“Memangnya kamu ini siapa? Kamu pikir kamu ini sesuatu di pandangan bangsa dan negaramu? Kamu sangka ada yang merasa perlu mendengarkanmu? Kamu sudah tua. Kamu sudah ketelingsut di masa silam. Mata uang pikiranmu tak laku di zaman ini”
BANGSA MAINAN Oleh : Emha Ainun Nadjib | Aku ada empat. Aku pertama adalah aku yang bersilaturahmi denganmu dan menulis untukmu. Aku yang kedua yang berjalan menuntunku dari depanku. Aku yang ketiga adalah aku yang menguntitku di belakang langkahku. Aku yang keempat adalah aku yang mengawasiku dari tengah khalayak, masyarakat, ummat dan bangsaku. Ada aku yang kelima, ia “pancer”ku, tetapi ia bukan aku, melainkan Aku.
Lima hari yang lalu aku berhenti mengirimkan tulisan kepadamu, karena aku yang di depanku berhenti melangkah. Bahkan ia membalikkan badan, menghadap ke arahku, dan mencegat langkahku. Dengan sorot mata yang sangat menusuk jiwaku ia berkata: “Apa gunanya tulisan-tulisanmu itu? Memangnya siapa kamu, sehingga begitu mantap dan sombong mengemukakan ini dan itu? Kamu pikir ada yang penting dari tulisanmu, yang dibutuhkan oleh bangsa dan ummatmu? Apa? Kalian memerlukan dua hari panjang untuk mengkomunikasikan itu, termasuk untuk menanam Pohon Khilafah”. Hari ini kimia tanah peradabannya belum kompatibel.
Ternyata aku yang menguntitku berhenti jauh di belakangku. Ia berteriak: “Kamu mengurusi ombak-ombak di permukaan laut, kemudian relief dan teksture bebatuan di dasar laut. Padahal masalahnya terletak di gelombang besar di tengah keduanya”. Disusul oleh suara dari aku di tengah orang banyak: “Kalian diadu-domba. Kalian diseret untuk mempertengkarkan hal-hal yang sama sekali tidak perlu dipertengkarkan. Kalian dibikin sibuk untuk bermusuhan, saling membenci dan baku-hina, sehingga kalian terlena harta kekayaan kalian dicuri”
Badanku demam. Panas dingin menggulung bergantian. Akan ada apa ini? Akan segera ataukah masih ada waktu untuk bersiap-siap?
Hatiku lumpuh. Mental luruh. Aku sedang kehilangan kuasa atas diriku sendiri. Tak kupunyai wibawa atas keadaanku sendiri. Akalku tak berdaya untuk mencerdasi dalam maupun luarku. Aku sedang hancur. Hidupku ditindih oleh tumpukan bongkah-bongkah batu, reruntuhan kegagalanku.
Mereka bertiga menyerbuku bergantian.
“Memangnya kamu ini siapa? Kamu pikir kamu ini sesuatu di pandangan bangsa dan negaramu? Kamu sangka ada yang merasa perlu mendengarkanmu? Kamu sudah tua. Kamu sudah ketelingsut di masa silam. Mata uang pikiranmu tak laku di zaman ini”
“Kamu pikir ada penduduk Negerimu hari ini bisa kamu paksa untuk melihat jauh-jauh dan berpikir dalam-dalam seperti di tulisanmu? Kamu berada di tengah masyarakat yang fokusnya adalah mencari keuntungan sesaat, mengejar laba materi satu dua langkah, memastikan untuk berkuasa atau sekurang-kurangnya ndompleng penguasa. Kamu pikir ada satu huruf yang kamu tuliskan yang bisa menyentuh hati mereka? Kamu pikir ada kata atau kalimatmu yang membuat pikiran mereka gelisah?”
“Semua yang berlangsung ini bukan perkara kebenaran, melainkan soal kekuasaan. Ini semua politik, bukan nilai. Tidak ada masalah Pancasila, Islam, Bhinneka Tunggal Ika, yang ada adalah perebutan kuasa dan harta benda”
“Mereka sedang memperebutkan kemenangan, bukan mencari kebenaran. Pemerintah, para pejabat, aktivis, lembaga-lembaga, media dan semua yang bersuara, tidak sedang mencari apa yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia. Melainkan sedang menyeret dan diseret untuk jangan sampai dikalahkan”
“Kalian semua sedang dipermainkan oleh beberapa orang. Oleh hanya sejumlah orang di Balairung Kerajaan. Mereka merancang pertengkaran di antara kalian. Mengaransir route isyu-isyu dan adegan-adegan konflik yang satu dua tahun ini kalian nikmati. Mereka ciptakan idiom, istilah, jargon, yel atau berbagai jenis sesumbar yang membuat kita merasa sedang bertentangan, membenci, memusuhi, mengkriminalisasi, melakukan pembunuhan karakter. Kalian adalah bangsa mainan…”
Demamku meningkat. Panas dingin menggulung bergantian. Akan ada apa ini? Akan segera ataukah masih ada waktu untuk bersiap-siap? Hahaha. Memangnya mau ada apa? Fala ubali! Aku gak pathèken! Seumur hidup tak pernah mau aku bertengkar dengan siapapun, karena karierku adalah bertengkar melawan diriku sendiri, melawan aku, aku, dan aku.
“Aku tidak pernah menulis apa-apa”, aku bangkit meladeni mereka, “Aku hanya dititipi tulisan. Meskipun kalian melarang, sudah ada di tanganku titipan tulisan ‘Surat Nikah Kebangsaan’ , ‘Pasca Abad-21’, ‘Silahkan Memasuki Silmi’, ‘Mencintai Indonesia Besar’, ‘Kalau Kekasih Disakiti’, ‘Bertanam Ksatria’, beberapa lagi, ‘Membaca Iqra’ hari ini sampai ke 140, dan nanti malam launching buku 309 tulisan Daur ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’, ‘Iblis Tak Butuh Pengikut’ dan lain-lain. Terserah sikap kalian. Kalau marah, yang berkewajiban kena marah bukan aku, melainkan Aku.
Tiba-tiba terdengar suara Aku, tertawa terbahak-bahak dari langit. Disusul suara terompet, sedikit agak panjang. ***
(Menuju:
“SURAT NIKAH KEBANGSAAN”)
�Yogya 12 Juni 2017.
Post A Comment: