan perbuatannya yang selalu mengikutinya. Tetapi justru kesempatan untuk berbicara dengan sigadis tidak pernah diperolehnya.
Ong Tiong Yang berulang kali menghela napas, akhirnya ia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya menghadap kearah sigadis. Nona Ong waktu melihat Ong Tiong Yang berhenti, melangkah, iapun berhenti melangkah, mengawasi kepada Ong Tiong Yang dengan wajah yang mengandung kedukaan, dan ber-siap2 jika memang Ong Tiong Yang hendak menghampirinya, sigadis ingin melarikan diri.
„Non Ong…!” teriak Ong Tiong Yang dengan suara nyaring karena ia berteriak seperti itu dengan mengerahkan tenaga sinkangnya. „Mengapa engkau selalu mengambil sikap seperti itu? katakanlah. „mari kita bicara secara baik-baik….!”
Ong Kiet Mei, sigadis yang sesungguhnya telah bersiap2 hendak melarikan diri, jadi batal dan berdiam ditempatnya ketika mendengar teriakan Ong Tiong Yang. Mukanya juga telah berubah, ia berkata dengan suara yang tak begitu jelas keluar dari mulutnya, sambil tubuhnya meaggigil menahan isak tangis.
Ong Tiong Yang melangkah ingin menghampirinya, dengan mempergunakan ginkangnya.
Namun waktu itu justru Ong Kiet Mei telah memutar tubuhnya dan berlari juga.
Dengan demikian kembali Ong Tiong Yang gagal membujuk gadis itu untuk bicara langsung dengannya.
Melihat gadis itu pergi, Ong Tiong Yang menghela napas panjang penuh penyesalan, kemudian, katanya dengan suara perlahan kepada dirinya sendiri : „Dilihat demikian, tampaknya gadis itu sulit sekali diajak bicara….!”
Ong Tiong Yang kemudian melanjutkan perjalanannya lagi.
Namun setelah melakukan perjalanan, justru diwaktu itu ia, menoleh kebelakang dan melihat si gadis she Ong tersebut telah berada ditempat itu lagi !
Keadaan demikian membvat Ong Tiong Yang menghela napas beberapa kali penuh penyesalan. Kalau saja gadis itu memang mau di ajak bicara secara baik2 tentu hal ini akan dapat diselesaikan.
Mengenai parmintaan sigadis yang hendak melakukan perjalanan bersama dengannya, tentu merupakan urusan yang sulit sekali.
Karena sebagai seorang pendeta, dengan tidak leluasa ia akan berjalan dengan seerang gadis secantik itu, ia kuatir kalau nanti menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Dan juga memang ia telah memikirkan, kalau ia meluluskan permintaan gadis she Ong itu, dengan demikian dirinya akan dilibat terus oleh nona Ong itu.
Dalam keadaan demikian Ong Tiong Yang memang berada pada kedudukan yang sulit, karenat sebagai seorang pendeta yang memiliki sifat welas asih, dengan sendirinya tidak tega la Melihat gadis itu untuk, mengikutinya terus menerus seperti ekonya saja, tetapi untuk meluluskan permintaan gadis itu agar dia diajak berkelana bersama, juga merupakan suatu permintaan yang sulit untuk diluluskan.
Dalam keadaan seperti ini memang merupakan suatu kejadian yang membuat Ong Tiong Yang berada dalam kedudukan yang benar2 sulit dan juga jadi resah, karena pertama tidak bisa memenuhi permintaan dari gadis tersebut, kedua ia merasa kasihan dan tidak tega melihat gadis she Ong tersebut selalu membuntutinya, karena walaupun bagaimana gadis itu adalah seorang nona, yang masih berusia muda sekali, dengan caranya seperti itu, tentu sigadis she Ong tersebut telah mem-buang2 masa remajanya yang seharusaya disertai dengan kegembiraan.
Setelah melakukao perjalanan belasan lie lagi, ia menoleh kebelakang dan melihat bahwa sigadis masih mengikutinya.
Ong Tiong Yang akhirnya habis sabar, dia melihat bahwa waktu itu mereka tengah berada disebuah lapangan rumput yang luas sekali.
Segera Ong Tiong Yang memutar tubuhnysa, tahu2 Ia melompat gesit sekali, mengejar sigadis, gerakan yang dilakukannya begitu tiba2 sekali karena tubuhnya melompat cepat sekali, dan dalam sekejap mata telah lima tombak jauhnya.
Ong Kiet Mei jang tidak menduga Ong Tiong Yang akan melakukan tindakkan seperti itu, jadi terkejut.
la bermaksud mematar tubuhnya untuk melarikan diri.
Namun baru saja ia memutar tubuhnya dan berlari belasan tombak, Ong Tiong Yang telah berada disebelahnya.
Mempergunakan gerakan yang sangat cepat, tampak Ong Tiong Yang menggerakkan kedua tangannya, tahu2 Ia telah mencekal tangan sigadis.
Gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali, apalagi memang kepandaian Ong Tiong Yang jauh berada diatas kepandaian gadis ini. Dengan demikian segera terlihat sigadis tidak bergerak dalam cekalan tangan pendeta ini.
„Nona Ong …… dengarlah….. jangan engkau membawa adatmu seperti itu, dengarlah pinto bicara dulu!” kata Ong Tiong Yang.
Ong Kiet Mei berusaha meronta, namun ia tidak bcrhasil melepaskan cekalan dari pendeta tersebut.
„Lepaskan …., lepaskan aku…. teriak Ong Kiet Mei sambil meronta kuat sekali, berbareng dengan itu, ia mengeluarkan tenaganya untuk melepaskan cekalan tangan si pendeta, gerakannya sangat kuat, tetapi Ong Tiong Yang telah mengerahkan tenaganya, dengan demikian gadis tersebut sama sekali tidak bisa meronta dari cekalannya.
Keadaan seperti ini membuat Ong Kiet Mei jadi terisak menangis.
„Lepaskan…. lepaskan aku !” teriaknya diantara isak tangisnya tersebut.
Ong Tiong Yang menghentakkan keras2, katanya kemudian: „Dengarlah nona Ong…. dengarlah…. !” katanya dengan suara yang nyaring. „Aku hendak bicara dulu denganmu….!”
Ong Kiet Mei memandang kepada tojin itu deagan sorot mata yang digenangi air mata, ber kilat2, katanya: „Apa yang hendak kau katakan lagi aku tidak mau ber-cakap2 dengan engkau lagi…. !”
„Mengapa begitu, nona Ong, bukankah kita bersahabat ?” tanya Ong Tiong Yang.
Sigadis meng-geleng2kan kepalanya sambil tetap menangis.
Sedangkan Ong Tiong Yang berusaha membujuk terus : „Dengarlah nona Ong dengarlah, jika memang kita telah ber-cakap2, tentunya urusan ini bisa diselesaikan…. !”
„Hemm….., jika demikian halnya, tentu berarti engkau menerima permintaaaku untuk ikut berkelana bersama kau?” tanya sigadis tiba2 sambil mengawas Ong Tiong Yang, air matanya masih mengucur keluar.
Ong Tiong Yang berusaha tersenyum, sambil katanya: „Jika memang demokian halnya, mari kita bicara secara baik2, tentu nona mau bukan ?”
Sigadis mengangguk perlahan, dan barulah Ong Tiong Yang melepaskan cekalannya.
Sigadis menghapus air matanya, kemudian tersenyum lebar.
„Akhirnya engkau meluluskan juga permintaanku, Totiang.” kata sigadis. Walaupun air matanya, mengucur cukup deras, namun ia bisa tertawa lebar.
Ong Tiong Yang menghela napas, sebetulnya diwaktu itu ia ingin memberi tahukan pada sigadis, bahwa bukan itu maksudnya mengajak sigadis bicara, bukan bermaksud untuk mengajaknya berkelana bersam tetapi justru mulut Ong Tiong Yang seperti terkunci dan tidak bisa ber-kata2.
Sigadis kamudian telah menghapus kering air matanya, ia tertawa sambil kataaya: „Apa kah kita berangkat “sekarang Totiang ?”
Ong Tong Yang mengangguk : „Mari kita berjalan sambil bercakap katanya.”
Sigadispun mengangguk.
Begitulah mereka berjalan berendeng, Ong Tiong Yang bingung juga mencari kata2 pembukaan untuk menjelaskan segala sesuatunya kepada si gadis.
Sedangkan Ong Kiet Mei waktu itu setelah berdiam, diri beberapa saat, berkata dengan suara parau: „Totiang, bukankah kita jika berkelana bersama, urusan ini melanggar aturan?”
Ong Tiong Yang menghela napas.
„Justru persoalan tersebut yang hendak dikatakan olehku …..!” kata Ong Tiong Yang dengan suara perlahan dan bimbang.
„Pinto ingin mengemukan kepada nona, bahwa sesungguhnya bukan Pinto keberatan uncuk berkelana denganmu, nona Ong. . . . namun…..!”
„Kenapa Totiang?” tanya sigadis.
„Karena urusan ini menyangkut nama baik, maka harus nona mengerti dan mau memahami-nya ….. janganlah nona bersikeras mengambil sikap masa bodoh. Kita harus membicarakan persoalan ini perlahan-lahan, dan tentu akan bisa dicari penyelesaiannya ….!”
Tetapi Ong Kiet Mei berkata dengan suara yang tidak sabar: „sesungguhnya, apakah yang benjak dikatakan oleh Totiang?” katanya.
„Justru yang hendak Pinto kemukakan adalah persoalan itu… Pinto ingin memberi tahukan, betapa kedudukan Pinto sebagai seorang pendeta, jelas tidak akan leluasa jika melakukan perjalanan bersama dengan seorang gadis secantik engkau, nona Ong…! Coba engkau pi
kirkan, apakah perkataan Pinto ini salah….?” Sigadis menghela napas,
„Apakah karena Totiang seorang tojin, maka urusan jadi begitu berbelit, sehingga tidak benar jika melakukan perjalanan bersama denganku?” tanya Ong Kiet Mei.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
<<< Kembali Ke Bagian 41-50              |              Bersambung Ke Bagian 61 (Tamat) >>>
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sumber kutipan : pustakaceritasilat
Share To:

Unknown

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment: