BAGIAN 36
KISAH CIE THIO SI ANAK YATIM PIATU
KOTA Ko-bun-kwan, adalah merupakan kota yang tidak begitu besar, namun penduduknya padat sekali.
Kota Ko-bun-kwan juga merupakan kota simpang lalu-lintas dari orang2 yang melakukan perjalanan dari Selatan kearah Utara.
Sehingga menjadikan kota ini penting dan banyak dikunjungi orang-orang yang melakukan perjalanan dari Barat ke Utara dan sebaliknya, termasuk tujuan untuk pesiar.
Disebuah rumah yang terletak disudut dari persimpangan dipintu kota sebelah barat tampak seorang lelaki setengah baya duduk terpekur. Wajahnya murung sekali, memperlihatkan bahwa ada suatu kesulitan yang tengah melanda dirinya.
Barulang kali lelaki baya itu menghela napas, tampaknya memang ia bersedih hati, samar-samar terdengar keluhannya : „Mengapa aku harus menerima cobaan seperti ini ?”KISAH CIE THIO SI ANAK YATIM PIATU
KOTA Ko-bun-kwan, adalah merupakan kota yang tidak begitu besar, namun penduduknya padat sekali.
Kota Ko-bun-kwan juga merupakan kota simpang lalu-lintas dari orang2 yang melakukan perjalanan dari Selatan kearah Utara.
Sehingga menjadikan kota ini penting dan banyak dikunjungi orang-orang yang melakukan perjalanan dari Barat ke Utara dan sebaliknya, termasuk tujuan untuk pesiar.
Disebuah rumah yang terletak disudut dari persimpangan dipintu kota sebelah barat tampak seorang lelaki setengah baya duduk terpekur. Wajahnya murung sekali, memperlihatkan bahwa ada suatu kesulitan yang tengah melanda dirinya.
Dari dalam rumah saat itu terdengar suara seorang anak yang menangis.
Lelaki setengah baya tersebut melompat dari duduknya, ia melangkah masuk dengan wajah yang tetap murung.
Didalam ruangan itu tampak seorang anak lelaki tengah menangis sambil duduk dilantai. Sedangkan disampingnya tampak sepiring kuwe-kuwe kering.
„Ibu mana ibu, ayah ?” tanya anak itu kemudian dengan suara yang terisak dalam tangisnya.
Lelaki setengah baya tersebut menghela napas dalam2, wajahnya kian murung saja. Iapun berkata dengan suara yang sabar tetapi di dalam nada suaranya mengandung kedukaan : „Ibu telah pergi nak kau makanlah, nanti engkau masuk angin….!”
Tetapi anak itu telah menggelengkan kepala nya berulang kali, sambil katanya: „Tidak mau aku mau ibu, aku ingin ibu …. aku hendak ibu mana ibu …..!” dan tangan anak itu jadi semakin keras tubuhnya sampai tergoncang.
Orang tua setengah baya itu, yang rupanya menjadi ayah anak tersebut, jadi sibuk membujuk anak itu agar tidak menangis terus.
„Diamlah nak…….diamlah “Thio-jie jangan engkau tambah kedukaan hati ayah! bujuknya.
Namun anak itu justru telah meng-geleng2 kan kepalanya berulang kali sambil ber-seru2: „Aku mau ibu, mana ibu….. mana ibu ….?”
Lelaki setengah baya itu menghela napas berulang kali, katanya dengan suara yang datar: „Baiklah nak, nanti ibu akan pu lang, kita akan berkumpul kembali, tetapi sekarang engkau makanlah dulu, makanlah nak, nanti engkau masuk angin…….!”
Namun anak itu tetap tidak bisa dibujuk, bahkan dia telah menangis terus.
Lelaki setengah baya ini jadi sibuk sekali membujuk anak itu menghentikan tangisnya.
Namun anak itu memang tidak juga mau menghentikan tangisnya.
Malah tangisnya semakin keras.
„Thio-jie…… !” bentak sang ayah itu, yang rupanya telah habis kesabarannya.
„Engkau jangan membawa sikap seperti itu. Tahun ini engkau telah berusia lima tahun, seharusnya engkau telah mengerti urusan.
Jangan menangis terus menerus, diamlah dan makanlah…….!”
Anak itu yang dibentak demikian oleh ayah nya, jadi terdiam, dan ia menahan isak tangis nya. Tetapi anaknya tersebut, yang dipanggil dengan sebutan anak Thio itu, tetap tidak mau makan, ia hanya menundukkan kepalanya saja dalam2 menahan isak tangisnya.
Melihat sikap anaknya itu, lelaki setengah baya itu jadi runtuh hatinya, ia memeluk anak nya tersebut, dan mereka ayah dan anak jadi saling tangis bertangisan.
Tetapi selang tidak lama, lelaki setengah baya itu telah berkata lagi dengan suara yang lembut : „Anakku, ibumu telah pergi ….pergi untuk se-lama2nya dan tidak akan kembali lagi, karena ibumu telah meninggall dunia.
Maka dari itu, jangan engkau sering2 menanyakan soal ibumu lagi.
„Meninggal dunia ?” tanya anak itu dengan suara tidak mengerti, ia menatap ayahnya dengan mata digenangi air mata.
Sang ayah mengangguk.
„Benar…. ibumu meninggal dunia dan tidak akan kembali lagi, maka engkau jangan menanyakan lagi, Nanti setelah engkau besar dewasa, engkau akan mengerti hal itu.” menyahuti ayahnya.
Anak she Thio tersebut tidak mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya.
Dia hanya berkata dengan suara perlahan.
„Tetapi ibu telah pergi cukup lama dan belum kembali, ayah maka dari itu saya heudak meminta ayah menyusul ibu dan mengajaknya pulang ……. !”
Ayah itutelah tersenyum perlahan mengandung kedukaan.
„Mana bisa hal ini terjadi?” tanyanya.
„Mana mungkin?”
Namun anak itu telah meng-geleng2kan kepalanya berulang kali, sambil katanya: „Tetapi aku hendak ibu .. aku menginginkan ibu ……!”
Ayah itu jadi berdiam diri.
Memang kasihan anak ini karena ibunya telah meninggal dunia.
Disamping itu juga dia menikah ketika usianya telah meningkat tinggi.
Maka disaat usia anaknya baru lima tahun seperti ini, ia berusia hampir lima puluh tahun.
Tetapi oleh sebab suatu panyakit, maka ibu dari anak She Thio itu telah meninggal dunia dan memang tidak akan kembali lagi.
Maka dari itu, walaupun hatinya tengah berduka mengenangkan kematian isterinya, juga lelaki setengah baya itu merasa iba melihat nasib anaknya.
„Thio-jie dengarlah……. !” kata lelaki setengah baya itu berselang sesaat.
Kita akan segera meninggalkan tempat ini.
Sekarang engkau makanlah makananmu itu, dan jika telah selesai kita akan segera berangkat ……!”
Anak itu berhenti menangis.
„Kita hendak kemana, ayah? tanyanya. Apakah .. akan pergi menyusul ibu …….. ?”
Ayah-anak itu hanya bisa mengangguk dengan hati yang pedih karena ia yakin anaknya ini memang belum mengetahui urusan dan juga memang tengah membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Lelaki setengah baya itu berkeputusan akan meninggalkan kota kelahirannya.
Dibujuknya agar anaknya tersebut menghabiskan makanannya.
Setelah itu dia membereskan barang2 yang hendak dibawanya.
Lelaki setengah baya ini memang berkeputusan uniuk pergi berkelana untuk menghibur hatinya yang tengah digeluti oleh kedukaan.
Mungkin membawa anaknya pergi mengembara, anak itu tidak akan terlalu bersedih hati.
Setelah membereskan segala sesuatunya, lelaki setengah baya itu dengan tangan kanan membawa buntalan yang membungkus barang2nya, dan tangan kiri menggendong anaknya.
Sehari penuh lelaki setengah baya itu melakukan perjalanan dan ia telah meninggalkan kota tersebut cukup jauh……..
Pria setengah baya tersebut she Wang dan bernama Pie An.
Sedandkan anaknya bernama Cie Thio. Biasanya dipanggil dengan sebutan Thio-jie atau anak Thio.
Setelah melakukan parjalanan satu hari penuh, mereka tiba dikampung Po-an-cung, sebuah perkampungan yang cukup besar dan ramai.
Wang Pie An mengajak anaknya bermalam disebuah rumah penginapan yang tidak begitu besar.
Mereka telah bersantap malam didalam kamar.
Namun waktu itu justru pintu kamar mereka telah diketuk oleh seseorang dan ke tukan itu agak keras.
Wang Pie An mengernyitkan alisnya ia heran siapakah yang mengetuk pintu kamarnya dengan kasar seperti itu, karena dikampung ini dia memang tidak memiliki sanak famili, dan jika peIayan rumah penginapan yang mengetuk pintu kamarnya, tentu tidak kasar itu.
„Siapa ?” tegunya tawar.
„Aku, buka pintu ….. !” terdengar suara orang menyabuti dengan suara yang kasar.
Wang Pie An jadi mengerutkan alisnya lagi, ia tidak kenal suara orang itu, suara seorang lelaki yang parau.
Maka dipesan agar anaknya meneruskan makannya dulu, sedangkan ia menghampiri pintu dan membukanya.
Diluar kamarnya tampak berdiri seorang lelaki yang lebat dengan berewok dan kumis yang kaku, muka orang itu tampak kasar dan keras sekali, malah dari mulutnya berhamburan bau arak yang memuakkan.
„Siapa kau ?” tanya Wang Pie An.
Lelaki itu tertawa menyeringai.
„Tidak perlu engkau niengetahui siapa ada nya aku, tetapi sekarang cepat serahka uangmu … aku hari ini butuh uang sebesar 5000 tail!”‘
Muka Wang Pie An jadi berobah, karena ia memang tidak kenal lelaki itu, dan juga tidak memiliki uang sebanyak itu.
Wang Pie An juga tersadar bahwa lelaki tersebut bermaksud memeras dan merampoknya. Dengan muka yang memancarkan perasaan tidak senang.
Wang Pie An telah berkata : „Aku tidak memiliki uang, engkau pergilah ….!”
Dan sambil berkata begitu, Wang Pie An bermaksud akan menutup pintu kamarnya. Namun lelaki yang bertubuh dan berwajah kasar itu telah mendorong keras pintu kamar bahkan tangan kanannya bergerak cepat sekali, tahu-tahu dia telah memukul muka Wang Pie An.
Pukulan yang datangnya begitu deras dan keras tidak diduga sebelumnya oleh Wang Pie An, sehingga ia terkejut bukan main dan telah terhuyung mundur, kemudian bergulingan diatas lantai.
Lelaki bermuka kasar itu telah melangkah masuk kedalam kamar, kemudian ia menutup pintu kamar. Katanya dengan suara yang mengancam : „Serahkan uang atau nyawamu akan melayang………!”
Wang Pie An menduga orang ini tengah mabok, karena dari mulutnya terpancar bau arak. Dengan sendirinya hal itu membuktikan babwa orang tersebut telah terlalu banyak meneguk arak. Ia telah memandang dengan sorot mata yang tajam, sambil katanya : „Aku tidak memiliki uang pergilah kepada orang lain, aku sungguh2 tidak memiliki uang……….!”
Namun lelaki bermuka kasar itu justru telah mencabut pisau yang berukuran cukup panjang ia telah menggerakkan pisaunya itu sambil mengancam : „Jika memang engkau tidak mau njenyerahkan uangmu, hemmm……., jiwamu akan me layang……..!” dan setelah berkata begitu lelaki bermuka kasar tersebut melangkah menghampiri Wang Pie An.
Melihat sikap orang yang sangat mengancam tampak Wang Pie An berusaha bangkit. la ingin memberikan perlawanan.
Namun kaki kanan dari orang tersebut telah melayang menyambar muka Wang Pie An, membuat tubuh Wang Pie An ter-guling2 dilantai.
Wang Cie Thio yang melihat apa yang terjadi pada diri ayahnya, jadi mengeluarkan suara jeritan sambil menubruk tubuh ayahnya.
„Ayah ….!” panggil Cie Thio.
Dan waktu itu ia menoleh kepada pemabok itu sambil membentak : „Engkau …… engkau mempersakiti ayahku …….. !”
Tetapi orang jtu justru telah tertawa terkekeh dengan suara yang mengerikan, sambil katanya dingin : „Engkau menyingkir bocah, jika tidak perutmu akan kurobek dengan pisauku ini !”
Sambil berkata begitu, orang tersebut telah menggerakkan pisau tajam ditangannya, ia me bawa sikap mengancam sekali.
Wang Pie An mendorong tubuh anaknya, yang diperintahkan menyingkir.
Waktu anaknya menyingkir kesamping, secepat kilat Wang Pie An melompat berdiri sambil menggerakkan tangannya yang diulurkan untuk merebut pedang kecil lawannya.
Pemabok itu ruparya bisa melihat gerakan yang dilakukan oleh Wang Pie An, segera ia menggerakkan pedangnya menikam perut Wang Pie An.
Gerakari seperti itu datangnya cepat sekali, sehingga Wang Pie An tidak bisa mengelakkan lagi…….. perutnya telah tertusuk oleh pisau tersebut.
Seketika itu juga terdengar suara jeri yang keras dan kuat dari Wang Pie An, dimana ia telah terhuyung mundur dengan darah berlumuran dari perutnya.
Kedua tangannya juga memegangi perutnya.
Cie Thio yang melihat keadaan ayahnya berlari menghampiri dan memeluk ayahnya. „Ayah . . . . ayah . . . . !” panggilnya berulang kali.
Pemabok itu sendiri kaget tidak terkira, karena ia tidak menyangka akan menikam terkena sasarannya.
Semula ia hanya menggertak belaka.
Maka ia segera memutar tubuhnya dan berlari keluar kamar guna melarikan diri.
Suara ribut2 seperti itu telah menyebabkan pelayan datang kekamar tersebut.
Pelayan itu terkejut melihat keadaan Wang Pie An yang berlumuran darah.
Segera ia memberikan pertolongan dan meminta kepada kawannya untuk memanggilkan tabib.
Namun sayang, jiwa Wang Pie An tidak tertolong, rupa-nya luka yang dideritanya itu memang cukup parah. Setelah menjelang tengah malam, Wang Pie An menghembuskan napas nya yang terakhir. Cie Thio rnenangis sedih sekali.
Sedangkan pelayan itu bersama dengan kawan2nya melaporkan hal tersebut pada yang berwajib.
Setelah diadakan pengusutan, maka pemabok yang membinasakan Wang Pie An ditangkap sedangkan jenazah Wang Pie An dikebumikan pada keesokan harinya.
Cie Thio yang masih kecil dan tidak memiliki sanak famili dikampung itu, telah diserahkan pada sebuah kuil, untuk dirawat oleh para pendeta kuil itu.
Para pandeta yang merawat Cie Thio melihat bahwa anak ini memiliki kecerdasan yang mengagumkan, dimana daya tangkap anak ini cepat sekali.
Maka Cie Thio digundulkan rambutnya, ia telah diberi didikan agama Buddha.
Sedangkan Cie Thio yang telah yatim piatu,
sudah tidak memiliki pilihan lain, hanya berdiam baik2 dikuil tersebut, mempelajari agama Buddha, sebagai seorang pendeta kecil.
—oo0oo—
BAGIAN 37
TIGA DEWA DARI GUNUNG KAUW (SAM SIAN KAUW SAN)
BAGIAN 37.1
SUATU PAGI, disaat Cie Thio tengah bermain dipekarangan depan kuil, saat itu pintu kuil di ketuk keras oleh seseorang.
Cie Thio membukakan pintu dan dia melihat tiga orang Tojin (pendeta yang memeluk agama To) tengah berdiri dimuka pintu dengan mulut tersenyum lembut.
„Mana gurumu…….?” tanya salah seorang tojin itu dengan suara yang sabar,
Cie Thio menanyakan siapa ketiga tamu tersebut, yang dijawab bahwa mereka adalah Sam Sian (tiga dewa) dari gunung Kauw.
Ketika perihal kedatangan ketiga orang pendeta agama To itu diberitahukan kepada gurunya, pendeta yang menjadi ketua kuil tersebut, menyambutnya dengan manis kedatangan ketiga orang tojin tersebut.
Rupanya antara guru Cie Thio dengan ke tiga tojin itu mengikat tali persahabatan.
Ketiga tojin itu masing2 bergelar Sam Kie Cinjin, Sam Lu Cinjin dan Sam Pie Cinjin. Mereka merupakan pendekar-pendekar sakti yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi sekali.
Memang telah cukup lama ketiga pendeta agama To itu berkelana dalam rimba persilatan dan selama itu mereka melakukan perbuatan2 mulia, sehingga nama mereka jadi terkenal dan memperoleh julukan Sam Sian Kauw San.
Saat itu tampak Cie Thio yang tengah mempersiapkan minuman untuk ketiga tamu gurunya telah di-usap2 kepalanya oleh Sam Kie.
Kata Sam Kie dengan suara yang sabar: „Anak ini balk sekali untuk mempelajari ilmu silat, dia memiliki tulang yang baik dan bakat yang bagus, savang sekali engkau Hwee Liang Siansu tidak memiliki kepandaian silat, sehingga muridmu ini tak mungkin memperoleh petunjuk mengenai ilmu silat.
Guru Cie Thio yaitu Hwee Liang Siansu tersenyum manis, sambil katanya: „Tidak selamanya ilmu silat memegang peranan penting.
Jika memang anak itu mau mempelajari agama Budha dengan baik, itupun baik dari segalanya, karena jiwanya telah terdidik dengan baik dan juga menyebabkan dia bisa mengenal dunia sebagaimana adanya.
Namun Sam Kie telah menggelengkan kepalanya ia berkata perlahan: „Bukan hanya itu saja. Ilmu silat bukan hanya terbatas pada ilmu untuk berkelahi, tetapi justru ilmu silat membutuh latihan dan semangat murni untuk menggembleng orang yang bersangkutan memiliki Sinkang yarg sejati. Dengan memiliki ilmu silat yang murni maka orang itu akan bisa menjaga diri dari segala gangguan yang tak baik bahkan bisa memanfaatkan ilmu silatnya untuk banyak melakukan perbuatan2 mulia menolong silemah yang tertindas……. .!”
Hwee Liang Siansu tersenyum lebar, ia menyahuti: „Tetapi dengan agama Buddha, anak inipun bisa banyak melakukan perbuatan2 luhur. …..!”
Sam Kie menggeleng cepat, „tidak mungkin…….!” katanya berulang kali.
„Mana mungkin jika menghadapi seorang penjahat, hanya mengandalkan kelihayan lidah untuk ber-kata2 saja kurang begitu kuat untuk mengembalikan manusia jahat itu kejalan yang …… maka justru ilmu silat yang tinggi bisa membuat para penjahat seperti itu menjadi jera dan kapok. …..!”
Hwee Liang Siansu mengangguk perlahan.
„Ya apa yang dikatakan oleh Cinjin benar adanya, katanya. Dan juga memang anak ini memiliki bakat ilmu silat, sayangnya justru Lolap tidak memiliki kesanggupan untuk mendidiknya dibidang itu. Jika memang Sam-wie Cinjin bersedia untuk bermurah hati, membantu mendidik anak ini untuk berlatih iimu silat tentu hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan sekali, bukan?”
„Namun ketiga pendeta agama To itu telah menggeleng hampir berbareng sambil katanya: „Tak mungkin……..sayangnya hal itu tak mungkin.”
Kami hanya diperbolehkan menurunkan kepandaian kami kepada murid2 kami yang memeluk agama To……. diluar dari itu, kami tidak diijinkan untuk menurunkan kepandaian kami kepada siapapun juga ……..!”
„Sayang sekali,” kata Hwee Liang Siansu.
„Itulah nasib-si Cie Thio yang buruk dan tidak memiliki keberuntungan yang baik !”
Semuanya tertawa.
Sedangkan Cie Thio kembali kekamarnya.
Namun kata2 Sam Kie tadi telah dipikirkannya, mengganggu sekali hati nya.
Ia tertarik sekali memikirkan kata2 Sam Kie Cinjin.
Memang hati Cie Thio ingin sekali mempelajari ilmu silat, karena ia juga jadi terpikir mengenai kematian ayahnya.
Jika saja ia memiliki kepandaian ilmu silat, bukankah ia bisa melindungi ayahnya dan ayahnya itu tidak sampai meninggal dunia, sehingga kini ia hanya hidup seorang diri?
Itulah pemikiran dari seorang anak yang mash kecil, dan ia belum bisa berpikir lebih luas lagi.
Tetapi walaupun demikian, Cie Thio memang telah tertarik sekali ingin mempelajari ilmu silat. Maka dari itu, ia telah mengambil keputusan, jika Hwee Liang Siansu gurunya untuk mempelajari agama Buddha itu mengijinkan ia mempelajari ilmu silat, maka ia bermaksud untuk mempelajari ilmu silat.
Sayangnya justru saat sekarang ini Sam Kie Cinjin mengatakan, pandeta itu tidak bisa menurunkan kepandaiannya kepada orang yang bukan dari penganut agamanya.
Tetapi Cie Thio yakin, disamping Sam Kie Cinjin sebagai seorang yang mengerti ilmu silat tentu banyak terdapat jago2 silat lainnya, yang bisa diangkat menjadi gurunya.
Maka tekadnya semakin bulat, ia ingin berusaha untuk dapat mempelajari ilmu silat.
Keesokan malamnya sengaja Cie Thio menemui Hwee Liang Siansu.
la mengemukakan keinginannya itu.
Dan iapun menyatakan maksudnya hendak mengangkat seseorang menjadi guru silatnya.
„Siapa ?” tanya Hwee Liang Siansu dengan sabar.
Tetapi Cie Thio menggelengkan kepalanya.
„Sampai sekarang ini tecu masih belum mengetahui, tetapi jika memang suhu mengijinkan, kelak jika tecu cari itu, yang memang memiliki kepandaian tinggi, tentu tecu telah mengetahui bahwa suhu tidak menentang kalau saja tecu mengangkat orang itu men jadi guru tecu untuk mempelajari ilmu silat ………!”
Hwee Liang Siansu tersenyum, iapun berkata dengan sabar : „Cie Thio, engkau ketahuilah bahwa mempelajari ilmu silat itu tidak mudah, karena biasanya, setiap orang yang mempela jari ilmu silat, tentu akan memiliki watak dan sifat yang berlainan dengan kita-kita yang menekuni pelajaran agama.
Maka dari itu, aku belum bisa memutuskan menerima atau tidak keinginanmu itu.
Engkau berpikirlah dua hari lagi coba engkau renungkan, apakah memang engkau ber-sungguh2 hendak mempelajari ilmu silat atau memang itu hanya dorongan nafsu belaka untuk memiliki kepandaian silat……..!”
Cie Thio mengiyakan dan dia pamitan mengundurkan diri dari hadapan gurunya.
Kemudian didalam kamarnya ia memikir kan dengan baik2 keinginanaya itu.
Malah Cie Thio telah berpikir jauh sekali, jika memang ia masih menjadi murid Hwee Liang Siansu, sulit baginya untuk keluar dari kuil ini dan mengangkat orang lain menjadi gurunya untuk mempelajari ilmu silat. Maka dari itu ia telah mengambil keputusan, yang nekad, yaitu hendak melarikan diri dari kuil.
Tetapi, waktu itu justru Cie Thio juga berpikir, jika ia melarikan diri dari kuil, laIu ia hendak pergi kemana ? Inilah yang menyusahkan hatinya.
Maka ia tidak bisa mengambil keputusan yang cepat.
Setelah mempertimbangkan selama tiga hari tiga malam, keputusan Cie Thio jadi bulat, ia akan meninggalkan kuil ini secara diam2.
Tanpa pamitan lagi dari Hwee Liang Siansu dimalam yang dingin dan gelap, Cie Thio meninggallkan kuil secara diam2.
Apa yang dilakukannya itu hanya merupakan sebuah kenekadan dari seorang anak kecil belaka. la, rela mempelajari agama yang diajarkan oleh gurunya, namun justru hatinya malah hendak mempelajari ilmu silat.
Maka keinginannya yang terakhir itu lebih kuat, yang mendorongnya melakukan tindakan nekad seperti itu.
Dan dengan nekad, walanpun masih berusia belum enam tahun, Cie Thio telah meninggalkan kuil-itu, dan ia menyerahkan pada nasib apa yang akan terjadi
Setelah melakukan perjalanan empat hari, maka Cie Thio tiba disebuah perkampungan yang tidak begitu besar.
la tidak memiliki uang, maka ia tidur di-kuil2 rusak atau juga bermalam diemperan rumah penduduk.
Cie Thio tidak mengetahui harus pergi kemana, karena ia melarikan diri dari kuil Hwee Liang Siansu tanpa mempunyai arah tujuan.
Keadaan seperti itu memang membingungkan Cie Thio, apalagi dihari keempat itu ia mu lai tersiksa oleh rasa lapar, sedangkan disakunya sama sekali tidak memiliki uang pembeli makanan.
Untung saja ada seorang pengemis kecil, yang melihat keadaan Cie Thio, jadi merasa kasihan dan telah mengajaknya untuk mengemis sisa makanan pada sebuah rumah makan.
Dan dari hasil mengemis itu, Cie Thio tidak sampai terlalu menderita oleh lapar.
—oo0oo—
BAGIAN 37
TIGA DEWA DARI GUNUNG KAUW (SAM SIAN KAUW SAN)
BAGIAN 37.2
TETAPI KEESOKAN HARINYA justru Cie Thio tidak melihat pengemis kecil yang kemarin mengajaknya mengemis dirumah makan, ia terpaksa mengemis seorang diri, sebab perutnya kembali lapar.
Waktu Cie Thio mengemis sisa makanan di rumah makan itu, justru ia melihat Sam Kie Cinjin bertiga dengan Sam Pie dan Sam Lu, ketiga tojin itu baru saja keluar dari rumah makan tersebut dan mereka tampaknya, terkejut waktu melihat Cie Thio, yang datang dalam keadaankeadaan kotor da n mesum.
„Apakah engkau Cie Thio, murid dari Hwee Liang Siansu ?” tegur Sam Kie Cinjin kepada anak itu yang dirasanya memang dikenalnya.
Sam Kie rupanya memiliki ingatan yang tajam sekali, walaupun pakaian dari Cie Thio sudah tidak keruan, tokh ia masih kenal anak itu.
Disamping itu, Cie Thio juga telah mengakuinya dengan terus terang.
la mengatakan dirinya telah melarikan diri dari kuil Hwee Liang Siansu.
Dan kini ia tidak memiliki arah dan tujuan yang tetap.
Maka dari itu, sekarang ia telah melakukan pekerjaan mengemis dan tidak tahu harus pergi kemana.
„Jika begitu, ayo, kami akan segera mengantarkan engkau kembali kepada gurumu …!” kata Sam, Kie Cinjin, namun Cie Thio telah menolakya, karena ia memang telah bertekad tidak akan kembali pada Hwee Liang Siansu.
Melihat sikap anak itu, Sam Kie Ciujin ber tiga jadi heran.
Mereka menanyakan sebab2nya mengapa Cie Thio melarikan diri dari sisi gurunya.
Dengan polos dan berterus terang Cie Thio menceritakan keinginannya untuk mempelajari ilmu silat.
la juga mengatakan bahwa mempelajari ilmu agama Buddha tidak cocok dengan hatinya, dan ia lebih condong untuk mempelajari ilmu silat.
Keinginannya itulah yang telah membuat ia melarikan diri.
Sam Kie Cinjin yang mendengar pengakuan dari anak tersebut jadi menghela napas dalam2.
Wajahnya jadi muram.
„Akhhh….., disebabkan mulutku, maka engkau telah melarikan diri dari gurumu…..!” kata Sam Kie Cinjin kemudian.
„Walaupun bagaimana, engkau harus kembali kegurummu……. !”
Cie Thio menggelengkan kepalanya, berulang kali, berkata dengan suara yang agak keras: Jangan Cinjin memaksa aku untuk kembali kekuil guruku, karena aku tentu tidak akan dapat mempelajari agama yang diajarkan oleh guruku sebab ak lebih cocok untuk mempelajari ilmu silat…….!”
Melihat kekerasan hati anak itu, Sam Kie Cinjin, Sam Lu dan Sam Pie jadi menghela napas dalam2.
Mereka bingung juga menghadapi sikap Cie Thio.
Akhlrnya Sam Kie Cinjin telah menegur: „Apakah kau memiliki uang dan perbekalan?” Cie Thio menggeleng.
„Hemm…….. engkau seorang anak yang terlalu nekad kata Sam Kie Cinjin. Ayo kembali kegurumu bukankah dengan merantau tidak keruan seperti ini kau akan menderita dan sengsara. “
Tetapi justru Cie Thio telah menggelengkan kepalanya berulang kali sampai akhirnya ia berkata dengan suara yang tetap: „Walaupun aku harus manderita dan binasa, tetapi aku tetap akan pergi merantau untuk mencari guru yang bisa mengajarkan padaku ilmu silat………!”
Melihat kekerasan hati si bocah, Sam K ie Cinjin jadi tertarik juga.
„Bagaimana jika engkau ikut bersama kami? tanya Sam Kie Cinjin.
Cie Thio jadi girang bukan main cepat2 ia telah menekukan kedua kakinya berlutut dan menyatakan terima kasih.
Waktu Sam Kie Cinjin menoleh kepada Sam Lu dan Sam Pie katanya: „Biarlah anak itu ikut bersama kita jika tidak tentu dia akan terlantar………!”
Sam Pie dan Sam Lu hanya menyetujui ke inginan Sam Kie Cinjin.
Begitulah Cie Thio telah diajak mereka untuk mengembara bersama-sama.
Mermang sudah menjadi keinginan Cie Thio untuk belajar ilmu silat dari Sam Kie Cinjin bertiga, namun sayangnya justru ia mendengar, sendiri bahwa Sam Kie Cinjin bertiga tidak akan menurunkan kepandaiannya pada orang yang bukau beragama To.
Maka Cie Thio tidak pernah mengajukan permintaan berguru pada ketiga imam tersebat ia hanya ikut mengembara agar tidak terlantar.
Secara iseng iapun telah menanyakan kepada Sam Kie Cinjin apakah pendeta itu memiliki seorang kawan yang memiliki kepandaian yang tinggi agar bica diangkat menjadi guru sibocah.
Namun Sam Kie Cinjin bertiga menanyakan mereka tidak bisa menunjukkan orang yang, dikehendaki Cie Thio.
Tapi Sam Kie Cinjin berkata, jika Cie Thio mau kembali pada gurunya, yaitu Hwee Liang Siansu, dan jika gurunya itu meluluskan, tentu Sam Kie Cinjin akan menunjukkan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi agar bisa diangkat menjadi guru, sibocah.
Namun kenyataannya Cie Thio tidak bersedia kembali ke Hwee Liang Siansu, karena memang telah bertekad hendak mengembara.
Sam Kie Cin jin bertiga tidak berdaya lagi untuk membujuk bocah tersebut.
Maka kemana mereka pergi, tentu diajaknya Cie Thio ikut mengembara bersama mereka.
Setahun lebih Cie Thio ikut bersama dengan Sam Kie Cinjin bertiga, dan selama itu, imam2 tersebut telah melihat bahwa kepandaian yang dimiliki anak tersebut dalam hal pelajaran agama Buddha masih belum mendalam, terlebih lagi memang Cie Thio mempelajarinya baru beberapa bulan saja dari Hwee Liang Siansu.
Maka tersirat dalam hati Sam Kie Cinjio untuk minta Kepada Hwee Liang Siansu agar merelakan muridnya diambil oleh mereka bertiga.
Itulah sebabnya, suatu hari Sam Kie Cinjin bertiga mengajak Cie Thio kembali menemui gurunya, yaitu Hwee Liang Siansu.
Dengan berterus terang, Sam Kie Cinjin menceritakan segala apa yang telah terjadi.
Dan juga Sam Kie Cinjin telah mengemukakan bahwa mereka bertiga bermaksud mengambil Cie Thio menjadi murid mereka, kalau saja Hwee Liang tidak merasa keberatan, ternyata Hwe Liang Siansu memang menerima tawaran tersebut dengan senang hati, menurut Hwee Liang Siansu tidak baik ia memaksa Cie Thio, jika memang anak itu tidak berminat untuk belajar padanya.
Sam Kie Cinjin mengucapkan terima kasihnya atas pengertian dari Hwee Liang Siansu.
Sejak saat itu Cie Thio telah resmi menjadi murid dari Sam Kie Cinjin, Sam Lu dan Sam Pie. Ketiga tojin itu telah mendidik Cie Thio dalam hal segala macam kepandaian dan ilmu silat. Tetapi sejak saat itu, Cie Thio harus memelihara rambut lagi dan selanjutnya masuk kedalam agama To, menjadi murid resmi ketiga imam itu.
Karena mengetahui Sam Kie Cinjin bertiga memang memiliki kepandaian yang tinggi, maka Cie Thio tidak keberatan untuk menjadi pemeluk agama To.
la selain mempelajari agama To juga mempelajari ilmu silat dari ketiga gurunya yang ternyata memang memiliki ilmu yang luar biasa.
Setelah belajar selama enam tahun, Cie Thio telah berusia dua belas tahun, kepandaian yang dimiliki anak ini ternyata cukup tinggi, setiap pelajaran yang diturunkan oleh ketiga orang gurunya itu bisa dipelajarinya dengan mudah.
Selama enam tahun Cie Thio juga ikut mengembara dengan ketiga gurunya dimana Cie Thio sering menyaksikan betapa ketiga orang gurunya itu memang selalu bertindak diatas keadilan, dan membela yang lemah dari tindasan yang jahat.
Pengalaman selama mengembara bersama ketiga orang gurunya itu, membuat Cie Thio memiliki pengalaman yang tidak sedikit, ia mulai mengerti dunia persilatan dan juga mulai dapat membedakan mana yang jahat dan mana yang baik, disamping itu juga ia bisa membedakan mana yang putih dan mana yang mengambil aliran hitam, alias para penjahat yang perlu di basmi.
Ketika berusia dua belas tahun, Cie Thio telah sering merubuhkan beberapa orang penjahat yang memiliki kepandaian tanggung2, ketiga orang gurunya itu menyerahkan kepada Cie Thio untuk menghajarnya.
Dan biasanya Cie Thio memang bisa memenuhi harapan gurunya, dimana ia bisa memberikan ganjaran yang cukup keras pada para penjahat itu.
Disamping itu, Cie Thio juga mulai menerima pelajaran Sinkang, yaitu ilmu sakti dari ke tiga orang gurunya.
Sam Kie Cin jin bertiga dengan Sam Lu dan Sam Pie Cinjin jadi girang melihat perkembangan yang diperlihatkan muridnya. Dan juga memang mereka telah melihat selain cerdas, Cie Thio juga mudah sekali menerima pelajaran yang mereka berikan.
Hal itu disebabkan memang anak ini memiliki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat.
Begitulah, Sam Kie Cinjin bertiga selalu mengajak Cie Thio untuk mengembara.
Empat tahun telah lewat lagi, usia Cie Thio telah enam belas tahun, dia telah menjadi seorang tojin muda yang memiliki kepandaian tidak rendah.
Tetapi ketiga orang gurunya masih juga menghendaki Cie Thio mengembara bersama mereka, karena masih ada tiga tahun lagi yang harus dilaksanakan oleh Cie Thio untuk merampungkan kepandaiannya.
Maka dari itu, selama tiga tahun itu Cie Thio tetap mengembara bersama gurunya.
Ketika usianya telah sembilan belas tahun.
Sam Kie Cinjin meminta Cie Thio untuk pergi mengembara seorang diri, karena kepandaian yang dimiliki ketiga orang gurunya itu memang telah diturunkan semuanya termasuk ilmu simpanan mereka.
Cie Thio memang merasa telah memiliki kepandaian yang bisa diandalkan, menuruti perintah gurunya, untuk berkelana seorang diri, guna melakukan perbuatan mulia membela orang2 yang lemah.
Waktu itu Cie Thio telah menjadi seorang pendeta To yang tegap dan gagah.
la merupakan Tojin muda yang tampan.
Disamping itu dengan memiliki kepandaiannya yang tinggi, ia benar2 merupakan seorang pendekar muda yang sulit dicari tandingannya.
Apalagi ilmu pedangnya, hasil ciptaan ketiga orang gurunya, yang telah menggabung kepandaian mereka bertiga menjadi satu dan diwariskan kepada Cie Thio.
Dan yang menonjol sekali pada diri tojin muda ini adalah kekuatan sinkang yang dimilikinya, murni dan bisa diandalkan.
Dalam waktu sekejap mata saja, Cie Thio telah bisa mengangkat nama.
Dan ia telah merupakan seorang jago rimba persilatan yang di segani, karena kepandaiannya tinggi dan perbuatannya yang baik, selalu berdiri diatas jalan keadilan.
Cie Thio juga telah mengganti namanya menjadi Ong Tiong Yang, atas saran yang diberikan oleh ketiga orang gurunya.
—oo0oo—
BAGIAN 38
ONG TIONG YANG
BAGIAN 38.1
ONG TIONG YANG merupakan seorang tojin yang cukup ditakuti oleh para penjahat dari kalangan hek-to, karena ia walaupun selalu membawa sikap yang sabar, namun bertindak dengan tegas kepada orang2 yang melakukan ke jahatan.
Seperti terlihat pada pagi itu, Ong Tiong Yang tengah berada disebuah kaki gunung dipropinsi Hopei, ia tengah duduk dibawah sebatang pohon sambil beristirahat menghilangkan lelah, seharian penuh Tojin muda ini melakukan perjalanan yang jauh, dan ia belum lagi bertemu dengan rumah penduduk yang bisa ditumpangi ataupun kuil2 yang bisa dimintai bantuannya guna menginap.
Maka untuk melenyapkan letihnya Ong Tiong Yang telah ber-istirahat dibawah pohon itu.
Angin pagi yang bersilir dingin membuat Ong Tiong Yang atau Cie Thio jadi mengantuk, karena semalaman ia melakukan perjanan terus. Ia duduk bersemadhi untuk meluruskan pernapasan dan sinkangnya, sehingga dalam sekejap mata saja perasaan letihnya lenyap.
Disaat Ong Tiong Yang tengah duduk bersemadhi begitu, tiba2 dia mendengarkan suara ramai2, disusul oleh suara bentak dan jerit kesakitan.
Sebagai seorang tojin telah tinggi sinkangnya, Ong Tiong Yang memiliki pedengaran yang tajam. Walaupuna suara ramai2 dan suara jerit kesakitan itu masih terpisah jauh, namun ia telah berhasil mendengarnya. Maka Tojin muda ini telah melompat berdiri dan memandang kesekelilingnya.
Dari arah selatan tampak berlari beberapa sosok tubuh dengan gerakan yang cepat sekali, seperti juga terbang dan kaki2 mereka seperti tidak menginjak bumi.
Dengan cepat orang2 itu tiba dihadapan Ong Tiong Yang.
Ternyata orang2 tersebut merupakan orang2 rimba persilatan.
Dilihat dari pakaiannya yang serba singset, menyatakan mereka merupakan orang2 rimba persilatan yang biasa hidup mengembara.
Dibelakang orang2 itu, yang semuanya berjumlah empat orang, tampak mengejar belasan orang, semuanya membekal senjata, ada juga senjata yang dicekal ditangan.
Pengejaran itu dilakukan dengan cepat, tampaknya memang orang2 itu bermaksud untuk dapat mengepung keempat buruan mereka.
Saat itu Ong Tiong Yang mengerutkan alisnya, ia memperdengarkan suara „Hmmm…..,” tidak senang, karena-dilihatnya tidak adil belasan orang itu mengejar dan bermaksud mengeroyok keempat orang tersebut, yang tampaknya telah terluka cukup parah disebagian tubuhnya.
Keadaan demikian memang membuat darah muda Ong Tiong Yang terbangkit, ia tak bisa meyaksikan keadaan yang tidak adil seperti Itu.
Sedangkan keempat orang tersebut saat itu telah tiba didekat Ong Tiong Yang, mereka tidak bisa menyingkirkan diri lebib jauh dari belasan orang pengejaran.
Waktu itu belasan orang pengejar tersebut melompat dan mengurung ke empat orang buruan mereka. Sikap mengancam yang mereka perlihatkan menunjukkan bahwa belasan orang itu menaruh kebencian yang sangat kepada keempat orang tersebut.
„Kalian menyerah saja baik2 kami tidak akan menganiaya dirimu…..!” bentak salah seorang diantara belasan orang tersebut dengan suara yang tawar, ditangannya tampak tercekal sebatang pedang pendek, yang digerakan mengancam,
Tetapi keempat orang itu memperdengarkan suara tertawa dingin, salah seorang diantara mereka berkata: „Kami tidak akan menyerah sampai titik darah kami yang terakhir……….!”
Orang yang memimpin belasan orang kawan nya berteriak memberikan anjuran agar kawan2 nya menyerang. Sedangkan ia sendiri dengan pedang pendeknya telah melancarkan serangan yang gencar.
Keempat orang itu, yang masing2 bersenjata pedang, telah memutar senjata mereka memberikan perlawanan. Dalam sekejap mata saja mereka bertempur dengan seru. Namun keempat orang itu memitiki jumlah yang jauh lebih sedikit dari lawannya, walaupun dilihat dari gerakan ilmu pedangnya mereka memang memiliki kepandaian yang tidak rendah, tokh mereka telah terdesak.
Dua kali salah seorang dari keempat orang itu terluka oleh tabasan golok dari sallah seorang lawannya, sehingga mengeluarkan suara jeritan dengan tubuh terhuyung.
Ketiga orang kawannya jadi terkejut dan berusaha untuk melindungi kawan mereka.
Namun belasan lawan mereka telah memperhebat serangan-serangannya, sehingga angin serangannya menyambar-nyambar tidak hentinya.
Ong Tiong Yang menyaksikan keadaan demikian, merasa waktunya telah sampai.
la mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya melompat ketengah gelanggang dengan gerakan yang ringan, dan Hudtim (kebutan kependetaannya) digerakan dengan melintang kekiri dan ke kanan, maka senjata belasan orang tersebut berhasil dibuat terpental. Dan waktu itu keempat orang yang dikurung itu mempergunakan kesempatan tersebut untuk mengundurkan diri, mereka menyingkir agak jauh.
Belasan orang pengepung itu jadi penasaran dan mendongkol melihat seorang imam telah mencampuri urusan mereka.
Orang yang memegang pedang pendek itu telah membencak dengan suara yang tawar: „Hidung kerbau, apa maksudmu mencampuri urusan kami………?”
Mendengat pertanyaan orang tersebut yang kasar, Ong Tiong Yang yakin belasan orang tersebut tentunya bukan manusia baik?
Apalagi ia melihat mereka tanpa kenal malu mengeroyok keempat orang itu.
„Pinto harap kalian tidak mendesak keempat orang Siecu itu, jumlah mereka lebih sedikit dari kalian, maka tidak pantas kalian main keroyok seperti itu tanpa kenal malu. Pinto harap kalian tidak mendesak lebih jauh !”
Tetapi orang yang bersen jata pedang pendek itu tertawa mengejek, kemudian katanya : „Hemm……., enak saja kau berkata, kami mengeroyok mereka karena justru mereka merupakan manusia2 tidak tahu diri yang harus kami ringkus……….!”
„Apa kesalahan mereka ?” tanya Ong Tiong Yang tawar.
„Mereka merupakan manusia2 kurang ajar yang besar mulut, bahkan telah lima orang kawan kami yang terluka ditangan mereka, maka itu kami harus dapat membalaskan sakit hati kawan kami itu !”
„Tetapi kata kalian yang hendak menuntut balas kepada keempat orang tersebut merupakan cara pengecut !”
„Akh……. hidung kerbau, engkau terlalu banyak bicara, cepat nenyingkir………!”
„Kalau memang Pinto tidak mau menyingkir…….?” tanya Ong Tiong Yang dengan suara yang sabar.
„Tentu kami tidak akan segan untuk menurunkan tangan keras kepadamu ……!”
Tetapi Ong Tiong Yang tidak jeri.
„Pinto kira kalian tidak akan memiliki kessanggupan untuk merubuhkan Pinto…..!”
„Oh….. pendeta sombong, engkau jangan bicara tekebur seperti itu …..!” dan sambil berkata begitu, salah seorang dari belasan orang tersebut, yang bersenjata Poan Koan Pit melompat melancarkan totokan dengan ujung Poan Koan Pitnya.
Namun Ong Tiong Yang mengelakkan dengan cepat, dalam waktu sekejab mata saja ia telah berhasil mengelakkan diri dari lima kali totokan Poan Koan Pit orang tersebut.
Rupanya kawan2 orang tersebut yang melihat usaha kawan mereka gagal, telah melompat maju dan melancarkan serangan mengeroyok.
Gerakan mereka memang cepat dan gesit sekali disamping itu merekapun memiliki kepandaian yang tinggi. Mereka melompat menggunakan senjatanya masing2 melancarkan serangan kepada Ong Tiong Yang.
Satelah beberapa jurus menyaksikan lawannya, Ong Tiong Yang sudah lebih dari ia mengalah.
Ia mengeluarkan suara siulan sambil katanya kemudian: „Siecu harus ber-hati2…..!” sambil berkata begitu, Hudtimnya meluncur kearah lawannya.
Dan bulu Hudtimnya yang dialiri tenaga sinkang jadi kaku dan keras, dipergunakan untuk menotok Iawannya itu. Dan Tubuh lawannya langsung saja terjungkal. roboh tidak bergerak lagi ……… terbujur kaku karena telah tertotok.
Belasan kawanya jadi terkejut, belum lagi mereka menyadari apa yang terjadi ……. tiba2 datang serangan dari Ong Tiong Yang, Hudtimnya ber-gerak2 melancarkan totokan ke sana kemari dengan cepat. Dalam sekejap mata saja, tujuh orang telah terjungkal dalam keadaan tertotok.
Sisanya yang enam orang lagi jadi ngeri dan takut2 waktu menyaksikan bahwa Ong Tiong Yang memang benar2 memiliki kepandaian yang sulit dilawan mereka.
Keadaan demikian membuat keempat orang yang ditolong Ong Tong Yang jadi berdiri tertegun karena kagum, kemudian mereka berlutut dan menyatakan terima kasih mereka kepada imam tersebut.
Ong Tiong Yang menanyakan kepada keempat orang itu, apa sesungguhnya yang terjadi.
Salah seorang dari keempat orang yang ditolong Ong Tiong Yang berkata, bahwa mereka sesungguhnya hanya terlibat dalam suatu keslahan pahaman belaka. Justru keempat orang ini dari keluarga Khut telah salah tangan melukai dua orang dari keluarga Cien dan juga beberapa orang pengawal mereka. Dengan demikian pihak keluarga Cien telah mengutus puluhan orang untuk membasmi keluarga mereka.
Keempat orang ini bisa melarikan diri tetapi tetap dikejar dan bendak dibinasakan, untung saja Ong Tiong Yang yang menolongi mereka.
Mendengar itu. Ong Tiong Yang menghela napas, katanya dengan suara mengandung sesal: „Begitulah keadaan dunia, selalu dendam yang diributkan. Apa keuntungan dari hasil yang diperoleh karena dikendalikan oleh dendam ?”
„Nah, untuk selanjutnya kalian berempat pergilah menyingkir kesuatu tempat yang jauh, menghindarkan diri dari lawan2 kalian, tetapi selanjutnya kalian harus berusaha agar tidak menimbulkan bentrokan dengan pihak keluarga Cien itu.”
Keempat orang tersebut mengiyakan, dan setelah menanyakan siapa adanya tojin muda yang gagah ini, merekapun pamitan untuk pergi mencari tempat persembunyian.
Seperginya keempat orang keluarga Khui itu, Ong Tiong Yang membebaskan belasan orang dari keluarga Cien itu dari totokannya.
Tojin ini berusaha memberikan pengertian kepada mereka, dikendalikan dendam bukanlah suatu hal yang baik. Hal itu berusaha dikupas oleh Tojin muda ini, memberikan pengertian disamping menyadari orang-orang tersebut. Dan belasan orang itu walaupun penasaran, mereka mengiyakan, karena mereka tahu percuma jika mereka bersikeras dan melawan Tojin itu, karena mereka bukan menjadi tandingan Ong Tiong Yang.
Tetapi mereka menanyakan nama Ong Tiong Yang, kemudian baru berlalu.
—oo0oo—
BAGIAN 38
ONG TIONG YANG
BAGIAN 38.2
SEPERGINYA orang2 itu, Ong Tiong Yang menghela napas panjang, ia menggumam seorang diri : „Peristiwa-peristiwa seperti inilah yang sering terjadi didalam rimba persilatan. Hai………! Untung saja aku memilih jalan untuk mempelajari ilmu silat, sehingga aku bisa membantu pihak yang lemah. Selama dunia masih berputar selalu akan terjadi pertempuran antara orang-orang yang bertentangan paham.”
Setelah berpikir begitu, Ong Tiong Yang menghela napas dalam-dalam.
Dalam keadaan demikian tampak soseorang tengah berjalan dari arah yang berlawanan dengan Ong Tiong Yang.
Tojin muda tersebut memperhatikan keadaan orang itu, yang berpakaian sebagai seorang pelajar berusia diantara lima puluh tahun.
Sambil berjalan pelajar ini bersenandung tidak hentinya.
Sikapnya masa bodoh terhadap keadaan disekelilingnya,
Waktu melihat Ong Tiong Yang, pelajar itu tersenyum dan wajahnya berseri-seri tampaknya ia girang sekali.
„Akhhh…….. tojin muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau ….!” katanya kemudian dengan suara yang mengandung kegembiraan.
„Mari……mari …….mari kita ber-cakap2……..!”
Ong Tiong Yang melihat orang bersikap manis seperti itu, ia juga membalas tersenyum sambil merangkapkan kedua tangannya, katanya : „Siapakah Siecu, dan bolehkah Pinto mengetehui nama Siecu yang mulia ?”
„Aku she Kiang dan bernama Bun, engkau tojin muda, apa gelarmu…..?”
„Aku belum memiliki gelaran, Pinto she Ong dan bernama Tiong Yang…..! itulah nama yang diberikan oleh guruku. Sedangkan nama Pinto yang sebenarnya Wang Cie Thio.”
„Oh, enkau tampaknya seorang tojin muda yang jujur dan polos, karena engkau selalu bicara dari hal yang sebenarnya. Engkau telah memberitahukan kepadaku perihal nama yang diberikan gurumu, dan juga namamu yang sebenarnya, itupun telah cukup menunjukkan bahwa engkau merupakan seorang tojin muda yang memiliki jiwa yang jujur…….!”
Ong Tiong Yang tersenyum sambil merangkapkan sepasang tangannya, ia telah merendah.
Tetapi pelajar itu tertawa sambil mengawasi Ong Tiong Yang, katanya : „Dengarlah tojin muda, kita baru saja bertemu. Sekarang kutanyakan kepadamu, maukah engkau bersahabat denganku ?”
Ong Tiong Yang mengawasi Kiang Bun sejenak, akhirnya pendeta muda ini me nyahuti: „Mengapa tidak? Pinto selalu hendak bersahabat dengan semua orang, dan jika memang siecu hendak mengajak Pinto bicara dari niat yang baik, tentu Pinto tidak keberatan…….!”
„Baiklah Ong Cinjin, sekarang ini kita melanjutkan perjalanan ber-sama2. Kemanakah tujuan Ong Cinjin?” tanya Kiang Bun lagi.
„Belum tahu, Pinto tidak memiliki tempat tujuan, karena Pinto mengembara kemana saja sebawanya kedua kaki Pinto ini,,,,,,,!”
„Bagus….., dengan melakukan perjalanan bersama, tosu menggembirakan sekali, karena kita memiliki kawan biecara bukan?” tanya Kiang Bun lagi.
Ongr Tiong Yang menganggukkan kepalanya kemudian katanya dengan suara yang sabar: „Didalam persoalan bersahabat, memang siecu tentu berhak untuk menentukan siapa-siapa yang berbak menjadi kawan siecu…….”
„Hemm……, engkau pandai bicara, Ong Cinjin! kata King Bun tertawa.
„Baiklah, aku ingin menuju kekota Sun-ciang, dan engkau mau turut denganku atau tidak?”
Ong Tiong Yang mengangguk.
la tertarik sekali pada pelajar ini, karena dilihatnya bahwa Kiang Bun seperti bukan pelajar biasa. Dari matanya yang bersinar tajam menunjukkan bahwa pelajar ini selain tentunya menguasai ilmu surat, juga pasti memiliki tenaga sinkang yang kuat.
Waktu itu hari mulai mendekati siang dan kedua orang ini melakukan perjalanan bersama, Ong Tiong Yang hanya ikut saja kemana Kiang Bun akan pergi, karena memang kebetulan Ong Tiang Yang tidak memiliki arah tujuan yang tetap, dan ia tidak mengetahui harus pergi kemana. Maka dengan melakukan perjalanan bersama Kiang Bun bukankah merupakan halt yang menggembirakan, karena bisa memiliki seorang kawan bicara, sehingga dalam perjalanan ini tidak menimbuikan kesepian?
Kiang Bun ternyata seorang pelajar yang memiliki pengetahuan sangat luas.
la selalu bicara dari hal2 yang menarik.
Tetapi apa yang dibicakannya itu selluruhnya bukan urusan dunia persilatan, yang sama sekali tidak pernah disentuhnya.
Kiang Bun hanya bicara dari soal ilmu surat dan keadaan masyarakat pada saat itu.
Namun Ong Tiong Yang memang memiliki hati yang welas asih, justru cerita Kiang Bun mengenai keadaan di masyarakat menyenangkan hatinya.
Maka ia menimpali percakapan itu dengan gembira.
Sedangkan Kiang Bun ternyata senang sekali bicara, mulutnya tidak pernah bezhenti bicara.
Setelah melakukari perjalanah sekian lama, dan hari hampir menjelang sore, mereka tiba dikota Sun Ciang, sebuah kota yang tidak begitu besar.
Kiang Bun mengajak Ong Tiong Yang singgah disebuah rumah makan, mereka mengisi perut.
Ong Tiong Yang memesan makanan yang tidak berjiwa.
Mereka masih berakap-cakap juga dengan asyik, tarttmpaknya mereka merasa cocok satu dengan yang lainnya.
Kiang Bun juga menceritakan perihal dirinya, dimana ia mengatakan bahwa ia berasal dari Souwciu, dan telah mengembara selama puluhan tahun, karena Kiang Bun memang seorang yang tidak senang berdiam terus menerus disebuah tempat.
„Dengan mengembara, kita bisa memperoleh banyak pengalaman”, kata Kiang Bun sambil tersenyum, Ong Tiong Yang mengangguk. Selama itu Kiang Bun tidak pernah bicara sepatah perkataanpun juga mengenai ilmu silat, hal ini memang membuat Ong Tiong Yang jadi heran dan ber-tanya2 dalam hatinya.
la yakin bahwa Kiang Bun tentu memiliki kepandaian yang tinggi untuk ilmu silat, disamping sinkangnya yang tentunya telah mencapai tingkat yang cukup sempurna, karena sinar matanya yang bersinar tajam sekali.
Akhirnya Ong Tiong Yang tidak bisa menahan perasaan ingin tahunya, ia telah berkata dengan hati2: „Sesungguhnya Kiang Siecu, apa kah menurut pendapat Kiang Siecu seseorang itu penting dan berguna jika belajar ilmu silat ?”
Kiang Bun berhenti tertawa, ia mengawasi Ong Tiong Yang, lama sejenak kemudian baru -menyahut : „Apa maksud pertanyaan Ong Cinjin?”
„Sesungguhnya Pinto tertarik sekali pada ilmu silat, tetapi Pinto belum mengetahui apakah ilmu silat memiliki manfaat yang lebih besar jika kita mempelajarinya…….itulah yang telah membuat Pinto selalu ber-tanya2 pada diri sendiri dan belum lagi memenuhi jawabannya……!”
„Hemmm…..!” Kiang Bun mendengus perlahan, wajahnya yang semula ber-seri2 telah berobah jadi agak muram. la menunduk dalam2 ke mudian baru berkata dengan suara yang perlahan:
„Menurut pendapatku ilmu silat hanya mempersulit diri orang yang bersangkutan, semakin tinggi kepandaian silatnya, tentu semakin sulit lagi ia menempatkan diri dimasyarakat…….”
„Mengapa begitu, Kiang Siecu?” tanya Ong Tiong Yang.
Kiang Bun telah menghela napas lagi, katanya dengan suara yang mengandung hati-hati: „Sesungguhnya Ong Cinjin, seseorang yang kebetulan telah terlanjur mempelajari ilmu silat, teiitu akan membuat dirinya memikul tugas yang tidak ringan, yaitu tugas untuk membela yang lemah, demi peri kemanusiaan.
Coba Ong Cinjin bayangkaa, jika Ong Cinjin mengerti iilmu silat, Ialu kebetulan menyaksikan suatu peristiwa yang tidak adil, apakah Ong Cinjin bisa berdiam diri saja?”
Ong Tiong Yang juga merasa perkataan Kiang Bun ada benarnya, ia mengangguk.
„Benar…… tentu dengan memiliki kepandaian silat, dan dengan jiwa yang bersih dan tulus, tidak bisa kita saksikan kebathilan merajalela!”
„Itulah mengapa aku mengatakan jika seseorang rnempelajari ilmu silat akan membuat ke udukannya sulit didalam masyarakat… !”
„Hemm…., tetapi tidak semuanya, tentunya orang yang mengalami kesulitan seperti itu, ka ena tentu ada orang yang memang ber-cita2 buat melaksanakan cita2l uhur membela orang2 yang lemah dari tindasan sikuat yang jahat, maka mati2an ia mempelajari ilmu silat……..!”
„Itu bagi orang yang memiliki jiwa yang baik dan hati yang bersih, tetapi jika seseorang yang memiliki jiwa jahat dan hati yang kotor apa yang terjadi? Bukankah kepandaian silat itu dipergunakannya untuk melakukan kejahatan?”
Ong Tiong Yang kembali mengangguk, katanya dengan sabar: „Manusia2 seperti itulah yang memang harus disingkirkan……..!”
„Tetapi untuk membatasi siapa yang harus noempelajari ilmu silat. dan siapa yang tidak bi sa mempelajafinya karena memiliki’ jiwa yang jahat, hal ini cukup aulit…!”
„Mengapa begitu Kiang Siecu? tanya Ong Tiong Yang tertarik.
„Karena banyak seseorang yang mempelajari ilmu silat sejak kecil. Waktu itu ia memperlihatkan kelakuan dan jiwa yang baik. Namun setelah ia dewasa dan memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tiba2 muncul sifatnya yang tamak dan sombong, ia mempergunakan kepandaian ilmu silatnya itu untuk melakukan kejahatan.
„Jika terjadi hal itu, apa yang hendak dikata. Terlebih lagi jika orang tersebut juga mati-matian untuk dapat mempelajari semua ilmu silat agar mencapai tingkat yang tertingi, dan juga ber-cita2 untuk menjagoi rimba persilatan.” dengan mengandalkan kepandaiannya, bukankah orang seperti itu membahayakari keselamat orang banyak ?”
Ong Tiong Yang mengangguk sambil mcnghela napas.
„Sayangnya sulit sekali untuk membatasi orang2 seperti itu, karena sulit membedakan yang baik dan jahat, terlebih lagi banyak alasan2 tertentu yang meliputi diri orang seperti itu untuk mempelajari ilmu silat…….!”
„Maka dari itu, sebagai imbalannya, .diperlukan sekali orang yang berjiwa putih bersih dan luhur untuk dididik agar memiliki kepandaian yang tinggi, agar bisa mengimbangi kepandaian orang2 yang busuk itu ……..!”
Ong Tiong Yang membenarkan lagi.
Begitulah, mereka ber-cakap2 dengan asyik, karena keduanya sangat cocok satu dengan yang lainnya.
Disaat itu dari luar rumah makan telah melangkah masuk seseorang.
Ong Tiong Yang dan Kiang Bun menoleh, waktu melihat orang tersebut, Kiang Bun berobah wajahnya.
„Dia…. dia merupakan dedengkot iblis, kita harus berusaha mengelakkan bentrokan dengan orang itu !” kata Kiang Bun dengan suara yang berbisik dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
—oo0oo—
BAGIAN 39
SI WAJAH EMPAT ARWAH BIAN KIE LIANG
BAGIAN 39.1
ONG TIONG YANG jadi tertarik, ia memperhatikan orang baru masuk itu, ialah seorang lelaki yang berpakaian seenaknya dan tidak teratur, rambutnya walaupun dikonde, namun banyak anak rambutnya yang terurai.
Usia orang mungkin telah mencapai enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan mukanya cekung dengan mata yang dalam dan bola mata yang bersinar tajam.
Waktu melangkah masuk orang ini tidak memperhatikan keadaan disekelilingnya, dengan seenaknya ia duduk di sebuah kursi dan menepuk meja cukup keras:
„Mana pelayan….?” tegurnya dengan suaro yang nyaring.
Seorang pelayan cepat-cepat menghampiri untuk menanyakan pesanan orang tersebut, oramg itu memesan lima kati daging dan dua kati arak.
Kemudian sambil menantikan datangnya makanan yang dipesannya, orang tersebut telah ber-nyanyi2 perlahan, sikapnya memang seperti seenaknya dan tidak memandang sebelah mata pada sekelilingnya, tidak mengambil perhatian pada orang2 yang berada didalam ruang rumah makan tersebut.
Disamping itu juga tidak mengacuhkan keadaan tamu-tamu lainnya.
la seperti berada hanya seorang diri ditempat tersebut.
Ong Tiong Yang yang diam2 memperhatikan keadaan orang tersebut, dan Ong Tiong Yang memperoleh kesan tidak begitu menggembirakan, karena tampaknya orang tersebut memiliki sikap yang ugal-ugalan.
Sambil menundukkan kepala dan dengan suara yang perlahan, Ong Tiang Yang bertanya kepada Kiang Bun: „Siapa orang itu?”
Kiang Bun tetap diam dengan menunduk dalam, karena dia seperti tidak ingin dilihat oleh orang tersebut.
„Dia she Bian bernama Kie Liang, kata Kiang Bun dengan suara yang perlahan. Dan sifatnya sangat jahat sekali, aneh dan ugal2an. Tindakannya selalu sekehendak hatinya, jika ia tengah senang, ia tidak membinasakan orang, tetapi jika ia tengah marah dan mendongkol, dia akan membinasakan siapa saja tanpa memperdulikan siapa orang itu. Dia merupakan dedengkot iblis yang menguasai propinsi Hunan, kepandaiannya memang tinggi sekali dan sulit dicari tandingannya.”
„Hemm…., jika memang demikian dia bukan manusia baik2,” kata Ong Tiong Yang,
„Tepat .. , ia memang bukan manusia baik2 tidak ada urusan kejahatan yang tidak dilakukannyaa bahkan orang2 dari jalan hitampun merasa jeri untuk bertemu dia……!”
„Apakah kepandaiannya memang demikian tinggi sehingga tidak ada orang yang bisa menadinginya……?”, tanya Ong Tiong Yang.
„Itulah yang menjadi keheranan buatku, karena beberapa tokoh sakti dari rimba persilatan, seperti beberapa orang Cianpwe, dari Siauw Lim dan Bu Tong, pernah mengeroyok dan bertempur dengannya namun iblis ini bisa mololoskan diri dan tidak berhasil dirubuhkan……..”
Dia bergelar sebagai Sie Hun Bian atau Wajah Empat Arwah.
Maka kepandaiannya memang seperti juga merupakan dari kepandaian empat orang tokoh sakti, seperti yang dibuktikannya walaupun dikeroyok beberapa orang Cianpwe dari Siauw Lim Sie dan Bu Tong, ia tidak berhasil dirubuhkan……!”
„Jika memang demikian halnya, tentu ia malang-melintang tanpa memperoleh tandingan selama ini… !’ kata Ong Tiang Yang…… !”
Kiang Bun menganguk lagi.
„Benar…. dan selama itu pula ia tidak pernah memandang sebelah mata pada orang2 rimba persilatan, sikap maupun perbuatannya selalu seenak hatinya saja, ia tak perdulikan apakah perbuatannya akan disenangi atau dibenci orang tetapi jika ia merasa senang tentu akan dilakukannya segala apapun juga……….!”
„Ilmu dan kepandaian apa yang paling diandalkannya….?” tanya Ong Tiong Yang yang tertarik ingin mengetahui perihal diri Sie Hun Bian.
„Telapak tangannya yang mengandung maut, setiap kali telapak tangannya itu digerakkan, tentu lawannya bisa terluka parah arau terbinasa……. selama ini kesaktian telapak tangannya itu memang belum memperoleh tandingan!”,
„Hemm…, sekarang ia berada disini tentu ingin melakukan sesuatu, bukan ?” tanya Ong Tiong Yang.
„Mungkin, karena biasanya ia jarang meninggalkan tempatnya dihutan………?”
Baru saja Kiang Bun berkata begitu, disaat itulah tampak pelayan telah menghantarkan pesanan Sie Hun Bian.
Pelayan itu meletakkan pesanan tersebut diatas meja.
Kiang Bun berkata dengan suara yang perlahan: „Ia memang sangat kuat minum arak dan makan daging bakar.” dan Kiang Bun mengangkat kepalanya.
Cepat sekali ia menundukkan kepalanya kembali.
Waktu itu tampak Sie Hun Bian berkata dengan suara yang parau kepada sipela yan: „Apakah engkau telah menimbangnya dengan benar bahwa berat daging ini lima kati?”
Pelayan itu tercengang sejenak, tetapi kemudian ia tersinggung.
„Kami telah membuka rumah makan ini puluhan tahun lamanya, dan selama itu kami memiliki nama yang baik. Untuk apa kami mencatuti timbangan daging ini, bukankah kelak jika kami menyebutkan harganya Toaya akan membayarnya?”
Muka Sie Hun Bian jadi berobah, dia menaguwasi dengan bola mata yung merah kepada sipelayan.
„Aku hanya bertanya saja, mengapa engkau jadi tersinggung begitu? bentaknya galak.
„Aku hanya menjelaskan kepada Toaya bahwa pesanan Toaya memang telah kami timbang dengan benar” kata sipelayan kemudian.
Tetapi Sie Hun Bian jadi tidak senang, ia telah memandang sekian lama pada pelayan itu tanpa mengucapkan sepatah katanpun juga. Tetapi waktu sipelayan hendak berlalu karena merasa tidak enak hati didiami begitu saja oleh Sie Hun Bian, mendadak Bian Kie Liang telah berkata dengan dingin: „Diam ditempatmu, jangan pergi dulu…. !”
Pelayan itu jadi merandek, kemudian ia tertawa sinis sambil katanya : „Aku tidak bisa melayani Toaya terus menerus, karena masih banyak yang harus kukerjakan dibelakang…. !”
Dan pelayan itu telah memutar tubuhnya untuk melangkah pergi.
Sie Hun Bian mengeluarkan suara dengusan yang dingin.
Tahu2 ia telah menggerakkan tangan kanannya, tanpa menyentuh pelayan itu ia berhasil menghentak rubuh pelayan tersebut yang terbanting diatas lantai.
Keruan saja pelaysan tersebut jadi mengeluarkan suara teriakan kesakitan.
Dengan penuh kemarahan pelayan itu merangkak bangun.
Saat itu Sie Hun Bian telah berkata dengan stuara dingin: „Jika engkau bersikap kurang ajar lagi, akan kuambil jiwamu……..!”
Dan Sie Hun Bian mulai memakan dagingnya, sambil sekali2 meneguk araknya.
Pelayan itu jadi berdiri dengan sikap serba salah.
la memang marah didalam hati, tetapi tidak berani memperlihatkan kemarahannya itu karena mengetahui bahwa tamunya ini galak sekali. Untuk berdiri terus ditempatnya itu membuat sipelayan jadi tidak enak hati, karena ia mendongkol sekali dan memang tidak biasanya melayani terus menerus pada seorang tamu.
Banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakannya.
Tetapi untuk berjalan meninggalkan meja itu, ia kuatir dirinya akan dibanting pula oleh tamunya yang galak tersebut.
Waktu itu tampak Sie Hun Bian telah tertawa tawar, sambil mengunyah daging, ia telah berkata : Engkau masih tersinggung ?”
Pelayan itu tersenyum pahit.
„Tidak !” katanya sambil menggelengkan kepala dengan sikap serba salah.
„Hemmm……., bagus…….! Jika memang engkau tidak merasa tersinggung lagi, sekarang engkau httarus menuruti perintahku !”
Pelayar itu diam saja, mengiyakan dan juga tidak membantah.
„Minumlah arak ini……..!” kata Sie Hun Bian sambil,mendororg guci araknya.
„Toaya…..aku…. aku….!” pelayan itu benar benar jadi serba salah.
„Minum kataku…. atau engkau hendak kubanting lagi ?”
Muka pelayan itu jadi berobah.
„Ini. . . ini mana boleh… aku hanya pela yan disini… !”
„Tetapi aku yang perintahkan engkau meminum arak tersebut !”
„Tetapi Toaya. . .”
Namun belum lagi habis suara pelayan itu, justru tangan Sie Hun Bian telah, bergerak dan …… Buk. ..!” tubuh pelayan itu terbanting lagi keras, walaupun Sie Hun Bian menggerakkan tangannya itu tanpa mengenai tubuh sipelayan, namun ia berhasil membanting pelayan itu dengan mengandalkan tenaga sinkangnya.
Keadaan demikian telah membuat pelayan itu tambah kesakitan.
Sambil merangkak bangun pelayan itu telah memaki-maki, karena ia-sudah tak bisa menahan kemendongkolan hatinya lagi.
Sie Hun Bian berkata dengan suara yang tawar: „Engkau berani memakiku’?” tanyanya dengan mata yang mendelik lebar-lebar.
Pelayan itu tetap memaki, bahkan ia bilang : „Hemmm……, engkau seenaknya saja mem-banting2 diriku. memangnya aku digaji olehmu ……?. Aku hanya bertugas melayani tamu, bukan untuk dijadikan barang bantingan.
Muka Sie Hun Bian jadi berubah, ia menggerakkan tangan kirinya, mengebut dengan gerakan yang seenaknya.
Tetapi akibat tenaga kebutan tangannya itu justru tubuh pelayan tersebut terbanting lagi sehingga hidungnya menghantam lantai dan darah juga mengucur deras dari hidungnya, giginya rontok satu, mulutnya jadi tebal njembengkak akibat membentur lantai.
Keruan pelayan itu jadi kalap dan memaki kalangan kabut, tampaknya Sie Hun Bian tidak perduli, ia tertawa mengejek sambil mengunyah daging bakarnya lagi.
„Jika engkau masih memaki tidak keruan aku akan menyiksa engkau lebih berat lagi………!” kata Sie Hun Bian dengan suara mengancam.
Pelayan tersebut sebetulnya bendak memaki terus, teapi waktu itu telah datang kasir rumah makan tersebut, yang membungkuk memberi hormat sambil perintahkan pelayan agar pergi masuk kedalam.
„Maafkan kekurang ajaran pelayan kami tuan!” kata kasir itu.
„Memandang mukaku, kiranya tuan mau memaafkan kekurang ajarannya itu……!”
Sie Hun Bian memang memiliki adat yang aneh, bukannya jadi senang, justru dia jadi tersinggung, karena melihat pelayan itu diperintahkan masuk oleh sikasir rumah makan itu.
Dengan menggerakkan tangan kanannya, tubuh kasir itu dipukul terpental ketengah udara.
Perbuatan Sie Hun Bian memang keterlaluan dan Ong Tiong Yang tidak bisa berdiam diri terus.
Ketika melihat tubuh kasir rumah makan itu meluncur akan terbanting, Ong Tiong Yang melompat bangun dari duduknya. la menggerakkan hudtimnya mengibas, dan tenaga luncuran dari tubuh si kasir lenyap.
Dengan mempergunakan tangan kirinya, Ong Tiong Yang mencekal baju kasir itu, dan menurunkan ke lantai sehingga kasir itu tidak sampai terbanting.
Muka Sie Hun Bian jadi berobah waktu melihat seorang tojin muda mencampuri urusan nya, tetapi kemudian ia memperdengarkan suara tertawa dinginnya dan melan jutkan makan daging bakarnya.
Ong Tiong Yang setelah menolongi kasir rumah makan, duduk kembali ditempatnya seperti juga tidak terjadi sesuatu apapun juga.
Kasir rumah makan itu berdiri dengan kaki yang gemetar keras dan wajah yang pucat, karena tadi dia nyaris terbanting dilantai dengan keras kalau saja tidak ditolong oleh Ong Tiong Yang.
—oo0oo—
BAGIAN 39
SI WAJAH EMPAT ARWAH BIAN KIE LIANG
BAGIAN 39.2
SAMBIL mengunyah daging bakarnya Sie Hun Bian menggumam perlahan : „Sungguh berani……, sungguh berani………luar biasa sungguh berani sekali………..!”
Menggumam sampai disitu, tahu-tahu potongan daging yang berada dimulutnya telah di semburkannya dengan keras, dan potongan-potongan daging itu menyambar kepunggung Ong Tiong Yang deras sekali.
Rupanya pada potongan daging tersebut disertai oleh dorongan tenaga sinkang yang kuat, berkesiuran keras menyambar kejaIan darah dipunggung Ong Tiong Yang.
Ong Tiong Yang yang mendengar suara samberan angin dari potongan-potongan daging itu, tidak bangkit dari duduknya, ia tidak berusaha berkelit, hanya mempergunakan hudtimnya mengebut kebelakang, sehingga beberapa potongan daging itu berhasil disampoknya jatuh kelantai.
Namun Ong Tiong Yang kaget sendirinya, karena ia merasakan telapak tangannya pedih sekali ketika hudtimnya itu memukul jatuh potongan2 daging tersebut.
Hal itu membuktikan bahwa tenaga Iwekang Sie Hun Bian memang tinggi, dan membuat Ong Tiang Yang harus bersikap lebib hati2.
Kiang Bun yang melihat cara Ong Tiong Yang meruntuhkan serangan potongan daging yang dilancarkan Sie Hun Bian jadi kaget sendirinya.
Dengan kepala yang masih tertunduk dalam2 Kiang Bun telah berkata perlahan: „Ah……, rupanya Ong Cinjin memiliki kepandaian yang tinggi. Aku situa yang memiliki mata lamur tak bisa melihat tingginya gunung Taisan…….!”
Ong Tiong Yang hanya tersenyum, sedangkan Sie Hun Bian yang penasaran karena serangan potongan daging yang dilancarkannya berhasil diruntuhkan oleh Ong Tiong Yang, duduk tertegun sejenak, kemudian ia berkata dengan suara yang cukup nyaring: „Hemm, dengan demikian kepandaian yang tidak berarti seperti itu engkau hendak bertingkah dihadapan Sie Hun Bian.
Lalu dengan gerakan yang seenaknya tampak Sie Hun Bian melontarkan patahan sumpit itu keras dan kuat, dimana kedua sumpit menyambar lagi kepada Ong Tiong Yang.
Hanya sekarang samberan sumpit itu berbeda dengan samberan potongan daging, selain lebih kuat, juga tempat yang dijadikan sasaran merupakan bagian kepala dan pinggang.
Ong Tiong Yang tahu, ia tidak boleh berlaku ayal, karena jika terlambat sedikit saja salah satu dari patahan batang sumpit itu mengenai sasaran, niscaya ia bisa menderita luka yang tidak ringan.
Tanpa menanti serangan tiba, Ong Tiong Yang berdiri dari duduknya, tubuhnya dimiringkan tahu2 hudtimnya telah digerakkan memukul bergantian pada kedua batang potongan sumpit itu, sehingga potongan sumpit itu telah terjatuh kelantai kembali.
Menyaksikan ini, Sie Hun Bian kian meluap darahnya, ia telah memukul meja dengan keras, sampai piring dan mangkok araknya terpental keatas.
„To jin bau…….. engkau benar2 hendak menantangku, heh ?” teriaknya dengan suara yang dingin, namun dalam suara bentakannya itu terdapat nafsu membunuh yang mengerikan sekali.
Ong Tiong Yang tersenyum sabar, la menghampiri Sie Hun Bian, kemudian merangkapkan kedua tangannya menjura memberi hormat.
„Maafkan, bukan se-kali2 Pinto hendak, mencari urusan dengan tuan…. tetapi tadi tindakan tuan keterlaluan dalam mencelakai kasir dan pelayan rumah makan ini, maka terpaksa Pinto tidak bisa berdiam diri…….!”
Sie Hun Bian tertawa dingin, ia berkata tawar: „Hemm….., engkau rupanya memang merasa angkuh dengan kepandaian yang engkau mililiki itu….., apakah engkau menduga bahwa kepandaian mu itu sudah tidak ada tandingannya lagi? Baiklah, aku hari ini jika tidak bisa memperlihatkan kepadamu, bahwa Sie Hun Bian bukanlah orang yang mudah dipermainkan, untuk selanjutnya percuma aku malang melintang didalam rimba persilatan……!”
Setelah berkata begitu, Sie Hun Bian bangkit berdiri, ia memandang tajam kepada Ong Tiong Yang.
Melihat keadaan sudah demikian rupa, Ong Tiong Yang juga ber-siap2 penuh kewaspadaan karena ia tahu jika sampai dirinya lengab. nis caya ia bisa terluka ditangan Sie Hun Ban yang memang selalu turun tangan tanpa mengenal kasihan.
„Tuan jangan terlalu mengumbar kemarahan, karena itu tidak baik untuk tuan sendiri, kata Ong Tiong Yang sabar.
„Hemm……., engkau tidak perlu menasehatiku, kerbau busuk…!” bentak Sie Hun Bian kian meluap darahnya.
la sebagai tokoh yang terkenal dari kalangan penjahat, yang setiap tingkah lakunya seenak hati dan belum pernah ada orang yang bisa melarang dan mengekangnya, justru sekarang ini ia hendak diberi nasehat oleh seorang tojin muda seperti Ong Tiong Yang, membuat ia jadi murka sekali.
„Engkau memang perlu dihajar…….!” kata Sie Hun Bian yang sudah tidak bisa menahan kemarahan hatinya. la juga bukan hanya berkata saja, karena tangan kanannya telah digerakkan denaan jurus: „Menutup dengan terali besi”, tampak kelima jari tangannya itu terpentang lebar-lebar, ia berusaha menutup kepala Ong Tiong Yang dengan kelima jari tangannya.
Sesuai dengan nama jurus itu, yaitu „Menutup dengan terali besi”, maka kelima jari tangan Sie Hun Bian seperti juga terali2 besi yang akan menutupi kepala Ong Tiong Yang.
Yang luar biasa adalah tenaga menutup dari telapak tangan Sie Hun Bian, karena telapak tangannya itu menyambar kuat sekali dan kelima jari tangannya itu kaku dun keras telah dialiri oleh tenaga lwekang, jika sampai mengenai sasaran, niscaya akan membuat kepala Ong Tiong Yang remuk.
Ong Tiong Yang tidak jeri, karena ia memang telah mempelajari ilmu dari aliran lurus, dimana ketiga orang gurunya memberi pelajaran ilmu yang bersih dan lurus padanya, berbeda dengan ilmunya Sie Hun Bian yang agak sesat tersebut.
Ketika melihat telapak tangan Sie Hun Bian hampir mengenai kepalanya, tampak Ong Tiong Yang mengelak kesamping kanan, tetapi ia tidak berkelit begitu saja, hudtim ditangannya telah dikebutkannya, tangkisan yang dilakukannya itu membuat tangan Sie Hun Bian jadi tergetar keras disaat bulu2 hudtim Ong Tiong Yang membentur tangannya dan berusaha melibatnya.
Keadaan demikian meinbuat Sie Hun Bian tambah marah, iatelah memusatkan tenaga lwekangnya lebih kuat pada kelima jari tangannya, sama sekali ia tidak berusaha menarik tangannya, hanya diteruskan untuk .mefrncengkeram bahu Ong Tiong Yang.
Bian Kie Liang yang bergelar Sie Hun Bian itu memang-benar2 merupakan seorang tokobh sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, karena disamping ia memiliki kepandaian yang aneh, juga kekuatan tenaga dalam yang dimiliki nya sudah mencapai taraf yang tinggi, Ong Tiong Yang sendiri merasakan betapa telapak tangannya jadi sakit, dan ia juga merasakan hudtimnya seperti akan tertarik kena direbut oleh lawannya.
Hal ini membuat Ong Tiong Yang harus mengerahkan seluruh tenaga lwekangnya, dimana tenaga murninya itu disalurkan untuk melindungi Hudtimnya, agar tidak sampai direbut oleh lawannya yang mempunyai tenaga dalam yang kuat dan jurus ilmu silat yang aneh.
Kiang Bun melihat partempuran yang tengah berlangsung antara Ong Tiong Yang dan Bian Kie Liang jadi memandang dengan mata terpentang lebar2, ia mengawasi deagan penuh perhatian.
Disaat itu Ong Tiong Yang merasakan jari tangan lawannya hanya terpisah beberapa dim saja dari bahunya, dan jika saja jari2 tangan Sie Hun Bian berhasil mencengkeram pundaknya, niscaya akan membuat tulang pie-pee nya terancam kerusakan yang cukup parah.
Harus diketahui kalau sampai tulang pie-pee seseorang hancur atau remuk, ilmu silat orang yang bersangkutan akan punah, tenaga pada pergelangan tangannya, berarti tangannya akan menjadi lumpuh.
Hal ini membuat Ong Tiong Yang tidak berayal, ia telah menekuk kedua kakinya, se hingga tubuhnya jadi rendah kebawah, kemudian sambil mengenalkan suara seruan perlahan Ong Tiong Yang menggerakkan Hudtimnya mengghantam kearah perut Sie Hun Bian.
Kalau sampai ujung hudtim dari Ong Tiong Yang mengenai perutnya, niscaya akan membuat perut dari Sie Hun Bian terluka berat dan berarti juga tenaga dalamnya akan tergempur.
Karena itu, Sie Hun Bian tidak berani berlaku ayal, dia menarik pulang tangannya membatalkan cengkeramannya, dan kemudian menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melompat kebelakang. Dengan cara demikian ia berhasil mengelakkan diri dan berkelit dari serangan yang dilancarkan oleh Ong Tiong Yang.
Kiang Bun yang menyaksikan jalannya pertempuran kedua orang tersebut demikian rupa jadi kagum sekali. Semuanya terjadi begitu cepat, dan seperti tidak terjadi suatu perkelahian antara Ong Tiong Yang dan Sie Hun Bian, mereka sepertt juga saling memberi hormat.
Jika memang orang yang tidak mengerti ilmu silat, tentu tidak mengetahui bahwa dalam beberapa detik itu dua orang jago telah mengeluarkan kepandaian masing2 yang hebat, yang membuat salah seorang diantara mereka bisa terbinasa.
Keadaan seperti ini benar2 membuat Kiang Hun jadi duduk bengong, karena ia yakin kepan daian yang dimilikinya tidak sehebat itu.
Diam2 ia merasa malu tadi telah terlalu ba nyak bicara pada Ong Tiong Yang, dimana Ong Tiong Yang membawa sikap seperti juga tidak m.-ngerci ilmu silat.
Sie Hun Bian tertawa dingin, ia berkata ta war: „Apakah kita akan meneruskan pertempu ‘ran kita?” tanyanya.
Ong Tiong Yang tersenyum.
„Tetapi semua itu bukan atas kehendakku, justru Siecu yang telah melancarkan serangan beberapa kali kepada Pinto… memang bukan se-kali2 Pinto hendak bertempur denganmu. .. hanya Pinto mengharapkan agar Siecu dilain waktu tidak selalu cepat marah seperti itu dan menurunkan tangan kejam kepada seseorang yang tidak berdaya……!”
Muka Sie Hun Bian jadi berobah merah, ia marah tetapi ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya itu, karena ia mengetahui bahwa pen deta yang ada dihadapannya ini merupakan la. wan yang tidak ringan. Maka dari itu, Sie Hun Bian yang bernama pian Kia Liang tersebut me nahan kemarahannya, ia memaksakan diri untuk tersenyum, katanya: „Cinjin sebenarnya murid dari pintu perguruan mana ?”
Ong Tiong Yang kerutkan alisnya sejenak, kemudian sambil tertawa ia menyahuti : „Pinto kira hal itu kurang begitu penting buat siecu!”
„Mengapa kurang penting? Bukankah jika memang Cinjin murid dari salah seorang sahabatku; urusan kita akan bisa diselesaikan sampai disini saja…….?”
„Jadi jika Pinto ini murid dari orang yang tidak dikenal oleh siecu, apakah Pinto tidak akan diberi ampun olehmu ?” .
Ditanya begitu Sie Hun Bian tersenyum ngejek.
„Baiklah, jika memang engkau tidak bersedia menyebutkan siapa gurumu, sekarang jawablah pertanyaanku yang satu ini. Apakah Cinjin memang sengaja, hendak memusuhi diriku?”
„Mana berani aku memusuhi diri Siecu, bukankah kita tidak pernah saling berkenalan “
„Hem……., lalu kenapa Cinjin campuri urusanku!”
„Semua itu hanya disebabkan keadilan belaka, dimana Pinto tidak bisa menyaksikan perbuatan yang se-wenang2 dilakukan terhadap orang yang tak berdaya… l”
„Tetapi pelayan itu tadi telah berlaku kurang ajar kepadaku, bukankah pantas jika aku menghajarnya?” tanya Sie Hun Bian yang naik darah lagi.
Tetapi justru Ong Tiong Yang, berkata dengan suara yang sabar :
„Cara untuk menegur pelayan hu bukan dengan hajaran, tatapi cukup dengan memberitahukan saja……kukira dengan diberitahukan saja ia akan mengerti…….!”
Sie Hun Bian mendengus, ia jadi serba salah.
Tetapi disamping tengah, mempertimbangkan kekuatan dan kepandaian Tojin muda ini, juga ia tengah memikirkan apakah akan diteruskannya untuk melancarkan serangan kepada Ong Tiong Yang, atau memang urusan itu dihabisi sampai disitu saja ?
Ong Tiong Yang merangkapkan sepasang tangannya, ia berkata ramah : „Nah, kukira cukup, pinto hendak kembali kemeja pinto……. !”
Dan tanpa menantikan jawaban dari Sie Hun Bian, tampak Ong Tiong Yang ,telah memutar tubuhnya, ia kembali kemeja Kiang Bun,
Waktu itu Kiang Bun berkata sambil memperlihatkan jari tangannya : „Hebat kau Totiang……..kepandaianmu luar biasa…. !”
Tetapi Ong Tiong Yang tersenyum lebar, ia bilang dengan suara yang merendah : „Itu hanya kepandaian biasa saja, ilmu mengebut lalat….!”
Justru kata2 Ong Tiong Yang yang merendah diri itu telah didengar oleh Sin Hun Bian, membuat marah Bian Kie Liang jadi meluap lagi, tahu2 ia memukul meja dengan keras.
„Brakkk……..!” meja itu telah dipukulnya kuat sekati.
„Hidung kerbau kurang ajar……!” bentaknya.
„Mari kita bertempur seribu jurus lagi… .!” Dia menantang sambil berdiri.
Ong Tiong Yang jadi menoleh dan katanya derngan tawar: „Mengapa harus berangasan seperti itu Siecu?”
„Engkau menganggap diriku sebagai lalat? Hayo buktikan, apakah aku seekor lalat yang begitu mudah dikebut oleh hudtimmu……!”
Ong Tiong Yang baru tersadar, bahwa perkataannya itu justru didengar oleh Sie Hun Bian.
Cepat2 Ong Tiong Yang bangkit dari duduk nya, ia merangkapkan tangan memberi hormat.
„Maaf, sama sekali aku tidak bermaksud menyindir Siecu, aku hanya mengatakan kepada sahabat Pinto ini, bahwa kepandaian yang dimiliki itu bukan kepandaian yang berarti……….!”
Waktu Ong Tiong Yang berkata sampai tisitu. tiba2 dari luar melangkah masuk seseorang. Semua mata menoleh, dan ruangan rumah makan tersebut seketika tersiar bau harum semerbak, karena yang memasuki ruangan rumah makan itu tidak lain seorang gadis yang memiliki paras sangat cantik.
Ong Tiong Yang yang melihat gadis secantik itu, diam2 telah mengucapkan doa untuk dapat menenangkan goncangan hatinya.
Sebagai seorang pendeta muda, dengan sendirinya melihat seorang gadis yang begitu cantik, membuat hatinya tergoncang, benar2 merupakan suatu dosa buat Ong Tiong Yang. Dan ia tidak berani memandanginya terlalu lama, walaupun dihatinya ia heran sekali bahwa didunia ini ternyata terdapat gadis secantik itu.
Sedangkan gadis yang baru datang tersebut, mengenakan pakaian warna biru dan memakai ikat pinggang berwarna merah, dengan di ujung satunya diganduli oleh sebuah ukiran kepala burung Hong, dan juga ujung yang satunya lagi diganduli oleh sebuah bentuk bola kecil yang berkilauan karena terbuat dari emas, telah melangkah menghampiri sebuah meja, dan memesan makanan kepada pelayan.
Sie Hun Bian sendiri yang melihat gadis cantik itu, untuk sejenak tidak memperhatikan Ong Tiong Yang, karena matanya memandang tidak berkedip kepada sigadts itu.
—oo0oo—
BAGIAN 40
LIE SIU MEI SI GADIS CANTIK
SAMA SEKALI sigadis tidak memperlihatkan sikap yang canggung walaupun ia menjadi pusat perhatian dari orang2 didalam ruang rumah makan tersebut.
Waktu itu tampak Kiang Bun sudah berkata dengan suara yang setengah berbisik : „Lihatlah Totiang, betapa cantiknya gadis itu……….!”
Pipi Ong Tiong Yang berobah merah, ia hanya mengangguk dan duduk kembali dikursinya.
Sedangkan Sie Hun Bian juga telah kembali duduk, tetapi matanya tidak lepas-lepas mengawasi gadis tersebut.
Disaat itu, sigadis telah berkata dengan suara yang merdu: „Aku minta cepat disediakan dua kati teh dan dua buah bakpauw !”
Sipelayan dengan cepat melayani apa yang dipesan sigadis.
Pelayan itu yang menyaksikan kecantikan gadis tersebut juga seperti lenyap semangatnya, ia berjalan dengan tubuh yang terhuyung, seperti juga orang yang telah kehilangan semangat.
Sigadis kemudian memandang sekelilingnya, menyapu semua orang yang berada didalam ruangan itu.
Sedangkan saat itu tampak Ong Tiong Yang tengah mencuri pandang kearah sigadis. KebetuIan sekali sigadis tengah memandangnya. Dengan sendirinya mata mereka saling bertemu. Tetapi sigadis tidak mengalihkan pandangannya ia terus memandangi Ong Tiong Yang.
Keruan saja Pipi Ong Tiong Yang jadi berobah merah, ia cepat membuang pandangannya kelain arah, sedangkan hatinya tergoncang cukup keras.
Sigadis tiba2 telah bangkit dari duduknya menghampiri Ong Tiong Yang.
Waktu telah dekat, ia merangkapkan kedua tangannya memberi hormat sambil kstanya: „Totiang, bisakah aku meminta sedikit pertolongan darimu…….?”
Hal ini membuat Ong Tiong Yang jadi sibuk sekali, ia cepat2 bangkit dari duduknya.
Dibalasnya hormat sigadis dengan merangkapkan kedua tangannya juga, katanya: „Pertolongan apakah yang bisa kuberikan untuk nona?”
„Aku hanya ingin menanyakan sesuatu kepada Totiang dan ingin memperoleh sedikit penjelasan…….!” sahut sigadis.
„Soal apakah itu, nona? tanya Ong Tiong Yang dengan hatid yang mulai tidak tenang. Sigadis terlampau cantik, jarang sekali Ong Tiong Yang melihat ada gadis secantik gadis tersebut.
Maukah Totiang duduk semeja denganku agar aku bisa menjelaskan urusan itu per-lahan2 ?” tanya sigadis.
Mendengar gadis itu memintanya untuk pindah kemeja sigadis, muka Ong Tiong Yang jadi berobah merah.
la melirik kepada Kiang Bun.
Waktu itu Kiang Bun tengah mengawasinya, dan ketika Ong Tiong Yang melirik kepadanya, ia mengedipkan matanya, membuat muka Ong Tiong Yang kian berobah merah.
„Maafkanlah Siecu, aku harus menemani nona ini dulu” kata Ong Tiong Yang.
Kiang Bun mengangguk cepat sambil tertawa
„Si!ahkan……silahkan, aku tidak keberatan !” katanya.
Mendengar Kiang Bun mengijinkan, maka Ong Tiong Yang mengikuti sigadis, pindah kemeja gadis itu. Sedangkan gadis tersebut tampaknya girang sekali melihat Ong Tiong Yang tidak keberatan pindah kemejanya.
Tangan sigadis telab dilambaikan memanggil pelayan, ia memesan dua kati teh lagi dan dua buah bakpau yang tidak memakai isi.
Pesanannya itu akan disediakan untuk tamu undangannya ini.
„Urusan apakah yang hendak nona tanyakan ?” tanya Ong Tiong Yang yang jadi tidak enak hati kalau berdiam diri ber-lama2.
Gadis itu tersenyum manis sekali.
„Waktu aku memasuki ruang rumah makan ini, aku melihat Totiang, maka diwaktu itu aku yakin Totiang tentu bisa memberikan keterangan kepadaku……. sedangkan orang2 lainnya yang berada dalam ruangan ini seperti bukan manusia baik?, hanya Totiang seorang pendeta yang beragama, tentunya bisa memberikan keterangan yang sejujurnya dan sebenarnya…….!”
Mendengar perkataan gadis tersebut, Ong Tiong Yang agak tenang.
„Katakanlah nona, apakah yang hendak ditanyakan nona ?” tanya Ong Tiong Yang.
„Sesungguhnya aku tengah mencari jejak seseorang,” menjelaskan gadis itu.
„Mencari jejak seseorang ?” Gadis itu mengangguk.
„Tepat ! Tetapi ketika orang itu memasuki kota ini, justru ia telah lenyap tanpa mininggalkan jejak, sehingga aku kehilangan jejaknya, yang hendak kutanyak kepada Totiang, apakah Totiang melihat orang itu…….?”
„Siapakah yang nona maksudkan ?”
„Seorang pemuda, berusia dua puluh tahun memakai baju berwarna kuning……..!”
„Tetapi…… sulit Pinto memberikan keterangan, tentunya banyak sekali pemuda yang mengenakan pakaian serupa itu dikota ini……..!”
„Namun pernuda itu memiliki tanda2 tersendiri, yaitu wajahnya sangat tampan, Disamping itu ia juga merupakan seorang pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi.
Kulihat : „Totiang memiliki kepandaian yang tinggi, matamu memiliki sinar yang tajam, tentunya Totiang bisa melihat pemuda itu dengan baik, yaitu pemuda yang memiliki kepandaian atau yang tidak……..!”
Ong Tiong Yang berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat.
Tetapi justru ia tidak berhasil untuk mengingat apakah ia pernah bertemu dengan orang yang dimaksudkan sigadis. Maka ia berkata sambil menggelengkan kepalanya : „Sayang sekali aku belum pernah bertemu dengan pemuda yang nona maksudkan itu…..!”
Kalau demikian kata gadis itu kemudian. „Baiklah, terima kasih atas keterangan Totiang, sayang Totiang tidak bertemu dengan orang yang tengah kucari itu…….!”
„Apakah nona memiliki urusan yang cukup penting dengan pemuda itu ?” tanya Ong Tiong Yang.
Muka sigadis jadi berobah merah, tetapi ia mengangguk cepat.
„Ya,” :sahutnya.
„Kalau memang demikian, biarlah Pinto bantu mencari jejak pemuda itu. Apakah pemuda itu sahabat nona atau memang orang yang nona musuhi ?”
„Ia. . , ia sahabatku. ….!”
„Baiklah, Pinto bersedia membantu nona untuk mencari jejak sahabat nona itu……!”
„Terima kasih Totiang….. siapakah gelaran Totiang ?” tanya sigadis.
Ong Tiong Yang tersenyum sambil katanya: „Pinto belum memiliki gelaran, karena Pinto masih muda dan belum berhasil mempelajari agama Pinto dengan baik. Sedangkan nama Pinto Ong Tiong Yang………!”
„Ohhh……….!”
„,Apakah ada sesuatu yang janggal pada nama Pinto ?7″ tanya Ong Tiong Yang ketika melihat sigadis memperlihatkan wajah yang agak luar biasa dan sepasang alisnya itu mengerut dalam-dalam.
Ditanya begitu, sigadis berkata dengan suara ragu2: „Aku…. aku seperti pernah mendengar nama itu……..!”
Ong Tiong Yang tersenyum.
„Di mana nona pernah mendangar nama Pinto……..?”
Tetapi gadis itu telah menggeleng.
„Entahlah, aku tidak mengingatnya lagi.” Disaat itu Ong Tiong Yang hendak mengundurkan diri untuk kembali kemeja Kiang Bun. Namun pelayan justru telah mengantarkan makanan yang dipesan sigadis.
„Sayang jika totiang tidak memakannya, jika memang Totiang tidak menerima undanganku untuk menjamu totiang, berarti totiang tidak mau memberi muka kepadaku….!!’
„Tetapi…. !” suara Ong Tiong Yang ragu2.
Sigadis tersenyum sambil mengambil sebuah bakpauw dan mulai memakannya.
Sikapnya manis dan terbuka sekali.
Ong Tiong Yang tidak bisa menampik untuk menemani gadis itu bersantap.
Setelah menghabiskan sebuah bakpauwnya dan baru saja Ong Tiong Yang bermaksud meninggalkan meja gadis ini, justru sigadis telah memandang kearah pintu rumah makan itu.
Di waktu itu seseorang melangkah masuk, Ong Tiong Yang juga ikut meliriknya, ia melihat seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dengan memakai baju warna kuning melangkah masuk ! Seketika Ong Tiong Yang menduga pemuda inilah yang tengah dicari oleh gadis itu.
Tetapi waktu itu sigadis menundukkan kepalanya dalam-dalam, iapun berkata dengan suara yang perlahan : „Biarkan saja dia, jangan sampai ia melihat diriku,” kata sigadis.
Melihat sikap sigadis, Ong Tiong Yang jadi heran.
la menatap dengan sorot mata tidak mengerti, sampai akhirnya setelah pemuda berbaju kuning itu memiliki bentuk tubuh tegap dan wajah tampan telah mengambil tempat duduk membelakangi mereka, Ong Tiong Yang bertanya dengan suara perlahan : „Apakah pemuda itu yang tengah dicari oleh nona ?”
Sigadis mengangguk.
„Ya…. tetapi aku tidak man memperlihatkan diri padanya ditempat ini, sahut sigadis.
„Siapa nama pemuda itu ?” tanya Ong Tiong Yang jadi tertarik.
„Dia she Auwyang bernama Hong….!” menjelaskan gadis itu.
„Ohhhh ……!”
„Kepandaiannya tinggi sekali, kita harus, bicara perlahan, jangan sampai ia mendengar, karena pendengarannya sangat tajam …….!” kata gadis itu lagi,
„Siapa nona sebenarnya ?”
Gadis itu tersenyum, untuk sejenak ia tidak menyahuti pertanyaan Ong Tiong Yang.
Sedangkan Ong Tiong Yang yang telah terlanjur menanyakan nama gadis itu, jadi berobah mukanyanya, karena dia merasa lancang telah menanyakan langsung nama seorang gadis yang baru dikenalnya.
„Aku she Lie dan bernama Sin Mei,” menjelaskan sigadis akhirnya.
„Nona Lie,” kata Ong Tiong Yang.
„Apakah engkau tidak mau menemui sahabatmu sekarang saja? Bukankah kelak jika ia sempat pergi engkau akan sulit mencari jejaknya lagi?”
Tetapi sigadis telah menggelengkan kepalanya dan ia berkata: „Tidak,” dan kemudian menghela napas dengan wajah yang berobah seperti juga, ia memiliki kesulitan.
Ong Tiong Yang menyaksikan hal itu jadi heran, ia bertanya lagi: „Apakah nona tengah ribut dengan pemuda itu?”
Ong Tiong Yang bertanya seperti itu karena ia menduga tentu sigadis adalah kekasih pemuda berbaju kuning yang katanya bernama Auwyang Hong tersebut.
Kembali gadis itu telah menggelengkan kepalannya.
„Apakah ada alasan lainnya? tanya Ong Tiong Yang semakin tertarik ingin mengetahui.
„Aku benci akan sifatnya yang angkuh………” kata sigadis.
Jawaban si gadis tersebut membuat Ong Tiong Yang tambah heran.
„Bukankah nona telah mencari jejaknya dengan bersusah payah ……. ?” Mengapa nona harus membencinya? Bukankah dengan mencari jejaknya berarti nona mau bertemu dengannya?”
Ditanya begitu, muka sigadis she Lie itu jadi berobah merah lagi.
„Totiang, maukah engkau menolongi aku sekali lagi ?” tanya Lie Siu Mei,
Ong Tiong Yang tidak segera menjawab pertanyaan sigadis, ia hanya mengawasi sigadis.
„Bagaimana Totiang ?” tanya Lie Siu Mei seperti tidak sabar.
„Baiklah,” sahut Ong Tiong Yang.
„Katakanlah nona, bantuan apa yang bisa kuberikan untuk nona ?”
Sigadis ragu2 sejenak, tetapi kemudian ia menyahuti juga, dengan suara yang perlahan : „Totiang temui pemuda itu, kemudian belajar kenal daengannya….”
„Untuk apa ?” tanya Ong Tiong Yang terkejut dan heran memotong perkataan sigadis.
„Jika memang Totiang berhasil berkenalan dengannya, maka disaat itulah Totiang bisa me-mancing2 apakah ia menaruh perhatian…….perhatian kepadaku……..!”
Waktu mengucapkaa kata-katanya yang terakhir itu, wajah sigadis berobah merah, tampaknya ia likat sekali.
Ong Eiong Yang tersenyum, seketika ia mengerti maksud gadis ini.
„Baiklah,” kata Ong Tiong yang kemudian „Kalau begitu, tentu, persoalan yang tidak terlalu sulit……..!” setelah berkata begitu, Ong Tiong Yang meneguk habis tehnya dan bangkit berdiri,
Tetapi Lie Siu Mei telah berkata dengan suara yang perlahan : „Tunggu du!u Totiang, ada yang perlu kujelasksn…….. !” kata sigadis:
Ong Tiong Yang duduk kembali.
„Apa yang hendak nona katakan ?” tanyanya kemudian.
,,Totiang harus berusaha mencari jalan untuk dapat berkenalan dengannya dan mencari akal agar bisa membawa pembicaraan kearah diriku…!” pesan sigadis.
„Ya, itu tidak terlalu sulit,” kata Ong Tiong Yang.
„Tetapi Totiang, begitu Totiang tengah menghampiri pemuda itu, aku akan segera menyelinap keluar meninggalkan ruangan ini. Nanti hasilnya boleh totiang sampaikan kepadaku malam ini, akan kunantikan totiang dipintu kota sebelah berat.”
Ong Tiong Yang mengangguk.
Gadis itu demikian cantik, dan tampaknya ia mencintai pemuda berbaju kuning yang katanya bernama Auwyang Hong itu.
Namun rupanya gadis tersebut memiliki kesukaran untuk menyampaikan isi hatinya, sehingga ia telah meminta bantuan Ong Tiong Yang. Untuk pertolongan seperti itu tentu saja Ong Tiong Yang tidak akan menolaknya, yang tentunya akan mengecewakan si gadis, terlebih lagi memang urusannya pun merupakan urusan yang ringan sekali.
-----------------------------------------------------------------------------------------
<<< Kembali Ke Bagian 35 | Bersambung Ke Bagian 40-50 >>>
------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Kutipan : pustakaceritasilat
Post A Comment: