OEY YOK SU

MARI kita tinggalkan Auwyang Hong, kita menengok kekampung Bu-sai yang terletak didaerah Kanglam. Kampung itu merupakan perkampungan yang tenang, tenteram, dimana para penduduknya hidup dengan bercocok tanam.
Sudah sering dikemukakan terkenalnya akan keindahan alam di Kanglam, gadis-gadis Kanglam terkenal akan kelembutannya. Tetapi diperkampungan itu, tidak terlihat gadis-gadis, hanya terdiri dari orang-orang tua dan lelaki bertubuh tegap, karena mereka umumnya jika memiliki puteri, selalu diberikan kepada orang. Untuk suatu keluarga di Kampung itu, mereka hanya menghargai jika isteri-nya melahirkan seorang anak lelaki. Tidak mengherankan jika diperkampungan tersebut tidak ada gadis-gadis muda belia, karena mereka umumnya diberikan kepada penduduk dikota-kota yang membutuhkan anak wanita.
Dalam sebuah keluarga Oey, terdapat suatu kelainan dari keadaan penduduk lainnya, karena keluarga ini memiliki dua orang puteri dan seorang putera. Ketiga anaknya itu dibesarkan tanpa dibeda-bedakan oleh Oey Han, sang ayah. Bahkan puteri-puterinya telah diberi pelajaran menyulam, sedangkan Oey Yok Su, sang putera, telah diajarkan bagaimana melukuh tanah, mengolah danrt memelihara padi-padi yang harus ditanam, sehingga memperoleh panen yang baik.
Oey Yok Su merupakan seorang anak lelaki berusia dua belas tahun yang memiliki sifat pendiam, jarang sekali dia bicara jika tidak perlu benar. Disamging,itu sifatnya juga keras sekali, jika dia sudah tidak menghendaki sesuatu, walaupun dipaksakan dia tidak pernah mau menerimanya. Oey Han sebagai seorang ayah yang baik, telah mengenal watak anaknya yang seorang ini dan mengatur serta mendidiknya dengan kelembutan.
Pagi itu seperti biasa Oey Yok Su ikut ayahnya pergi keladang mereka, untuk melukuh tanah, dan menyebarkan bibit padi yang baik, dimana mereka telah memilihnya bibit unggul sebagai tanaman mereka.
Rajin sekali anak lelaki itu membantu ayahnya, jarang dia berhenti bekerja, jika ayahnya yang tidak meminta agar Oey Yok Su beristirahat.
Sedang ayah dan anak itu sibuk, diladang mereka, tiba-tiba dipematang sawah mereka lewat seorang niekouw, pendeta wanita, yang membawa hudtim (kebutan untuk pendeta) ditangan kanannya.
„Orang she Oey !” tiba-tiba niekouw itu telah memanggil dengan suara yang nyaring.
Oey Han heran, dia menoleh dan bertanya:
„Sienie memanggil aku ?” tanyanya.
„Ya, kemari kau…!” .
Oey Han mengangguk ragu, dia menghampiri dengan mata memandang bertanya-tanya. Dia tjdak mengerti apa maksud niekouw itu memanggilnya.
„Ada apa, Sienie ?” tanya Oey Han akhirnya sambil mendekati niekouw itu.
„Aku ingin bertanya, apakah engkau yang memiliki dua orang puteri ?” tanya niekouw itu.
Oey Han tambah heran, sedangkan Oey Yok Su hanya berdiri dikejauhan memandang tidak mengerti, mengapa niekouw itu mengetahui she ayahnya.
„Benar……. ada sangkutan apakah dengan Sienie ?” tanya Oey Han.
„Penduduk kampung ini umumnya tidak, mau memelihara anak perempuan”, kata niekouw tersebut. „Dan hanya engkau yang memelihara terus kedua puterimu. Itulah suatu kelainan yang menyolok sekali. Bisakah kau menjelaskan dengan alasan apa engkau memelihara terus kedua puterimu itu. ?”
„Aku menyayangi mereka, sebagai seorang ayah aku tidak tega jika mereka diberikan kepada orang lain…….!”.
„Bagus….. ! Tetapi aku justru hendak meminta kedua puterimu itu !”
Oey Han terkejut.
„Siapakah Sienie ?” tanyanyn.
„Aku Tok Han Sienie..,!”.
„Hemm……., sesungguhnya aku tidak kenal dengan Sienie, tetapi Sienie telah mengetahui aku she Oey! Dari manakah Sienie mengetahuinya?”
„Aku mendengar dari penduduk kampung ini…….!” menyahuti niekouw itu.
„Maafkan Sienie, aku tidak bisa menuruti dan mengabulkan permintaanmu …… biarlah kedua puteriku itu kurawat terus……!” kata Oey Han.
„Aku sudah mengatakan, aku senang sekali kepada kedua puterimu itu….apakah engkau tidak merasa kasihan jika kedua anak yang manis itu hanya bisa menyulam belaka……? Bukankah lebih baik diberikan kepadaku, sehingga mereka akan kudidik berbagai ilmu ?”.
„Tidak bisa Sienie…….kami sudah tidak mungkin berpisah…….!”
Niekouw..itu tertawa-sinis.
„Jadi engkau menolak permintaanku ?” tanya niekouw itu.
„Ya ………!”
„Jika engkau menolak, berarti aku harus mengambilnya dengan kekerasan…!”
Mata Oey Han jadi berobah bersinar terang, hatinya mendongkol sekali. .
„Sienie, aku menghormatimu sebagai seorang pendeta suci yang tentunya tidak akan melakukan hal2 yang tidak pantas……..” kata Oey Han.
„Aku memang tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas, tetapi justru aku hendak mendidik kedua orang puterimu itu……”
„Tidak sienie, aku tidak bersedia mengabulkan permintaanmu…!” kata Oey Han.
„Baiklah jika memang begitu…!” dan setelah berkata begitu, niekouw ini- mengibaskan hudtimirya, „Wutt…….!” bulu hudtim itu menghantam dada Oey Han, menyebabkan lelaki ini terhuyung mundur dan memuntahkan darah-sebagai Niekouw itu, Tok Han Sienie telah tersenyum mengejek.
„Sekali lagi engkau mengatakan tidak bisa mengabulkan permintaanku, dan sekali saja aku mengibaskan hudtimku ini, maka disaat itu jiwamu akan melayang tidak terampuni lagi…!” kata niekouw itu.
Muka Oey Han jadi pucat pasi, sedangkan Oey Yok Su jadi terkejut melihat peristiwa yang menimpah ayahnya, dia, menghampiri ayahnya sambil memegangi kedua tangan orang tuanya, dia berkata : „Kenapa kau ayah ?”.
„Niekouw itu…. niekouw itu….! jahat sekali….. dia telah melukai aku…!” menjelaskan Oey Han.
„Hei pendeta yang tidak tahu aturanI !” bentak Oey Yok Su berani sekali.
„Mengapa engkau melukai ayahku ?”
„Engkau anak yang masih bau kencur, lebih baik engkau tidak mencampuri- urusan ini……..” kata niekouw itu.
Tetapi Oey Yok Su memang memiliki adat yang keras, semakin niekouw itu memperlihat kan sikap yang sinis dan kurang ajar, Oey Yok Su semakin keras pula bertanya : „Tetapi engkau tidak mengenal aturan, ayahku yang tidak bersalah apa-apa telah engkau lukai seenakmu saja.,,,,..!” dan setelah berkata begitu, Oey Yok Su tahu-tahu menyeruduk dengan kepalanya akan menyeruduk perut niekouw tersebut.
Tetapi niekouw itu tertawa dingin, dia telah mengelakkan diri kesamping, dan waktu tubuh Oey Yak Su nyelonong terus, dia menepuk perlahan pundak anak itu, tidak ampun lagi Oey Yak Su terpental dan terjerambab mencium tanah, jatuh dipengempang air ditanah yang menyerupai lumpur. Waktu anak itu bangkit kembali, seluruh tubuhnya telah kotor tidak keruan oleh lumpur sawah itu.
Tetapi Oey Yok Su sudah tidak memperdulikan keadaan dirinya, dia telah mengeluarkan teriakan marah dan menghampiri lagi Tok Han Sienie, dengan cepat dia mengayunkan kepalan tangan kanannya yang kecil untuk memukul nie-kouw itu.
Tetapi niekouw tersebut mana mau membiarkan tubuhnya kena dipukul tangan Oey Yok Su yang berlumuran tanah sawah yang kotor itu ? Dengan cepat niekouw itu telah mengelakkan dirinya kesamping.
Oey Yok Su yang menduga bahwa pukulan tangannya itu tidak mungkin bisa mengenai sasarannya, dia menubruk dan tahu-tahu telah memeluk pinggang niekouw itu.
Niekouw tersebut jadi mengeluarkan seruan keras, karena terkejut, dia mengangkat tangan kanannya, lalu mencengkeram lengan kanan Oey Yok Su.
„Jika engkau tidak mau melepaskan pelukanmu, biarlah aku akan melemparkan engkau, kubanting sampai menemui ajalmu…….!” ancam niekouw itu dengan suara yang tajam.
Tetapi Oey Yok Su tidak memperdulikan, dia memeluk semakin keras, bahkan tahu-tahu mulutnya telah terpentang, dia menggigit perut niekouw itu.
Keruan saja.siniekouw jadi kesakitan, dia memukul pundak anak itu.
Tetapi Oey Yok Su tidak memperdulikan perasaan sakit dipundaknya itu. Dia menggigit tambah keras, tidak-mau melepaskannya.
Niekouw itu jadi kelabakan, karena semakin lama perasaan sakit itu terasa sampai menusuk hatinya.
„Anak setan kau…!” bentak niekouw itu, „engkau rupanya sudah bosan hidup…!” dan niekouw itu telah menggerakkan hudtimnya ingin menghajar kepala Oey Yok Su. Jika hudtim itu mengenai kepala Oey Yok So, tentu anak itu akan terbinasa, atau setidak-tidaknya akan gegar otak, karena serangan hudtim itu disertai tenaga sinkang yang tinggi dan kuat.
Tetapi belum lagi hudtim itu mengenai kepala Oey Yok Su, tiba-tiba terdengar suara orang berkata lembut : „Jangan mencelakai anak itu…”
Siniekouw jadi menahan meluncurnya Hudtim ditangannya, dia telah menoleh, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tengah berdiri didekatnya. Entah sejak kapan orang itu berada ditempat itu, tidak diketahui oleh siniekouw.
Rambut orang itu terurai tidak terurus, tampaknya kotor sekali, dan pakaiannya juga agak aneh, dia memakai baju berkembang-kembang, tetapi potongannya tidak keruan macam.
„Engkau…?” niekouw itu bertanya agak terkejut.
„Ya, aku situa dari pegunungan…… menyahuti orang tua itu.
„Engkau…engkau si tua dari pegunungan ?” tanya niekouw itu dengan suara yang mengandung porasaan terkejut.
„Tidak salah……..ampuni anak itu…….!”
„Tetapi…… dia masih menggigitku terus….!” kata niekouw itu.
„Anak yang baik, lepaskan gigitanmu…!” kata orang tua dari pegunungan itu dengan suara yang lembut.
Oey Yok Su melepaskan gigitannya, sedangkan siniekouw telah cepat-cepat, melompat mundur.
„Mengapa engkau mencampuri urusanku ?” tanya niekouw itu.
„Tok Han Sienie, engkau meminta anak orang, lalu sang ayah tidak mengijinkan, mengapa engkau memaksanya terus, bahkan melukai sang ayah itu ? Apakah caramu ini menurut aturan Kang-ouw ?”
Ditanya begitu, Tok Han Sienie telah berobah mukanya mejadi merah. jeri untuk berurusan deagan kau…!”.
„Akupun tidak mengatakan engkau jeri berurusan denganku,, hanya aku ingin meminta ke-padamu agar engkau tidak tertalu mendesak orang she Oey itu……”
„Hemm….., Kim Ie Seng, engkau rupanya mengandalkan namamu yang menggetarkan rimba persilatan untuk menggertak aku? Jika engkau ingin membela mereka, majulah, aku tidak gentar menghadapimu……”
Dan setelah berkata begitu, tampak Tok Han Sienie telah mempersiapkan hudtimnya dengan sikap bersiap sedia untuk menerima serangan.
Orang tua dari pegunungan Kim le Seng telah tertawa.
„Apakah hanya soal sekecil ini engkau ingin bertempur denganku ?” tanyanya.
„Ya, majulah! Aku tetap ingin meminta kedua orang anak perempuan orang she Oey itu, aku bermaksud mendidik mereka, mengambilnya menjadi muridku …… mereka memiliki bakat yang baik sekali ! Jika engkau bisa merubuhkan aku, akan kubatalkan maksudku itu, tetapi jika engkau tidak berhasil merubuhkan aku, hemm…., hemm…., sejak saat itu engkau jangan mengganggu aku lagi……….!”
Kim Ie Seng tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring, lalu dia berkata dengan suara yang dingin :
„Jika engkau bisa bertempur denganku lebih dari sepuluh jurus, hitung-hitung aku yang telah kalah !” kata Kim le Seng kemudian.
Mendengar perkataan Kim le Seng seperti itu, tampak muka Tok Han Sienie berobah tidak senang:
„Engkau jangan terlalu takbur dan sombong, Kim Ie Seng, walaupun belum tentu aku bisa merubuhkan dirimu, tetapi engkaupun tidak mungkin bisa merubuhkan diriku…!” dan selesai berkata, tahu-tahu niekouw itu telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat menerjang, sambil mengayunkan Hudtimnya. „Terimalah seranganku…….!”
Tetapi kebutan Hudtimnya yang mengincer kepala Kim le Seng itu tidak berhasil mengenai sasaran, karena dengan gerakan perlahan, tetapi gesit, tampak. Kim le Seng berhasil me-, n;lelakkan diri.
„Sudah, satu jurus! Jika sampai tiga jurus engkau tidak bisa merubuhkan diriku, disaat itu aku baru akan menyerangmu……..!”
„Ya ….., ini jurus kedua !” bentak Tok Han Sienie sambil menggerakkan tangan kanannya menggerakkan hudtimnya untuk menyerang bagian dada, sedangkan tangan kirinya meluncur akan menepuk kepala Kim le Seng.
Tetapi Kim le Seng dengan gerakan “Lee le Ta Tong” atau “Ikan Gabus Meletik.” tahu-tahu tubuhnya, telah melompat ketengah udara, dan sambil melompat dia mengulurkan tangannya untuk merebut Hudtim niekouw itu.
Cepat-cepat Tok Han Sienie menarik pulang hudtimnya, dia berkelit kesamping, lalu membarengi lagi untuk melancarkan serangan dengan tangan kirinya memukul kearah tulang selangka (piepe) dibahu Kim le Seng. „Inilah jurus yang ketiga…!” kata Kim le Seng. „Dan engkau bersiap-siaplah, karena aku akan segera melancarkan serangan, aku jamin, sebelum sepuluh jurus, engkau sudah dapat kurubuhkan…….!” dan selesai berkata, Kim le Seng tidak berdiam diri tangan kanannya digerakkan untuk merampas Hudtim niekouw itu, sedangkan tangan kirinya mendorong dengan kuat sekali, dorongan yang bisa menghancurkan batu.
Niekouw itu jadi terkejut dan cepat-cepat berkelit. Tetapi tangan kiri Kim le Seng seperti meluncur terus menerjang kedada siniekouw.
Niekouw itu melompat sekali lagi, dan kesempatan itu telah dipergunakan oleh Kim Ie Seng, sambil mengeluarkan bentakan : „Lepas…..!” tangan kanannya berhasil mencekal bulu Hudtim pendeta itu.
Siniekouw terkesiap hatinya, dia berusaha menariknya, tetapi bulu Hudtimnya tidak terlepas dari cekalan tangan Kim Ie Seng.
„Lepas……!” kembali Kim le Seng membentak sambil menambah tenaga sinkangnya yang disalurkan, ketangan kanannya: Namun Tok Han Sienie juga telah mempergunakan sinkangnya untuk bertahan, maka yang menjadi korban adalah hudtim itu, bulu-bulunya telah terlepas dari kayunya. Jika Kim Ie Seng mendapat bulu-bulu Hudtim itu, sedangkan Tok Han Sienie tetap memegang gagangnya.
Muka Tok Han Sienie jadi berobah merah padam karena gusar. Dengan mengeluarkan suara erangan yang keras sekali dia telah membentak sambil menerjang, tangas kanannya dipakai menotok mempergunakan ujung kayu gagang hudtim yang telah rusak, seuangkan tangan kirinya menepuk akan menghancurkan kepala lawannya.
Secepat kilat Kim Ie Seng mengelakkan serangan tersebut dan telah melompat mundur. Dia membuang bulu-bulu hudtim yang ditangannja itu kepinggiran pematang sawah,lalu dia menyentil gagang hudtim yang menyambar akan menotok jalan darah Siu-ling-hiatnya, kemudian diapun memiringkan tubuhnya dengan menekuk kaki kanannya, mengelakkan kepalanya dari tepukan tangan kiri, siniekouw yang mengandung tenaga sinkang cukup kuat.
Waktu itu Tok Han Sienie menjadi kalap disebabkan kemarahan yang meluap, dia telah menyerang lagi sekaligus dengan kedua tangannja.
Tetapi kim le Seng telah menangkis dengan kedua tangannya. Benturan dua pasang tangan itu mengeluarkan suara yang cukup keras dan keduanya telah mengerahkan tenaga sinkang masing-masing, maka disaat itulah tubuhnya siniekouw telah terhuyung-huyung, rupanya tenaga yang dilancarkan oleh niekouw itu kalah kuat dibandingkan tenaga dalam Kim Ie Seng.
Dengan muka merah padam karena gusar, tampak siniekouw telah berkata mengandung dendam : „Baik, kali ini aku tidak bisa merubuhkan dirimu, namun suatu saat nanti aku akan mencarimu……..!” dan setelah berkata begitu Tok Han Sienie memutar- tubuhnya untuk berlalu.
Kim Ie Seng menghela napas.
„Niekouw yang jahat…….!” menggerutu orang she Kim itu. Dia merogoh sakunya mengeluarkan pil berwarna coklat, dia bilang: „Telanlah obat ini dan kau beristirahat……!”
Oey Han telah menerima pil itu sambil mengucapkan terima kasih.
Waktu itu Kim Ie Seng telah berlalu.
Tetapi berjalan beberapa langkah, Oey Yok Su telah memanggilnya : „Paman…..!”
Kim Ie Seng menahan langkah kakinya, dia menoleh, lalu tanyanya : „Ada apa, engko kecil ?”
„Terima kasih atas bantuan yang diberikan paman ………. ” kata Oey Yok Su sambil menjura.
„Engkau tidak perlu berkata begitu, niekouw itu memang jahat ……… untung saja dia telah dapat kuusir pergi…….!” kata Kim le Seng.
„Maukah paman singgah dirumah kami ?” tanya Oey Yok Su.
„Heh ?” siorang she Kim telah memandang tersenyum kepada Oey Yok Su yang diawasinya sekian lama, akhirnya dia baru berkata : „Baik….! Baik…..! Ada baiknya juga aku singgah dirumahmu…….!”
Oey Yok Su dan ayahnya girang, mereka segera menuju kerumah.
Oey Han perintahkan isterinya memotong ayam dan menghidangkan kepada tamu yang menjadi tuan penolong mereka. Sedangkan kedua anak perempuan Oey Han telah mengucapkan terima kasih mereka.
„Oey-heng (saudara Oey), sebetulnya engkau sangat bahagia sekali, memiliki anak perempuan yang manis-manis dan juga memiliki seorang putera seperti Su-jie, dia -memilki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat………”
„Benar apa yang dikatakan oleh Inkong (tuan penolong), memang Su-jie selalu ribut ingin belajar ilmu silat. Tetapi siapa yang akan menjadi gurunya, tidak ada seorang guru silat” yang kukenal ! Dan jika belajar silat dikota, tentu memerlukan uang sangat banyak!”
„Jika memang 0ey-heng tidak keberatan, aku bersedia mendidiknya menjadi muridku !” kata Kim Ie Seng.
Muka ……… Oey Han berobah girang, lalu dia berkata : „Terima kasih Inkong, alangkah bersyukurnya kami, telah bisa menerima bantuan dan pertolongan Inkong…….!” dan setelah berkata begitu, Oey I4Han memanggil Yok Su, diperintahkan untuk memberi hormat kepada gurunya.
Disaat itu juga disiapkan dua batang Iilin dan upacara pengangkatan guru dan murid telah dilakukan.
Oey Yok Su girang bukan main, apa lagi Kim le Seng telah mengatakan besok dia akan mengajaknya untuk berkelana. Oey Han naengi jinkan……… karena dia memang hendak mendidik ,anaknya itu agar menjadi seorang anak yang tegap dan kuat.”
Keesokan harinya, Kim Ie Seng telah pamitan, dia membawa Oey Yok Su.
Perpisahan yang mengharukan bercampur girang itu telah menitikkan air mata pada keluarga Oey. Tetapi kepergian Oey Yok Su malah untuk kebaikan anak itu juga, agar kelak dia memiliki kepanuatan yang tinggi.
Oey Yok Su mengikuti gurunya berkelana dari kota yang satu kekota yang Iainnya, dan juga telah mempelajari ilmu silat dari Kim Ie Song.
Teta waktu pagi itu mereka berada dikaki gunung Bin San, telah terjadi urusan yang mereka terlibat persoala:n tersebut.
Waktu itu ada tiga orang yang mengha-dang perjalanan mereka, semuanya memiliki muka yang bengis, dengan muka yang berewokan dan mata yang memandang ta jam bengis. Kim le Seng telah menegur : „Apa maksud kalian menghadang kami ?”
„Serahkan seluruh barang-barang kalian, siapa yang mempergunakan jalan ini harus membayar pajak !” kata salah seorang diantara ketiga penghadang itu.
Kim Ie Seng jadi gusar. Jadi ketiga orang ini adalah Ouwpak (perampok) yang bekerja untuk membegal setiap orang yang lewat’ ditempat ini. „Siapa kalian ?” tanya Kim le Seng sambil menahan kemarahan hatinya.
„Kami Bin-San Sam Ciat (Tiga Penjahat dari Bin san) …….. cepat serahkan barang-barang kalian !” sahut salah seorang diantara mereka.
Kim Ie Seng jadi terkejut juga, Bin San Sam Ciat terkenat akan keganasannya dan memiliki kepandaian yang tinggi. Mereka merupakan perampok-perampok yang sangat ditakuti oleh para piauwsu.
Waktu itu, tampak Kim Ie Seng tetap berdiri tenang-tenang ditempatnya, tetapi keadaan demikian bukan berarti. Kim le Seng tidak memandang ketiga penjahat itu, hanya karena dia memang tengah menindih perasaan gentarnya, karena dia telah banyak mendengar perihal keganasan ketiga orang perampok ini disamping kepandaian ilmu silat goloknya yang sangat tinggi sekali.
Oey Yok Su jadi ngeri melihat golok yang berkilauan itu, sedangkan Kim Ie Seng telah perintahkan muridnya agar menyingkir kesamping.
Tetapi karena telah terlanjur dihadang, maka Kim le Seng bermaksud untuk menguji kepandaian ketiga orang perampok itu.
„Baiklah, aku Kim Ie Seng seorang yang miskin melarat tidak memiliki harta-benda apapun ! Hanya kedua kepalan tangan ini yang bisa kuberikan kepada kalian………!”
Muka ketiga perampok Bin San itu jadi berobah merah mendengar ucapan itu.
„Jika kami mengambil tindakan kekerasan jangan mempersalahkan kami !” bentak salah seorang dari mereka. „Kau termasuk manusia tidak mengenal mampus……..!”
Dengan bersuara ‘Sringg….., sringg….., sring….. ketiganya telah mencabut golok mereka masing-masing, dan langsung mereka menyerang Kim Ie Seng.
Cepat Kim le Seng telah mengeluarkan suara seruan, waktu golok lawannya yang sebelah kanan meluncur datang, dia mengelakkan diri dengan memiringkan tubuhnya kekanan, dan membarengi dengan itu dia mengulurkan tangan kanannya menjambret salah seorang lawannya, sekali raja dia menariknya, seketika itu juga tubuh orang itu terjerunuk hampir jatuh.
Untung saja orang itu keburu menyalurkan lwekangnya, dikedua kakinya, sehingga dia berhasil mengendalikan tubuhnya tidak sampai terjungkel.
Sedangkan kedua kawannya jadi, terkejut bercampur gusar, mereka telah mengeluarkan suara serangan dan melancarkan serangan serentak.
Memang Kim le Seng bisa mengelakkan bacokan yang seorang, tetapi lawannya yang satunya lagi telah berhasil menyontek dengan goloknya, sehingga lengan Kim le Seng terluka mengucurkan darah dan tubuhnya menjadi terhuyung-huyung, sedangkan tangan kirinya memegangi lengan kanannya yang’telah berlumuran darah.
Disaat itu, tampak salah seorang Bin San Sam Ciat telah menyerang pula dengan goloknya, menyimpang dari kiri kekanan, merupakan suatu tabasan kearah perut Kim le Seng yang bisa mematikan. . .
Kim Ie Seng terkejut melibat menyambarnya serangan tersebut, dia bermaksud mengelakkan diri, tetapi sudah tidak keburu. Hati Kim le Seng jadi mencelos, mati-matian dia menjejakkan kakinya melompat mundur, justru begitu dia mundur, lawannya yang seorang lagi telah membacok dari atas kepala turun kebawah.
„Habislah aku kali ini…!” mengeluh Kim le Seng. Golok lawannya menyambar terus dengan deras, hanya terpisah- beberapa dim lagi dari kepalanya.
Tetapi dalam keadaan yang genting seperti itu, telah berkelebat sesosok bayangan dengan gerakan yang sangat cepat sekali.
Tiba-tiba terdengar kedua orang dari Bin San Sam Ciat itu men jerit keras, tubuh mereka terpental dan ambruk ditanah -dengan keras.
Mereka tidak bisa bangun pula, karena jiwariya telah melayang.
Dihadapan mereka berdiri seorang lelaki berusia lanjut, dengan pakaian yang hijau dan muka yang dingin tidak memperlihatkan perasaan apapun juga.
Bin San Sam Ciat yang seorang lagi telah mengeluarkan suara seruan kaget dan -dia memandang dengan mata gentar kepada orang yang baru muncul ini. -Kim le Seng juga telah mengaluarkau seruan tertahan.
„Tocu Tho Hoa To !” berseru Kim Ie Seng . dengan suara perlahan.
„Hemm…!” mendengus lelaki tua berpakaian hijau itu dengan sorot mata yang sangat tajam. Disaat itu dia telah memutar tubuhnya. dan memandang bengis kepada Bin San Sam Ciat yang seorang itu.
„Engkau harus mati juga…….!” ‘suaranya dingin, dingin sinar matanya.
Bin San Sam Ciat yang seorang itu gemetaran kedua kakinya.
„Ampunilah aku………!” kata Sam Ciat yang seorang ini, karena dia melihat kedua orang saudaranya telah terbinasa dengan hanya sekali serang saja.
„Hemm, ampunimu ?” tanya tocu (pemilik) pulau Tho Hoa To dengan suara yang dingin. „Mudah….. ! Mudah sekali……..! Asal engkau mau menabas batang lehermu sendiri ! Aku menghadiahkan kematian yang paling enak untukmu !”
Muka Bin San Sam Ciat yang seorang itu jadi tampak pucat, dia telah berkata dengan suara yang mengandung kemarahan bercampur takut : „Kau….. kami…… tidak bermusuhan denganmu, mengapa kau usil membinasakan kedua saudaraku ?”
„Hemm……., orang itu juga tidak bermusuhan dengan kalian, tetapi kalian bermaksud untuk membinasakannya, bukan ?”
Disanggapi begitu, muka Sam Ciat yang seorang itu tambah pucat, tubuhnya menggigil.
Dengan muka yang angker Tocu dari To Hoa To telah berkata dengan suara yang dingin: „Apakah engkau tidak mau membunuh diri sendiri?”
Bin San Sam Ciat itu tambah ketakutan, dia serba salah.
„Baiklah, aku mengampunimu………!” kata Tocu Tho Hoa To itu.
Dan sambil berkata begitu, tangan kanannya mengibas, Sam Ciat yang tinggal seorang itu menduga lawannya ingin menyerang dia dengan kibasan lengan bajunya, maka dia bermaksud untuk menangkis mempergunakan goloknya.
Tetapi begitu goloknya diangkat, justru tangan Tocu Tho Hoa To telah menyambar kedadanya.
„Dukk…….!” perlahan suara serangan itu mengenai sasarannya, tetapi hebat kesudahannya. Tulang dada dari Sam Ciat yang seorang itu telah melesak dan pada patah, tubuhnya telah terpental, ambruk ditanah tidak bernapas lagi, itulah pengampunan dari Tocu Tho Hoa To yang mengampuninya untuk mati dengan segera tanpa siksaan lagi.
Kim Ie Seng jadi girang melihat datangnya penolong ini, tetapi belum lagi Kim le Seng sempat cnengucapkan terima kasihnya, disaat itu tampak Tocu Tho Hoa To telah membalikkan tubuhnya, memandang dingin kepada Kim Ie Seng.
„Tabas putus lengan kananmu !” perintahnya.
Darah Kim le. Seng jadi tersirap kaget, dia telah berkata gugup : „Kau…kau…!”.
„Atau engkau menghendaki pengampunan seperti dia itu ?” tanya Tocu Tho Hoa To menunjuk kearah ketiga mayat Sam Ciat.
Muka Kim le Seng jadi tambah pucat, akhirynya dia mengambil golok dari salah seorang mayat Sam Ciat itu, tanpa men-gucapkan katai-kata apapun juga dia telah menabas putus lengan kanannya sendiri. Dengan meringis menahan sakit Kim le Seng telah berkata : „Terima kasih atas pengampunan Tocu kepadaku……….!” dan setelah berkata begitu, dia meringis sebentar menahan sakit, lalu dia berkata lagi : „Dan sekarang kami ingin pamit………! “.
„Ya, kau pergilah, tinggalkan anak itu untukku !” kata Tocu dari Tho Hoa To itu.
„Ap……..apa ?” tanya Kim le Seng dengan muka yang berobah pucat.
„Anak ini murid-ku…!”.
„Kukatakan : tinggalkan anak itu untukku……..! Kau pergilah menggelinding………..!” dingin sekali suara Tocu Tho Hoa To itu.
Kim le Seng rupanya mengetahui siapa Tocu Tho Hoa To ini, dia tidak berani menentang prerkataannya, maka dia telah berkata : „Baiklah !
Dan kau Oey Yok Su, engkau harus baik-baik mendengar kata Tocu iai…!’Y,
„Suhu…engkau mau kemana ?” tariya Oey Yok 5u seperti baru terbangun dari mimpinya. Sejak tadi dia hanya menyaksikan betapa kejam dan telengasnya, Tocu Tho Hoa To itu, sampai gurunya sendiri begitu ketakutan, mengorbankan lengan kanannya yang ditabas putus oleh dia sendiri.


„Aku, ikut denganmu, suhu………..!” kata Oey Yok Su.
„Aku tidak mau ikut orang yang kejam seperti dia…….!” sambil
berkata begitu, Oey Yok Su menunjuk kepada Tocu Tho Hoa To.

„Engkau ikut ……….. bersama Tocu dan baik-baiklah melayaninya ……….. aku ingin pergi dulu…!”
„Aku, ikut denganmu, suhu………..!” kata Oey Yok Su.
„Aku tidak mau ikut orang yang kejam seperti dia…….!” sambil berkata begitu, Oey Yok Su menunjuk kepada Tocu Tho Hoa To.
Kim le Seng jadi terkejut mendengar perkataan Oey Yok Su.
„Jangan……….!” tetapi baru saja Kim le Seng berkata begitu, telah berkelebat sesosok bayangan dan disusul dengan suara ‘plak…., plok……!’ lalu terdengar suara menjeritnya Oey Yok Su yang telah ditampar oleh Tocu Tho Hoa To itu.
„Engkau………engkau jahat sekali………!” teriak Oey Yok Su yang mukanya menjadi bengkak.
Tetapi Tocu Tho Hoa To itu tidak memperdulikannya, dia telah membentak dingin sekali kepada Kim le Seng.
„Engkau belum juga pergi ?” katanya.
„Akan segera pergi, aku akan segera pergi……..!” menyahuti Kim le Seng sambil memutar tubuhnya untuk berlalu dengan cepat.
Oey Yok Su mengejarnya, katanya dengan suara berteriak : „Suhu…….aku ikut dengan kau!”
Tetapi Kim le Seng tidak berani menoleh lagi, dia telah mementang kakinya cepat-cepat berlalu dari tempat itu.
--------------------------------------------------------------------------
<<< Kembali Ke Bagian 04           |          Bersambung Ke Bagian 06 >>>
--------------------------------------------------------------------------
Sumber : http://pustakaceritasilat.wordpress.com
Share To:

Unknown

View Profile
Terima kasih sudah berkunjung ke kabelantena, semoga bermanfaat,, aamiin..
----------------------------------

Post A Comment: