Baru-baru ini telah digegerkan lagi tentang kemunculan Satria Piningit, yaitu dengan Beredarnya Uang 50 ribuan ber cap Bapak Prabowo adalah Satria Piningit, benarkah?. Kita yang kurang pengetahuan tentang hal ghaib memang alangkah baiknya diam sehingga tidak ikut-ikut menjadi penyebab salah kaprahnya pemahaman tentang siapa Satria Piningit itu. Sebagai sedikit pengobat penasaran, karena satria piningit itu didasarkan pada ramalan Jayabaya, mari kita sedikit membaca atau mengingat kembali serat dari Raden Ranggawarsita.
Raden Ranggawarsita Nama aslinya adalah Bagus Burham. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu dari Yasadipura II, pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah
keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burham juga memiliki seorang pengasuh setia bernama Ki Tanujoyo.Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah
Berikut kalimat dari serat Sabda Tama :
Rasaning tyas kayungyun, Angayomi lukitaning kalbu, Gambir wana kalawan hening ing ati, Kabekta kudu pitutur, Sumingkiring reh tyas mirong.
Hati serasa kuat berhasrat, merengkuh kata hati nurani, dengan keheningan kalbu, ingin menyampaikan nasehat, melenyapkan kotoran dalam hati.
Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon.
Perhatikanlah, di zaman Kala Bendu, seyogyanya meredam gejolak nafsu, yang berakibat salah kaprah, “buah karya” perbuatan hina.
Ngajapa tyas rahayu, Ngayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih, Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh.
Tumbuhkanlah kesucian hati, Melindungi terhadap sesama, Dengan jalan meredam nafsu angkara, Menyingkirkan perilaku batin yang nista, Agar terbuang jauh dari kehidupanmu.
Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh.
Lain halnya yang aji mumpung, Hilangnya kewaspadaan, godaan selalu datang, Menjadi beban langkah kehidupan, Hati senantiasa gundah dan gelisah, Hidupnya larut dalam kedustaan.
Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh, Lenyap kebudayaannya.
Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
Rong asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti, Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo.
Kedua tangan terlipat (di dada), Tinggalah bersenandung dengan merdu, Dandang gula palaran tentunya, Mengenang jasa para leluhur, Beratnya perjuangan hidup ini, (yang mengabaikan bingung sendiri).
Galak gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos.
Istilahnya, Ki Pujangga sebisanya berkarya yang terbaik, diselami dengan niat yang suci, terus menerus dalam “laku” prihatin.
Wartine para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku sansaya pakewuh, Ewuh aya kang linakon.
Menurut pendapat para ahli, Telaah Warsita tak pernah usai, walau caranya berubah-merubah, Jadinya semakin bingung, Bingung apa yang hendak lakukan.
Sidining Kala Bendu, Saya ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi, Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon.
Hukuman di zaman Kala Bendu, Nafsu angkara murka kian tak terkendali, Budi mulia tak mampu meredamnya lagi, Bila belum saatnya datang ampunan Tuhan, Suasana panas terasa membara.
Ing antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon.
Dalam suatu kurun waktu, Keadaan semakin kacau, Penghidupan manusia kian morat-marit, Ketenteraman telah sirna, Suara rintihan dan gerutu di mana-mana.
Kemang isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi, Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok.
Segala pertanda kehancuran, seolah-olah hati dikuasai ketakutan, Yang beruntung adalah ular berkepala dua, Kepala dan pantatnya dapat mencaplok.
Ndhungkari gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob.
Gunung-gunung digempur, Yang kokoh berdiri diruntuhkan, Namun tiada yang berani mencegah, Takut jika “disembur” (bisa ular), Bisa ular bagaikan air mendidih.
Kalonganing kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih, Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon.
Lengkungan warna-warni pelangi, Yang berwarna kuning, merah, biru, Hanyalah cahaya pantulan air, Menurut ajaran rasul, bukanlah Tuhan yang sebenarnya.
Supaya pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih, Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon.
Agar menjadi eling, Kelak bila sudah menginjak tahun, “windu kuning” akan ada “wewe putih” (istri gendruwo berkulit putih), bersenjatakan tebu hitam, akan menghancurkan wedhon (hantu pocongan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).
Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun, Kawisesa kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor.
Petunjuk telah merasuk dalam batin, Bila telah tiba waktunya, Atas kehendak Tuhan YME, Cahaya anugerah akan turun, Sungguh tak bisa dielakkan.
Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan saenggon-enggon.
Kehendak dan segala asa dalam hati, “Mengguyur badan dengan air basi” (penuh prihatin), Demi keselamatan anak turun semua, Dengan Negara lain penuh kedamaian, (Bangsa) dihormati di manapun.
Tatune kabeh tuntum, Lelarane waluya sadarum, Tyas prihatin ginantun suka mrepeki, Wong ngantuk anemu kethuk, Isine dinar sabokor.
Luka dan derita telah sirna, Penyakitnya hilang datanglah anugrah, Keprihatinan berganti menjadi suka cita, Ibarat orang ngantuk memperoleh kethuk (gong kecil), yang isinya emas sebesar bokor.
Amung padha tinumpuk, Nora ana rusuh colong jupuk, Raja kaya cinancangan aneng nyawi, Tan ono nganggo tinunggu, Parandene tan cinolong.
Rejeki mudah didapat di mana-mana, Tiada lagi kerusuhan, pencurian dan kehilangan, Ibaratnya hewan piaraan diikat di luar, Tanpa dijaga keamanannya, Namun tak ada yang mencurinya.
Diraning durta katut, Anglakoni ing panggawe runtut, Tyase katrem kayoman hayuning budi, Budyarja marjayaneng limut, Amawas pangesthi awon.
Yang semula gemar berbuat angkara, Lalu berubah ikut menjadi baik, Hatinya larut ke dalam suasana keluhuran budi, Kebaikan telah menyirnakan keburukan.
Ninggal pakarti dudu, Pradapaning parentah ginugu, Mring pakaryan saregep tetep nastiti, Ngisor ndhuwur tyase jumbuh, Tan ana wahon winahon.
Orang berbondong meninggalkan perbuatan tercela, Segala perintah baik dipatuhi, Bekerja dengan rajin dan teliti, (Kelas) “bawah” & (kelas) “atas” hatinya bersatu, Tiada lagi sikap saling mencela.
Ngratani sapraja agung, Keh sarjana sujana ing kewuh, Nora kewran mring caraka agal alit, Pulih duk jaman rumuhun, Tyase teteg teguh tanggon
Kebaikan menerangi seluruh negeri, Banyak ilmuwan, Tidak takut pada pembesar maupun orang kecil, Kembali seperti zaman dahulu, Sikapnya tidak ragu, teguh, tidak plin plan.
Hati serasa kuat berhasrat, merengkuh kata hati nurani, dengan keheningan kalbu, ingin menyampaikan nasehat, melenyapkan kotoran dalam hati.
Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon.
Perhatikanlah, di zaman Kala Bendu, seyogyanya meredam gejolak nafsu, yang berakibat salah kaprah, “buah karya” perbuatan hina.
Ngajapa tyas rahayu, Ngayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih, Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh.
Tumbuhkanlah kesucian hati, Melindungi terhadap sesama, Dengan jalan meredam nafsu angkara, Menyingkirkan perilaku batin yang nista, Agar terbuang jauh dari kehidupanmu.
Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh.
Lain halnya yang aji mumpung, Hilangnya kewaspadaan, godaan selalu datang, Menjadi beban langkah kehidupan, Hati senantiasa gundah dan gelisah, Hidupnya larut dalam kedustaan.
Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh, Lenyap kebudayaannya.
Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
Rong asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti, Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo.
Kedua tangan terlipat (di dada), Tinggalah bersenandung dengan merdu, Dandang gula palaran tentunya, Mengenang jasa para leluhur, Beratnya perjuangan hidup ini, (yang mengabaikan bingung sendiri).
Galak gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos.
Istilahnya, Ki Pujangga sebisanya berkarya yang terbaik, diselami dengan niat yang suci, terus menerus dalam “laku” prihatin.
Wartine para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku sansaya pakewuh, Ewuh aya kang linakon.
Menurut pendapat para ahli, Telaah Warsita tak pernah usai, walau caranya berubah-merubah, Jadinya semakin bingung, Bingung apa yang hendak lakukan.
Sidining Kala Bendu, Saya ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi, Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon.
Hukuman di zaman Kala Bendu, Nafsu angkara murka kian tak terkendali, Budi mulia tak mampu meredamnya lagi, Bila belum saatnya datang ampunan Tuhan, Suasana panas terasa membara.
Ing antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon.
Dalam suatu kurun waktu, Keadaan semakin kacau, Penghidupan manusia kian morat-marit, Ketenteraman telah sirna, Suara rintihan dan gerutu di mana-mana.
Kemang isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi, Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok.
Segala pertanda kehancuran, seolah-olah hati dikuasai ketakutan, Yang beruntung adalah ular berkepala dua, Kepala dan pantatnya dapat mencaplok.
Ndhungkari gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob.
Gunung-gunung digempur, Yang kokoh berdiri diruntuhkan, Namun tiada yang berani mencegah, Takut jika “disembur” (bisa ular), Bisa ular bagaikan air mendidih.
Kalonganing kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih, Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon.
Lengkungan warna-warni pelangi, Yang berwarna kuning, merah, biru, Hanyalah cahaya pantulan air, Menurut ajaran rasul, bukanlah Tuhan yang sebenarnya.
Supaya pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih, Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon.
Agar menjadi eling, Kelak bila sudah menginjak tahun, “windu kuning” akan ada “wewe putih” (istri gendruwo berkulit putih), bersenjatakan tebu hitam, akan menghancurkan wedhon (hantu pocongan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).
Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun, Kawisesa kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor.
Petunjuk telah merasuk dalam batin, Bila telah tiba waktunya, Atas kehendak Tuhan YME, Cahaya anugerah akan turun, Sungguh tak bisa dielakkan.
Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan saenggon-enggon.
Kehendak dan segala asa dalam hati, “Mengguyur badan dengan air basi” (penuh prihatin), Demi keselamatan anak turun semua, Dengan Negara lain penuh kedamaian, (Bangsa) dihormati di manapun.
Tatune kabeh tuntum, Lelarane waluya sadarum, Tyas prihatin ginantun suka mrepeki, Wong ngantuk anemu kethuk, Isine dinar sabokor.
Luka dan derita telah sirna, Penyakitnya hilang datanglah anugrah, Keprihatinan berganti menjadi suka cita, Ibarat orang ngantuk memperoleh kethuk (gong kecil), yang isinya emas sebesar bokor.
Amung padha tinumpuk, Nora ana rusuh colong jupuk, Raja kaya cinancangan aneng nyawi, Tan ono nganggo tinunggu, Parandene tan cinolong.
Rejeki mudah didapat di mana-mana, Tiada lagi kerusuhan, pencurian dan kehilangan, Ibaratnya hewan piaraan diikat di luar, Tanpa dijaga keamanannya, Namun tak ada yang mencurinya.
Diraning durta katut, Anglakoni ing panggawe runtut, Tyase katrem kayoman hayuning budi, Budyarja marjayaneng limut, Amawas pangesthi awon.
Yang semula gemar berbuat angkara, Lalu berubah ikut menjadi baik, Hatinya larut ke dalam suasana keluhuran budi, Kebaikan telah menyirnakan keburukan.
Ninggal pakarti dudu, Pradapaning parentah ginugu, Mring pakaryan saregep tetep nastiti, Ngisor ndhuwur tyase jumbuh, Tan ana wahon winahon.
Orang berbondong meninggalkan perbuatan tercela, Segala perintah baik dipatuhi, Bekerja dengan rajin dan teliti, (Kelas) “bawah” & (kelas) “atas” hatinya bersatu, Tiada lagi sikap saling mencela.
Ngratani sapraja agung, Keh sarjana sujana ing kewuh, Nora kewran mring caraka agal alit, Pulih duk jaman rumuhun, Tyase teteg teguh tanggon
Kebaikan menerangi seluruh negeri, Banyak ilmuwan, Tidak takut pada pembesar maupun orang kecil, Kembali seperti zaman dahulu, Sikapnya tidak ragu, teguh, tidak plin plan.
----------------------------------------------------
Dan berikut ini adalah Serat Jayabaya :
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran.
Kelak, Saat kendaraan tanpa kuda,
Tanah Jawa kalungan wesi.
Tanah Jawa dilingkari besi (rel kereta api)
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang.
Perahu (kapal) jalan di atas udara
Kali ilang kedhunge.
Sungai kehilangan Kedung (biasanya pada sungai ada bagian di bawah air terjun yang dalam, sekarang memang sudah jarang ditemui)
Pasar ilang kumandhang.
Pasar kehilangan keramaiannya ( sekarang pun pasar tradisional sudah mulai ditinggalkan dan banyak dari ibu-ibu lebih suka belanja di swalayan, mall dan lain sebagainya).
Wong wadon ilang wirange
Wanita hilang rasa malunya, baik dari segi berpakaian, mungkin bisa diambil contoh, kartini zaman sekarang tentu bisa kita lihat berbeda dengan cara berpakaian kartini zaman dulu. dan banyak istri yang sudah merendahkan suaminya. dan lain sebagainya.
Iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak.
Itulah tanda datangnya zaman Jayabaya sudah dekat
Bumi saya suwe saya mengkeret.
Bumi semakin sempit (dengan teknologi internet sekarang ini, dunia bagai didepan mata)
Sekilan bumi dipajeki.
Bumi hanya berjarak satu jengkal
Jaran doyan mangan sambel.
Kuda doyan makan sambel ( entah maksud tersiratnya apa, tapi jika melihat kuda (hewan pemakan rumput) tidak makan rumput lagi tapi sambel yang merupakan makanan manusia, mungkin maksudnya adalah manusia sudah tidak lagi manusiawi, menuruti nafsu
Wong wadon nganggo pakeyan lanang.
Wanita memakai pakaian laki-laki, yang dimaksud di sini bukan pakaian dari kain, tapi lebih pada perilaku atau suara yang dikeluarkan saat mengemukakan saran, memang dalam ajaran Islam, ketika ada wanita (istri) mengeluarkan suara lebih tinggi (keras) terhadap suaminya, maka matahari dan seluruh makhluk mengutuknya selama belum meminta maaf pada suaminya dan suaminya ridho.
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman.
Itu tanda kalau manusia akan menemui terbaliknya zaman
Akeh janji ora ditetepi.
Banyak janji tidak ditepati
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe.
Banyak manusia berani melanggar sumpahnya sendiri
Manungsa padha seneng nyalah.
Manusia menyukai dan bangga berbuat salah
Ora ngendahake hukum Allah.
Tidak mengindahkan hukum Allah
Barang jahat diangkat-angkat.
Perbuatan jahat/dholim disanjung, dibela, melihat subjektif dan melihat kebenaran dari tindakannya.
Barang suci dibenci.
Perbuatan yang baik dibenci, diintimidasi, dicaci maki.
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit.
Banyak manusia lebih mengutamakan uang, segala ucapannya didasarkan pada uang, menganggap jika tidak punya uang tidak bisa makan, berbeda dengan zaman dulu, tanpa uangpun bisa makan kenyang hanya dengan pergi ke sungai atau kebun, dengan bawa korek, bisa kenyang.
Lali kamanungsan.
Lupa akan sejatinya manusia, hakikat dari manusia diciptakan itu untuk apa, bukankah dalam al-qur- an dijelaskan manusia itu untuk beribadah, beribadah bukan hanya sholat, ibadah itu luas, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama makhluk (manusia dan alam sekitar)
Lali kabecikan.
Lupakan Kebenaran, menilai kebenaran dengan subjektif, jika ada orang telah berbuat baik kepadanya, lalu orang itu berbuat dholim pada orang lain, maka tetap dinilai baik, tanpa melihat sisi perbuatannya.
Lali sanak lali kandang.
Lupa saudara dan lupa asal usulnya dari mana, bukankah manusia hidup di dunia itu hanya sementara, dan kelak akan kembali ke haribaan Sang Pencipta
Akeh bapa lali anak.
Banyak orang tua yang lupa mendidik anaknya, membekalinya dengan ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik.
Akeh anak wani nglawan ibu.
Dari akibat bapa lali anak maka banyak anak yang berani melawan ibunya, dan bisa diperluas lagi, banyak anak negeri yang seenaknya membuat menangis ibu pertiwi.
Nantang bapa.
Berani sama ayah,
Sedulur padha cidra.
Sesama saudara saling bermusuhan, baik dilingkungan keluarga, masyarakat, agama, dan negara.Karena dangkat pemikirannya yang menganggap bahwa mereka yang tidak sependapat adalah musuhnya.
Kulawarga padha curiga.
Satu keluarga saling mencurigai, hilang kepercayaan antara sesama saudara.
Kanca dadi mungsuh.
Akeh manungsa lali asale.
Ukuman Ratu ora adil.
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil.
Akeh kelakuan sing ganjil.
Wong apik-apik padha kapencil.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin.
Luwih utama ngapusi.
Wegah nyambut gawe.
Kepingin urip mewah.
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka.
Wong bener thenger-thenger.
Wong salah bungah.
Wong apik ditampik-tampik.
Wong jahat munggah pangkat.
Wong agung kasinggung.
Wong ala kapuja.
Wong wadon ilang kawirangane.
Wong lanang ilang kaprawirane.
Akeh wong lanang ora duwe bojo.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone.
Akeh ibu padha ngedol anake.
Akeh wong wadon ngedol awake.
Akeh wong ijol bebojo.
Wong wadon nunggang jaran.
Wong lanang linggih plangki.
Randha seuang loro.
Prawan seaga lima.
Dhudha pincang laku sembilan uang.
Akeh wong ngedol ngelmu.
Akeh wong ngaku-aku.
Njabane putih njerone dhadhu.
Ngakune suci, nanging sucine palsu.
Akeh bujuk akeh lojo.
Akeh udan salah mangsa.
Akeh prawan tuwa.
Akeh randha nglairake anak.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne.
Agama akeh sing nantang.
Prikamanungsan saya ilang.
Omah suci dibenci.
Omah ala saya dipuja.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi.
Akeh laknat.
Akeh pengkianat.
Anak mangan bapak.
Sedulur mangan sedulur.
Kanca dadi mungsuh.
Guru disatru.
Tangga padha curiga.
Kana-kene saya angkara murka.
Sing weruh kebubuhan.
Sing ora weruh ketutuh.
Besuk yen ana peperangan.
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor.
Akeh wong becik saya sengsara.
Wong jahat saya seneng.
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul.
Wong salah dianggep bener.
Pengkhianat nikmat.
Durjana saya sempurna.
Wong jahat munggah pangkat.
Wong lugu kebelenggu.
Wong mulya dikunjara.
Sing curang garang.
Sing jujur kojur.
Pedagang akeh sing keplarang.
Wong main akeh sing ndadi.
Akeh barang haram.
Akeh anak haram.
Wong wadon nglamar wong lanang.
Wong lanang ngasorake drajate dhewe.
Akeh barang-barang mlebu luang.
Akeh wong kaliren lan wuda.
Wong tuku ngglenik sing dodol.
Sing dodol akal okol.
Wong golek pangan kaya gabah diinteri.
Sing kebat kliwat.
Sing telah sambat.
Sing gedhe kesasar.
Sing cilik kepleset.
Sing anggak ketunggak.
Sing wedi mati.
Sing nekat mbrekat.
Sing jerih ketindhih.
Sing ngawur makmur.
Sing ngati-ati ngrintih.
Sing ngedan keduman.
Sing waras nggagas.
Wong tani ditaleni.
Wong dora ura-ura.
Ratu ora netepi janji, musna panguwasane.
Bupati dadi rakyat.
Wong cilik dadi priyayi.
Sing mendele dadi gedhe.
Sing jujur kojur.
Akeh omah ing ndhuwur jaran.
Wong mangan wong.
Anak lali bapak.
Wong tuwa lali tuwane.
Pedagang adol barang saya laris.
Bandhane saya ludhes.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan.
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara.
Sing edan bisa dandan.
Sing bengkong bisa nggalang gedhong.
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil.
Ana peperangan ing njero.
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham.
Durjana saya ngambra-ambra.
Penjahat saya tambah.
Wong apik saya sengsara.
Akeh wong mati jalaran saka peperangan.
Kebingungan lan kobongan.
Wong bener saya thenger-thenger.
Wong salah saya bungah-bungah.
Akeh bandha musna ora karuan lungane. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram.
Bejane sing lali, bejane sing eling.
Nanging sauntung-untunge sing lali.
Isih untung sing waspada.
Angkara murka saya ndadi.
Kana-kene saya bingung.
Pedagang akeh alangane.
Akeh buruh nantang juragan.
Juragan dadi umpan.
Sing suwarane seru oleh pengaruh.
Wong pinter diingar-ingar.
Wong ala diuja.
Wong ngerti mangan ati.
Bandha dadi memala.
Pangkat dadi pemikat.
Sing sawenang-wenang rumangsa menang.
Sing ngalah rumangsa kabeh salah.
Ana Bupati saka wong sing asor imane.
Patihe kepala judhi.
Wong sing atine suci dibenci
sumber : dari berbagai literatur
Post A Comment: